Kisah cinta dua remaja yang membawa mereka pada impian untuk sehidup sesurga.
“Lima tahun lagi aku akan datang melamarmu, tunggu aku” kalimat itu meluncur begitu lantang dari lisan seorang pemuda berseragam putih abu, di hadapannya seorang perempuan berjilbab putih yang menjulur menutupi hampir seluruh tubuhnya tengah tertunduk malu.
“Tak perlu mengikatku dengan janji. Bila aku takdirmu, kita pasti akan bertemu. Untuk sekarang, kita kerjakan bagian kita masing-masing, aku dengan hidupku, kamu dengan hidupmu. Perihal temu, datanglah bila sudah benar-benar siap. Itu juga bila belum ada yang mendahuluimu.” Helaan nafas terdengar menjadi pamungkas dari ucapan gadis itu.
Akankah kisah cinta mereka berakhir bahagia?
Atau justru hadir orang yang mendahului?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resmi Dilamar
Setelah sempat mempotret Ariq bersama wanita yang mengaku tunangannya itu Elisha memilih untuk meninggalkan aula.
Dia merasa suasana formal ini tidak akan membuatnya berhasil mengorek informasi tentang Ariq selama ini. Bermaksud akan mendekati Mirza namun Elisha mengurungkan niatnya karena laki-laki itu sibuk melayani beberapa tamu undangan yang juga ingin menyapa Ariq.
Cukup lama Elisha termenung, memandangi foto hasil jepretannya di dalam mobil. Niat untuk meninggalkan rumah sakit sejenak dia urungkan, pikirannya penuh dengan kejadian yang baru saja dialaminya.
Bayangan sang sahabat yang pasti akan sangat kecewa ketika melihat foto yang diambilnya itu membuat Elisha berpikir ulang untuk memberitahukan fakta yang baru saja membuatnya syok.
"Kamil, kamu pasti kuat" gumam Elisha, setelah memikirkan, menimbang, akhirnya dia memutuskan untuk mengirim foto itu pada sahabatnya, Kamilia.
Walau pun sakit, setidaknya kini Kamilia bisa menentukan sikap, kesetiaannya sia-sia, hati yang selalu dijaga untuk Ariq berakhir sakit. Elisha yakin walau awalnya sakit kelak Kamilia akan terbiasa, waktu akan membantunya untuk sembuh dan bangkit, Elisha bertekad dia akan mendukung apapun keputusan yang diambil sahabatnya dan akan berusaha untuk membersamai sahabatnya melewati hari yang buruk.
Tap ...
Dua pesan terkirim ke nomor Kamilia, dia mantap menyampaikan berita ini sesegera mungkin, berharap rasa sakit dan kecewa yang dirasakan Kamilia tidak terlalu lama.
Lama Elisha menunggu pesannya dibaca Kamilia, namun lima belas menit telah berlalu pesan yang dikirimnya jangankan mendapat balasan, dibaca saja belum.
Akhirnya Elisha memutuskan untuk pulang karena di saat bersamaan laki-laki yang berstatus kekasihnya menelepon dan mengajaknya untuk makan malam bersama.
☘️☘️☘️
Kediaman Kamilia sudah dipenuhi tamu undangan yang tidak lain keluarga besar dari pihak ayah yang tinggal tidak jauh dari rumahnya, sementara keluarga dari pihak ibu tidak tampak datang karena jarak yang cukup jauh. Ibunya berasal dari kota yang berbeda, hingga jika ada acara mendadak mereka hanya diberi tahu tidak dipaksakan untuk datang.
Jika di ruang depan rumah Kamilia sudah banyak orang dengan wajah yang sumringah, turut berbahagia dengan kebahagian keluarga Kamilia yang akan dilamar, namun tidak dengan Kamilia.
Setelah membaca pesan yang dikirim sahabatnya dia terpekur. Kembali mengulang membaca pesan dari sahabatnya itu. Tidak lupa kiriman foto yang terlihat estetik memenuhi layar ponselnya.
