"Rangga, gue suka sama lo!"
Mencintai dalam diam tak selamanya efektif, terkadang kita harus sedikit memberi ruang bagi cinta itu untuk bersemi menjadi satu.
•
Rangga Dinata, sosok pemuda tampan idola sekolah & merupakan kapten tim basket di sekolahnya, berhasil memikat hati sosok wanita cantik yang pintar dan manis—Fira. Ya itulah namanya, Fira si imut yang selama ini memendam perasaannya kepada kapten basket tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Malam keputusan
Saat mereka kembali ke lingkaran api unggun, suasana sudah lebih tenang. Beberapa siswa sudah mulai masuk ke dalam tenda, sementara yang lain masih duduk di sekitar api, berbincang-bincang dengan suara yang lebih lembut. Ezra masih duduk di dekat api, sesekali melemparkan potongan kayu kecil ke dalam kobaran api. Ketika Fira dan Rangga kembali, Ezra menoleh dan pandangannya langsung tertuju pada Fira.
Fira bisa merasakan tatapan Ezra yang penuh tanya, seolah ingin tahu ke mana ia pergi dan mengapa Rangga bersamanya. Namun Ezra tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum tipis dan menggeser duduknya sedikit, memberi ruang jika Fira ingin bergabung.
Fira merasa dilema yang ia alami semakin menekan. Ezra memperlakukannya dengan begitu lembut, selalu menghargai batas-batas yang ia buat, tetapi ia bisa merasakan bahwa Ezra juga mulai bertanya-tanya tentang hubungan mereka. Sejak kejadian ciuman dengan Ezra di taman, hubungan mereka menjadi lebih rumit, meskipun mereka tidak pernah secara eksplisit membicarakan status hubungan itu.
Fira akhirnya duduk di antara Alia dan Ezra. Alia yang duduk di sebelahnya melirik Fira dengan tatapan yang penuh pengertian, tetapi tidak bertanya apa-apa. Ezra menoleh ke arah Fira, tersenyum tipis. “Lo baik-baik aja?” tanyanya lembut.
Fira mengangguk, meski hatinya penuh keraguan. “Iya, gue baik,” jawabnya singkat.
Suasana di sekitar api unggun semakin tenang, hanya tersisa sedikit obrolan ringan dari beberapa siswa yang masih terjaga. Fira, meskipun duduk bersama teman-temannya, merasa seolah-olah pikirannya melayang-layang di antara Rangga dan Ezra. Ia tidak bisa berhenti memikirkan dua cowok ini—dua perasaan yang saling bertabrakan, dan dua jalan yang masing-masing menawarkan kebahagiaan dan kesulitan.
Keesokan Paginya
Pagi di hutan pinus terasa segar dan sejuk. Matahari baru saja muncul, memancarkan sinar keemasan di antara pepohonan, menciptakan pemandangan yang begitu menenangkan. Para siswa mulai terbangun satu per satu, keluar dari tenda dengan wajah masih mengantuk.
Fira dan Alia sudah terbangun lebih awal, menikmati udara pagi sambil berjalan-jalan di sekitar perkemahan. Suasana di hutan begitu damai, namun di dalam dirinya, Fira masih merasa terjebak dalam kekacauan perasaan yang tak kunjung mereda.
“Gue liat lo ngobrol lama sama Rangga semalam,” kata Alia tiba-tiba, memecah keheningan.
Fira menatap sahabatnya, lalu mengangguk. “Iya, dia ngajak gue bicara soal perasaan kita yang belum selesai.”
Alia menghela napas. “Lo harus segera nentuin, Fir. Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini. Gue tau ini susah, tapi lo harus milih. Lo nggak bisa nyakitin diri lo sendiri dengan terus berada di antara dua orang.”
Fira terdiam, meresapi kata-kata sahabatnya. Alia benar, ia tidak bisa terus menghindari keputusan ini. Tapi di sisi lain, setiap kali ia mencoba memutuskan, semuanya terasa semakin rumit.
Saat mereka kembali ke area perkemahan, Ezra mendekati Fira dengan senyum khasnya. “Pagi, Fir. Lo udah sarapan? Gue sama anak-anak mau jalan-jalan ke sungai sebentar. Mau ikut?”
Fira tersenyum kecil. “Boleh, kayaknya seger kalo ke sungai.”
Ezra mengangguk dan mereka berdua berjalan bersama ke arah sungai yang tidak jauh dari perkemahan. Air sungai yang jernih mengalir tenang, dan suara gemericiknya memberikan ketenangan yang Fira butuhkan. Namun, di tengah percakapan mereka yang ringan, Fira tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menunggu untuk dibicarakan.
Saat mereka duduk di tepi sungai, Ezra akhirnya berbicara. “Fir, gue tahu lo mungkin lagi ngerasa bingung. Gue bisa lihat dari cara lo bersikap akhir-akhir ini.”
