Hang Jihan, seorang anak jenius dari keluarga sederhana, lebih memilih fokus pada pekerjaannya dan membantu sang ibu yang terserang penyakit. Dunianya yang tenang berubah ketika ia mendengar tentang pil ajaib yang konon dapat menyembuhkan penyakit sang ibu.
Tekadnya untuk menyelamatkan sang ibu menyeretnya ke dalam dunia bela diri yang penuh bahaya. Di sana, bakat terpendamnya bangkit, menunjukkan bahwa dia dilahirkan untuk kebesaran.
Namun, perjalanannya tak mudah. Rintangan tak terduga menghadangnya. Diperkuat oleh harapan sang ibu, Hang Jihan bertekad untuk menjadi kuat, mendaki puncak, dan kembali sebagai orang yang bisa dibanggakan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichwan Fzn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengorbanan
Satu per satu, para bandit hutan tumbang, takluk di bawah kaki Hang Jihan dan Zhang Chen. Kini, hanya tersisa pemimpin mereka, Kui Lang, yang masih berdiri gemetar ketakutan. Hang Jihan dan Zhang Chen melangkah maju, aura kemenangan menyelimuti mereka.
Kekalahan bagaikan lukisan kelam di mata Kui Lang. Keyakinannya yang dulu kokoh runtuh bersama pasukannya yang tak berdaya, melarikan diri, dan meninggalkannya sendirian. Rasa frustrasi dan malu membakar jiwanya. Dia merasa tak berarti, kekuatan mentalnya runtuh seketika, terkubur dalam kehampaan yang menganga di hadapannya.
Kenangan pahit menjalar di benaknya, memaksanya untuk merenungkan setiap tindakan kejamnya. Rintisan kematian dan kesedihan dari mereka yang telah dia bunuh bagaikan bisikan yang membangunkan secercah empati dalam jiwanya yang kelam.
Kegelapan menelan hati Kui Lang, mencekiknya dalam keputusasaan. Tanpa aba-aba, dia tersungkur ke tanah, merendahkan diri hingga sejajar dengan debu. Tubuhnya tertunduk, simbol penyesalan yang mendalam. Dia memohon ampun dari mereka yang kini menjadi korban Perburuannya.
Hang Jihan dan Zhang Chen mengamati reaksi ini dengan tatapan heran. Pemimpin kelompok bandit yang terkenal kejam dan tak kenal ampun ini, kini tertunduk memohon pengampunan. Kebingungan mewarnai benak mereka.
Namun, takdir berkata lain. Bagi mereka yang terjerat dalam cengkeraman kegelapan, akhir tragis adalah kenyataan yang tak terhindarkan. Saat Kui Lang akhirnya tersadar akan kesalahannya, gelombang energi misterius menerjang dan merenggut nyawanya seketika. Tak ada jejak yang tertinggal, hanya bercak darah di depan wajah Hang Jihan, saksi bisu dari akhir tragis Kui Lang.
Hang Jihan, yang berdiri di hadapannya, terpaku dalam keterkejutan. Matanya terbelalak lebar, mencerminkan kekagetan dan kebingungan yang melanda dirinya. Seolah-olah, dia terjebak dalam dimensi misteri yang tak terduga.
Tiba-tiba, keheningan yang menyelimuti hutan dipecahkan oleh suara misterius yang menggema.
"Ha ha ha! Sungguh menyedihkan, Kui Lang. Kau benar-benar mengecewakanku!"
Hang Jihan tersentak kaget. Dia menoleh mencari sumber suara itu. Di balik pepohonan, sesosok bayangan hitam berdiri tegak, memancarkan aura jahat yang mengerikan.
"Siapa kau?!" teriak Hang Jihan dengan penuh keberanian.
"Aku? Aku adalah orang yang akan menghukummu karena telah mencampuri urusanku!" jawab suara misterius itu dengan keangkuhan.
Amarah bagaikan api neraka berkobar di dalam jiwa Hang Jihan, membakar setiap sudut sanubarinya. Energi dahsyat terkonsentrasi pada tinjunya, siap untuk dilepaskan bagaikan badai yang mengamuk. Di tengah amukannya yang membara, Hang Jihan tak kehilangan rasa hormatnya kepada Kui Lang, sosok yang telah menyadari kesalahannya. Pengakuan tulus Kui Lang bagaikan setitik cahaya putih di tengah lembaran hitam pekat, sebuah penyesalan yang jarang sekali terjadi.