Sakit, tentu saja. Mungkin inilah yang dimaksud dengan sakit yang tak berdarah. Kamilia menggenggam erat ponselnya seolah mengalirkan rasa sesak yang memenuhi dadanya.
Tidak ada air mata, tidak ada kata yang mampu terucap, pikirannya kosong, bingung harus merespon bagaimana. Dering ponsel yang menampilkan panggilan dari Elisha yang mengetahui jika Kamilia tengah online bahkan diabaikan.
Kamilia memilih membiarkannya, beranjak dari tempatnya bersimpuh saat ini seiring dengan ketukan pintu kamarnya.
"Teh, tamunya sudah datang" Athar datang menghampiri, keningnya mengerut, melihat raut wajah sang kakak yang tampak berbeda.
"Iya" jawab Kamilia lirih,
"Teteh baik-baik saja kan?" tanya Athar yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, sangat terlihat jelas dirinya begitu khawatir dengan keadaan sang kakak.
"Baik" jawab Kamilia singkat,
"Tunggu sebentar, teteh bersiap dulu" Kamilia kembali memasuki kamarnya dan Athar memilih menunggu sang kakak.
Dibukanya mukena yang sejak maghrib tadi membalut tubuhnya. Kerudung segi empat yang tersampir di kursi yang biasanya digunakan untuk belajar sudah tersedia. Tidak lupa bedak tipis dia poleskan ke wajahnya, lip tin pun menjadi pelengkap untuk menyembunyikan wajahnya yang sangat kentara kini memucat.
"Ayo" kedua kakak beradik itu berjalan menuju ruang utama rumah itu, di halaman rumah sudah ada tiga buah mobil yang katanya milik tamu yang akan melamar Kamilia.
Kamilia berjalan didampingi Athar, tatapannya kosong, orang-orang yang menatapnya tampak tidak terlihat oleh Kamilia. Entah apa yang sedang dirasakannya saat ini, yang pasti hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja. Sampai suara yang tak asing di telinga Kamilia berhasil mengembalikan kesadarannya.
"Bu Guru ..." teriak seorang gadis yang duduk di antara deretan para tamu utama. Setelahnya terdengar kode teguran pada gadis yang tiba-tiba berteriak itu.
"Shuuuutt ..." ternyata Safira, bunda dari gadis yang bernama Feli, murid Kamilia, yang menegur gadis itu.
Seketika kesadaran Kamilia terkumpul. Dia mengedarkan pandangannya, menatap satu per satu orang-orang yang sudah duduk lesehan di hadapannya.
Ada oma dan opa nya Feli, mami dan papi nya juga ada mengapit gadis yang selama beberapa bulan ini menjadi murid ngajinya, dua orang yang pernah dilihatnya berada di kediaman oma Feli juga ada di sana, dan dua orang lagi yang tidak Kamilia kenali. Tidak lupa putra kesayangan keluarga itu, Cakra Mahardika Wira tengah duduk bersila dengan tegak, tampak gagah dengan balutan kemeja lengan panjang yang dibalut jasket denim, menambah kesan santai tapi tetap terlihat berwibawa.
Kamilia berkali-kali mengerjapkan matanya, belum usai keterkejutannya karena menerima kabar dari Elisha perihal laki-laki yang sedang ditunggunya. Sekarang fakta baru kembali membuatnya terkejut, ternyata keluarga yang akan melamarnya tidak lain adalah keluarga Feli, muridnya.
"Apa kabar Bu Guru? Alhamdulillah oma sangat senang akhirnya bisa mewujudkan rencana yang waktu itu" ucap Oma Feli dengan wajah ceria, tidak menyadari jika kedatangannya adalah surprise yang membuat Kamilia benar-benar terkejut.
"Ba ...baik, Ibu, Alhamdulillah" Kamilia pun menyalami semua tamu wanita yang hadir dan hanya menangkupkan kedua tangannya di depan dada saat menyalami tamu laki-laki.