Fira menatap Ezra dengan tatapan penuh rasa bersalah. “Ezra, gue…”
Ezra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Fira mendengarkannya dulu. “Gue nggak mau maksa lo, Fir. Gue cuma mau lo jujur sama diri lo sendiri. Kalau lo masih punya perasaan ke Rangga, gue akan ngerti. Gue nggak mau lo merasa terjebak antara gue sama dia.”
Kata-kata Ezra begitu lembut, namun justru itulah yang membuat hati Fira semakin berat. Ezra bukan tipe orang yang memaksa atau menuntut. Ia selalu memberikan ruang bagi Fira untuk berpikir dan memutuskan sendiri. Namun, justru itulah yang membuatnya semakin sulit untuk memilih.
“Ezra, lo terlalu baik buat gue,” ucap Fira akhirnya, dengan suara yang hampir berbisik.
Ezra tersenyum tipis, meski ada kepedihan di matanya. “Gue cuma pengen lo bahagia, Fir. Apapun pilihan lo nanti, gue harap itu adalah yang terbaik buat lo.”
Air mata Fira hampir menetes mendengar kata-kata Ezra. Ia begitu terharu dengan sikapnya, namun itu tidak membuat pilihannya menjadi lebih mudah.
Ketika mereka kembali ke perkemahan, Fira merasa bahwa waktu semakin mendesaknya. Ia tahu, keputusan harus diambil. Baik Rangga maupun Ezra pantas mendapatkan kejelasan. Dan yang terpenting, Fira harus jujur pada dirinya sendiri.
•••
Fira duduk di depan tenda, udara malam yang sejuk seolah mencerminkan ketenangan yang tidak ia rasakan di dalam hatinya. Keputusan besar yang harus ia ambil terus berputar-putar di kepalanya. Setiap kali ia mencoba menimbang antara Rangga dan Ezra, perasaan bersalah selalu menghantamnya. Bagaimana mungkin ia bisa memilih antara dua orang yang sama-sama membuatnya merasa istimewa? Dua orang yang sama-sama memberikan tempat aman dan nyaman bagi hatinya.
Namun, di satu titik, Fira menyadari bahwa ia tidak bisa terus-menerus berada di dalam ketidakpastian. Tidak adil baginya, tidak adil bagi Rangga, dan tentu saja tidak adil bagi Ezra. Ia harus memutuskan sesuatu, apapun itu, sebelum semuanya menjadi semakin rumit dan menyakitkan.
Di kejauhan, Fira melihat Rangga berdiri di pinggir perkemahan, sedang berbicara dengan beberapa temannya. Di sisi lain, Ezra juga berada di dekat tenda yang ia dirikan, tengah membantu teman-temannya merapikan peralatan. Melihat keduanya, hati Fira berdebar, namun kali ini bukan karena kebingungan—melainkan karena ia tahu saatnya telah tiba.
•••
Setelah beberapa saat berpikir di depan tenda, Fira memutuskan untuk mengambil langkah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia tidak tahu apakah keputusannya nanti akan membuat semuanya lebih baik atau justru akan menimbulkan luka, namun ia tahu bahwa ia harus bersikap jujur pada dirinya sendiri.
Ia melangkah menuju arah Ezra yang sedang duduk di dekat api unggun bersama teman-temannya. Ezra yang menyadari kedatangan Fira, menoleh dan tersenyum lembut, namun Fira bisa melihat keraguan di balik senyum itu. Seolah-olah Ezra sudah tahu apa yang akan terjadi.
“Ezra,” panggil Fira pelan saat ia mendekat.
Ezra berdiri, meninggalkan teman-temannya dan berjalan bersama Fira ke tempat yang lebih sepi di pinggir perkemahan. Mereka berdiri di bawah langit malam yang penuh bintang, ditemani suara angin yang berhembus lembut di antara pepohonan.
“Ada yang mau lo omongin, ya?” Ezra bertanya, suaranya terdengar tenang, meski ada sedikit ketegangan di matanya.
Fira mengangguk pelan, lalu menatap Ezra dengan mata yang penuh rasa bersalah. “Ezra, gue... Gue nggak tahu harus mulai dari mana.”
Ezra menatapnya, memberi isyarat agar Fira melanjutkan. “Lo bisa ngomong apa aja, Fir. Gue dengerin.”
Fira menghela napas panjang, lalu mulai berbicara. “Ezra, gue... gue sangat sayang sama lo. Lo orang yang baik, perhatian, dan selalu ngerti apa yang gue rasain. Gue ngerasa aman setiap kali gue bareng lo, dan lo selalu ada buat gue.”
Ezra mendengarkan dengan sabar, namun ia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih besar di balik kata-kata itu. “Tapi?” tanyanya pelan.
Fira menundukkan kepalanya, merasa berat untuk melanjutkan. “Tapi gue juga nggak bisa bohong sama diri gue sendiri. Perasaan gue ke Rangga masih ada. Meskipun kita udah lama putus, perasaan itu nggak pernah benar-benar hilang. Dan gue nggak mau menutupi hal ini dari lo.”