Penghormatan Hang Jihan terhadap Kui Lang semakin diperkuat saat ia menjadi saksi bisu kematian tragis orang yang ia hormati. Pembunuhan kejam itu bagaikan bensin yang disiramkan ke api amarahnya, memicu ledakan emosi yang tak tertahankan. Batas kesabarannya telah dilampaui, dan niat membunuh terukir jelas di wajah Hang Jihan.
Matanya seperti singa jantan yang mengamuk di padang savana, melotot tajam dengan tatapan penuh amarah dan dendam. Langkah kakinya mantap dan penuh tekad, mengarah ke sosok misterius yang berdiri menantang di hadapannya. Tinjunya yang terkatup rapat berkilauan dengan energi dahsyat, siap untuk menghantam dan meluluhlantakkan.
Melihat situasi yang memanas dengan cepat, Zhang Chen dilanda kekhawatiran yang mendalam. Wajahnya menegang dan panik, ia berusaha memberikan peringatan kepada Hang Jihan dengan suara lantang.
"Tunggu, bocah bodoh!" teriaknya dengan sekuat tenaga.
Namun, amarah telah membutakan Hang Jihan. Telinganya seakan tuli terhadap peringatan Zhang Chen, fokusnya terpaku pada sosok misterius di hadapannya. Pikirannya hanya dipenuhi satu tujuan: memberi dia pelajaran.
Bagai meteor yang menghantam bumi, Hang Jihan melesat dengan kecepatan luar biasa. Energi dahsyat terpancar dari tinjunya, siap untuk meluluhlantakkan sosok misterius yang berdiri menantang. Sosok itu hanya tersenyum sinis, dengan tatapan meremehkan dan penuh kesombongan, menyaksikan tingkah laku bocah naif yang terjebak dalam amarah dan rasa hormatnya.
"Bocah bau," kata sosok misterius itu dengan nada mengejek. "Kau masih terjebak dalam ranah pengumpulan energi. Beraninya kau menantangku, yang telah mencapai puncak ranah pemurnian tubuh? Sungguh konyol."
Amarah membakar jiwa Hang Jihan. Rasa hormatnya pada Kui Lang tercoreng oleh ucapan sosok misterius ini.
"Diam!" teriak Hang Jihan. "Orang keji sepertimu takkan pernah mengerti tentang perasaan orang lain!"
Hang Jihan mengerahkan seluruh kekuatannya dalam satu pukulan. Energi yang terkumpul di telapak tangannya bergetar hebat, hingga debu dan dedaunan di sekitarnya beterbangan. Gemuruh dentuman menggelegar saat pukulannya beradu dengan serangan lawannya. Pukulan ini merupakan perwujudan tekadnya untuk melumpuhkan lawannya, hasil dari kultivasinya selama berbulan-bulan.
Namun, kenyataan pahit menamparnya. Jurang perbedaan dalam tingkatan Kultivasi antara mereka berdua tak terelakkan. Saat gemuruh energi mereda, tangan Hang Jihan terasa mati rasa, sensasi hilang ditelan rasa sakit yang menusuk. Pukulannya yang terasa bagaikan hantaman gunung berapi, tak mampu menembus pertahanan lawannya.
Sosok itu berdiri tegak, tak bergeming sedikitpun. Senyum sinis terukir di bibirnya, matanya menatap Hang Jihan dengan tatapan meremehkan. "Bocah," katanya dengan suara dingin, "apakah ini saja kemampuanmu? Bahkan tak cukup untuk menggelitikku!" Kesombongan terpancar dari setiap kata yang diucapkannya, bagaikan cambuk yang mencambuk harga diri Hang Jihan.
Hang Jihan mengertakkan giginya, tinjunya terus menghujani lawannya. Darah mengalir dari pergelangan tangannya yang terluka, mewarnai tanah di bawah kakinya. Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya, namun tekadnya tak goyah. Ia takkan menyerah, takkan berhenti, sebelum sosok misterius di hadapannya ini tumbang.