Prosesi lamaran yang tampak seperti sudah direncanakan dimulai. Kamilia hanya mengikuti dengan mengamati orang-orang di sekitarnya. Semuanya begitu khidmat mengikuti acara yang diadakan untuk dirinya itu, sementara dirinya sendiri tak berkesempatan sedikit pun untuk sekedar bertanya atau mengungkapkan keterkejutannya.
Tatapan Kamilia tiba pada sosok yang tengah menatapnya juga, wajah bingung jelas tergambar di wajahnya.
Deg ...sejenak tatapan mereka beradu, Cakra terpaku, tatapan sendu Kamilia tak mampu membuatnya beralih.
Kamilia menjadi orang pertama yang memutuskan pandangan keduanya, dia kemudian menundukkan kepalanya kembali fokus dengan pikirannya sendiri.
Pidato sambutan yang disampaikan perwakilan pihak keluarga wanita yang diwakili oleh paman dari pihak ayahnya usai sudah. Seorang pemuda yang dikenal sebagai santri di kampung Kamilia didaulat menjadi pengatur acara malam ini. Pemuda itu kemudian mempersilakan perwakilan dari pihak tamu untuk menyampaikan maksud kedatangannya.
Opanya Feli langsung berdehem sebelum memulai pidatonya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh"
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh" serempak semua yang hadir menjawab,
" ...selanjutnya, izinkan saya menyampaikan maksud dan tujuan keluarga kami datang jauh-jauh dari ibu kota adalah untuk melamar Nak Kamilia untuk putra tercinta kami" setelah muqaddimah dan menyapa semua yang hadir pada malam hati ini, Opa Feli langsung menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka.
Walau pun sejak awal Kamilia tahu akan ada tamu yang datang untuk melamarnya, tapi tetap saja Kamilia kembali terkejut ketika namanya disebut sebagai tujuan kedatangan mereka malam ini.
"Besar harapan kami kiranya lamaran kami ini dapat diterima, kami yakin Nak Kamilia ini akan mampu menjadi pendamping yang baik untuk putra kami, Cakra Mahardika Wira."
Ucapan salam menjadi penutup penyampaian maksud dan tujuan oleh Opanya Feli, yang bernama Pak Wira. Kini tiba saatnya, ayah Kamilia yang menjawab pinangan keluarga tersebut.
Ayah Kamilia pun memulai bicaranya, dengan lugas beliau menyampaikan rasa bahagianya atas kehadiran tamu undangan untuk melamar putrinya. Kamilia masih menundukkan kepala, setelah tadi sempat beradu tatap dengan Cakra, dilanjutkan mendengar pernyataan dari ayahnya Cakra dia belum mampu mengangkat kepalanya, entah apa yang ada di benaknya saat ini. Belum juga masalah yang satu terpecahkan kini datang lagi hal baru yang harus segera diselesaikan.
"Bagaimana Teh Lia, apakah mau menjawab langsung pertanyaan dari pihak tamu? Bapak ingin Teh Lia sendiri yang menjawabnya" pemandu acara yang secara usia memang lebih muda dari Kamilia bertanya padanya.
Ibu Kamilia yang duduk tepat di samping putrinya sedikit menyikut sang putri agar memberi jawaban. Kamilia tampaknya belum benar-benar fokus dengan situasi saat ini.
"Teh, mau langsung jawab?" bisik Ibu Kamilia tepat di telinganya.
"Hah?" lagi-lagi Kamilia hanya merespon dengan wajah bingungnya,
"Rupanya Teh Lia masih belum fokus ya, mungkin masih kaget karena tiba-tiba dikhitbah Teh?" canda si pengatur acara diakhiri tawa renyah yang disusul oleh tawa para hadirin lainnya.
"Baiklah, supaya lebih jelas, bagaimana kalau kita langsung dengar lamaran langsung dari orang yang bersangkutan. Kepada Akang Cakra saya persilakan" kini giliran Cakra yang tampak terkejut, acara dirinya melamar langsung tidak ada dalam briefing keluarganya, namun karena tatapaan tajam tajam dari mamanya Cakra akhirnya menerima uluran mic yang diserahkan oleh pembawa acara.