Ezra terdiam sejenak, pandangannya tetap tenang meski jelas ada rasa sakit yang muncul di matanya. “Jadi, lo masih sayang sama dia?” tanyanya dengan suara yang hampir berbisik.
Fira mengangguk pelan, menahan air mata yang hampir jatuh. “Iya, Ezra. Gue masih sayang sama Rangga, dan gue nggak bisa terus-terusan nyakitin lo dengan berada di antara kalian berdua.”
Ezra menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil meski senyumnya terlihat pahit. “Gue ngerti, Fir. Gue udah menduga ini sejak lama, sebenarnya. Gue cuma pengen lo bahagia, apapun itu pilihannya.”
Kata-kata Ezra membuat hati Fira semakin perih. Ia tidak pernah bermaksud menyakiti perasaan Ezra, dan melihat cowok itu tersenyum di tengah kesakitannya membuat Fira merasa lebih bersalah. Namun, ia tahu bahwa Ezra adalah orang yang kuat dan bijaksana. Ia menghargai Fira karena kejujurannya.
“Apa kita masih bisa berteman setelah ini?” tanya Fira ragu.
Ezra tertawa kecil, meskipun ada sedikit getaran dalam tawanya. “Tentu aja, Fir. Gue nggak akan pernah berhenti jadi teman lo. Gue janji.”
Mereka berdiri dalam keheningan sejenak, kemudian Fira merasakan Ezra merangkulnya dalam pelukan singkat yang hangat dan penuh makna. Pelukan itu adalah tanda perpisahan, sekaligus tanda bahwa hubungan mereka akan tetap baik, meski tidak lagi dalam konteks romansa.
Fira menghela napas panjang ketika Ezra akhirnya melepaskan pelukan itu. “Terima kasih, Ezra,” bisiknya pelan.
Ezra mengangguk sambil tersenyum, kemudian berbalik dan kembali ke arah teman-temannya. Fira menatap punggungnya yang perlahan menjauh, merasa lega sekaligus sedih. Namun, ia tahu bahwa keputusannya sudah tepat.
•••
Setelah perbincangan emosional dengan Ezra, Fira tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus ia lakukan malam itu. Dengan perasaan yang masih campur aduk, ia melangkah ke arah tempat di mana Rangga berada, masih berbincang dengan teman-temannya.
Ketika Rangga melihat Fira mendekat, ia segera pamit pada teman-temannya dan berjalan menghampirinya. “Ada apa, Fir?” tanyanya sambil menyentuh lengan Fira dengan lembut.
Fira menatap mata Rangga dalam-dalam, kali ini dengan kejelasan yang lebih besar dari sebelumnya. “Gue udah ngomong sama Ezra,” katanya pelan.
Rangga mengangguk, menunggu Fira melanjutkan. “Dan gue... gue udah mutusin sesuatu. Gue nggak bisa terus hidup dalam kebingungan ini. Gue harus jujur sama diri gue sendiri dan sama lo.”
Rangga menatap Fira, lalu menyentuh pipinya dengan lembut. “Apa pun yang lo putusin, gue terima, Fir. Yang penting lo bahagia.”
Fira menghela napas, merasa lega bahwa Rangga mengerti. “Gue... gue masih sayang sama lo, Rangga. Dan gue pengen kita coba lagi.”
Kata-kata itu terucap dari bibir Fira dengan kelegaan yang luar biasa. Ia akhirnya berani menghadapi perasaannya, berani untuk kembali ke sesuatu yang pernah ia miliki dengan Rangga.
Rangga tampak terkejut, namun dalam hitungan detik, wajahnya berubah menjadi penuh kebahagiaan. “Beneran, Fir?” tanyanya dengan mata berbinar.
Fira tersenyum, merasa beban di dadanya terangkat. “Iya, beneran. Gue mau kita coba lagi, tapi pelan-pelan. Gue nggak mau bikin kesalahan lagi.”
Rangga tanpa ragu lagi menarik Fira ke dalam pelukannya. Kali ini, pelukan itu terasa lebih dalam dan hangat, seolah-olah mereka menemukan kembali sesuatu yang pernah hilang. Fira memejamkan matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu.
“Gue janji, Fir, gue nggak akan nyia-nyiain kesempatan ini,” bisik Rangga di telinganya.
Fira tersenyum dalam pelukan itu, merasa bahwa ia akhirnya membuat keputusan yang tepat. Meski perjalanan mereka mungkin masih panjang dan tidak mudah, Fira merasa siap untuk melangkah bersama Rangga, dan kali ini, dengan lebih banyak kejujuran dan pemahaman.
Malam itu, di bawah langit berbintang dan di tengah dinginnya hutan pinus, Fira akhirnya menemukan kejelasan dalam hatinya. Konflik antara Rangga dan Ezra mungkin telah berakhir, namun perjalanan hidup dan cintanya baru saja dimulai.