Pukulan Hang Jihan seperti nyamuk yang menggigit seekor gajah, tak berefek sama sekali. Sosok itu mulai merasa bosan, dan dengan seringai sinis, ia bersiap memberikan serangan balik.
"Bagus, teruslah, bocah," katanya dengan suara dingin. "Biar kupersembahkan kepadamu apa itu kekuatan yang sebenarnya."
Perkataan itu bak tamparan yang menyadarkan Hang Jihan dari amarahnya. Ia tersadar bahwa ia tak sebanding dengan lawannya. Pukulannya tak berguna, amarahnya sia-sia. Rasa panik mulai menggerogoti hatinya.
"Seni bela diri tingkat rendah, Tolakan Kera Hantu!" Sosok itu membentuk segel jari di salah satu tangannya. Dengan telapak tangan terbuka, ia mendorong tepat di bagian perut Hang Jihan.
Seketika, rasa sakit yang luar biasa menjalar di tubuh Hang Jihan. Darah segar menyembur dari mulutnya, dan tubuhnya terhempas beberapa meter ke belakang. Ia menabrak pepohonan dengan dentuman keras, merasakan tulang-tulangnya retak dan organ dalamnya berguncang.
Hang Jihan tergeletak di tanah, tak berdaya. Nafasnya tersengal-sengal, dan rasa sakit yang luar biasa membuatnya hampir pingsan. Ia menatap lawannya dengan tatapan penuh ketakutan, menyadari bahwa ia telah meremehkannya.
Zhang Chen, yang menyaksikan adegan itu dengan tergugup, mendekati Hang Jihan. Tubuh Zhang Chen masih dipenuhi oleh luka-luka bekas pertarungannya melawan para bandit; jika diperhatikan secara detail, terdapat tiga puluh dua tebasan yang menghiasi tubuhnya. Namun, melihatnya masih tegar berdiri menunjukkan tekad yang luar biasa Zhang Chen dalam melindungi Nona muda.
"Bocah, apa kau baik-baik saja?" tanya Zhang Chen dengan nada khawatir.
"Paman, siapa sebenarnya orang ini?" balas Hang Jihan terbata-bata, rasa sakit dan kebingungan menyelimuti dirinya.
"Dilihat dari perawakan dan sifatnya, itu tidak salah lagi, dia adalah Tuan Muda Ketiga dari pemimpin bandit, Baili Sedum," jawab Zhang Chen.
"Apa? Bukankah kita telah mengalahkan pemimpin bandit? Tapi mengapa?"
"Bodoh, coba bayangkan kamu dan beberapa temanmu sedang mencari kelinci hutan. Apa yang akan kamu lakukan jika kelinci itu lolos?"
"Tetapi paman, aku tidak memiliki teman," balas Hang Jihan dengan polos.
Mendengar jawaban polos itu, Zhang Chen hanya bisa menghela nafas. Bocah ini benar-benar lugu, bahkan tak mengerti analogi sederhana yang ia jelaskan. Sejenak, Zhang Chen meragukan anggapannya tentang kejeniusan Hang Jihan
"Singkatnya, dalam upaya mencari aku dan Nona kecil ini, mereka membagi kelompok menjadi dua. Kui Lang adalah orang yang dipercayakan Tuan Muda Ketiga untuk memimpin salah satu kelompok itu."
"Bukan kah itu berarti..."
"Benar sekali. Itulah mengapa aku mengingatkanmu tadi. Selain kamu bukan lawannya, terdapat banyak segerombolan bandit di belakangnya. Tapi sayangnya, kau tak mendengarkan peringatan orang tua ini."
Mendengar penjelasan Zhang Chen, Hang Jihan hanya bisa menggaruk-garukan kepalanya. Rasa malu membakar pipinya, menyadari kebodohannya. Tadi ia berjanji untuk bersikap bijak dalam menghadapi masalah, namun amarah telah membutakan matanya.
Ketika mereka sedang asik berbicara, suara Baili Sedum memecah keheningan.