"Kamilia Izzatunnisa, malam ini atas ridho Allah Subhanahu Wata'ala, dan restu mama dan papaku, serta dukungan penuh dari keluarga besarku, aku Cakra Mahardika Wira ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, menjadi istriku, sehidup sesurga" lantang Cakra berucap setelah sebelumnya dia menerima ponsel yang layarnya menampilkan sebuah tulisan dari asisten sekaligus sahabatnya.
Suasana hening seketika setelah Cakra mengutarakan maksudnya.
"Jadi, Kamilia ...maukah kamu menerimaku sebagai pasanganmu?" tanya Cakra setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan.
Deg ... detak jantung Kamilia semakin tidak beraturan, kata-kata Cakra langsung terekam dalam ingatannya.
Pikiran Kamilia melayang, dia masih belum percaya jika malam ini dirinya dilamar seseorang yang sama sekali belum dikenalnya. Bahkan nama lengkap lelaki yang pernah berkenalan dengannya sekilas itu baru tahu malam ini.
"Teh, ayo jawab. Mama harap teteh mau menerima lamaran ini, memangnya mau menunggu berapa lama lagi, mungkin ini memang jodoh teteh yang sebenarnya." bisik Ibu Kamilia tepat di telinga putrinya tersebut.
"Teh, sehebat apapun rindu pada masa lalu, teteh tidak akan bisa mengulanginya kembali. Hidup ini adalah terowongan waktu dengan hanya satu arah, teteh hanya bisa berjalan ke depan dan tidak mungkin dapat berbalik arah"
Deg ...ucapan sang Ibu membuat Kamilia seketika menoleh, ada harapan sekaligus permohonan dalam tatapan sang ibu, Kamilia yang terkejut dengan kata-kata sang ibu, seolah mengetahui jika selama ini dirinya sedang menunggu seseorang.
Selama ini Kamilia menyimpan paa yang dirasakannya seorang diri, dia tidak pernah bercerita apapun perihal penantiannya pada sang ibu atau pun keluarganya yang lain.
Kamilia menolah pada sang adik yang tersenyum menyeringai, dari sana dia bisa menyimpulkan jika adiknya mengetahui perihal penantiannya dan memberitahukannya pada ibu mereka.
"Teh ..." saking asyik dengan pikirannya sendiri, Ibunya Kamilia kembali menegur putrinya.
"Bagaimana Teh Lia, apakah diterima lamaran Kang Cakra?" tanya pembawa acara harap-harap cemas.
Di saat pikiran Kamilia mulai fokus kembali, sentuhan hangat hinggap di tangannya, ternyata Ibu Wira yang memang duduknya cukup dekat dengan Kamilia.
"Bu Guru ...mau ya?!" bisiknya penuh harap dengan mata memohon.
Kamilia pun mengedarkan pandangan, ditatapnya sang ayah yang tersenyum sembari sedikit menganggukan kepalanya. Beralih pada ibunya, hal yang sama pun dilakukan sang ibu. Tatapannya tiba pada sang adik yang hanya tersenyum dengan rasa bersalah.
Rasanya tidak ada pilihan, di saat semua orang mengharapkan kata ya yang diucapkan olehnya, rasanya Kamilia hanya bisa pasrah. Pesan dari Elisha pun kembali menghinggapi pikirannya. Penantiannya sia-sia, apalagi yang harus diharapkan, mungkin ini cara Allah menjawab do'a-do'anya selama ini.
Akhirnya dengan pelan tapi pasti Kamilia menganggukkan kepalanya, sejenak menatap Cakra yang masih memegang mic.
"Saya menerimanya" ucap Kamilia yang kembali menundukkan kepala.
"Alhamdulillah ..." serentak semuanya mengucapkan lafal syukur.
bahagia sll bt Ariq dan milia sama Rayyan🥰