"Ha ha ha, menarik! Sepertinya kau bukan pengawal biasa. Kau sangat cepat menyimpulkan situasi yang sedang terjadi."
Baili Sedum melanjutkan dengan nada angkuh, "Apakah kalian bisu? Keluarlah! Tidak gunanya kalian bersembunyi lagi!" Sambil mengangkat tangannya ke atas, ia menunjukkan superioritas yang ia miliki.
Di bawah bayang-bayang pepohonan rindang, para bandit bermunculan satu per satu, bagaikan hantu-hantu yang keluar dari persembunyiannya. Jumlah mereka tak terhitung, seperti gelombang pasang yang siap menelan Hang Jihan dan Zhang Chen. Rasa tegang menyelimuti mereka, membuat mereka menelan ludah dalam-dalam, berusaha menenangkan diri di tengah situasi yang tak terduga ini.
Baili Sedum, sang Tuan Muda Ketiga dari kelompok bandit, melangkah maju dengan tatapan dingin yang menusuk. Suaranya menggema di hutan, bagaikan petir yang menggelegar, "Dengarkan baik-baik! Belum ada yang bisa lolos dari cengkeraman kami. Ini adalah harga diri kelompok bandit hutan! Bahkan master bela diri sekalipun takkan bisa selamat!"
Hang Jihan mendengus, berusaha menyembunyikan rasa geragah di dalam hatinya. "Cihh, idealisme konyol dari sekelompok orang tak bermoral." Kata-katanya diucapkan dengan penuh sarkasme, meskipun suaranya sedikit bergetar.
Amarah Baili Sedum meledak bak gunung berapi. "Bocah! Beraninya kau bertindak lancang! Aku akan membunuhmu!" Suaranya menggelegar, sementara para bandit bersiap sedia, seperti serigala yang siap menerkam mangsanya.
Hang Jihan dan Zhang Chen bersiap untuk bertarung, meskipun luka masih membekas di tubuh mereka. Tekad mereka tak pernah surut, bagaikan api yang tak terpadamkan. Saat Hang Jihan bersiap mengambil aba-aba, Zhang Chen dengan penuh percaya diri melepaskan gendongan Nona Muda kepada Hang Jihan.
Hang Jihan terkejut dan tak percaya. "Tetapi Paman!"
Zhang Chen menatap Hang Jihan dengan tatapan penuh ketulusan. "Aku percaya padamu, bocah kecil. Jika kita berdua bertarung di sini, hanya kematian yang menanti. Tapi jika aku mengulur waktu, mungkin ada kesempatan."
Hang Jihan terdiam, bimbang antara rasa tanggung jawab dan keinginannya untuk bertarung.
"Tidak! Aku tidak akan pergi!" Hang Jihan berkata dengan penuh tekad.
Tubuh Zhang Chen bergetar saat ia menundukkan kepalanya. Suaranya serak menahan tangis, "Bocah, orang tua ini sangat memohon. Percayalah padaku, ini adalah satu-satunya kesempatan kita untuk selamat."
Dia mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca. "Jangan khawatir, orang tua ini masih memiliki beberapa teknik tersembunyi. Aku akan mengulur waktu selama mungkin. Pergi dan lindungi gadis ini!"
Hang Jihan terpaku, diliputi keraguan dan kesedihan. Dilema yang dihadapinya bagaikan pisau bermata dua, memaksanya untuk memilih jalan yang tepat. Dengan hati teriris, dia menerima tawaran sang pengawal. Meninggalkan dia sendirian untuk menghadapi segerombolan bandit hutan, air mata tak terbendung mengalir di kedua pipinya.
"Paman, aku harap kita bisa bertemu kembali," bisik Hang Jihan dengan suara lirih
harusnya sebagai MC.... ilmunya di perdalam dulu... yaah kalo kalah sekali kali ya ndak papa... laaah ini, mc kalah muluuu.... hanya mengandalkan nasib baik di tolong orang lain....bener2 naif. gak menarik babarblaaas.
1. Ada sosok kuat yang membantunya.
2. latar belakang Hang Jihan yang tidak biasa, meski dia tidak mengetahuinya
3. kekuatan dari doa atau harapan ibu pada bab sebelumnya.
4.faktor lain.
dan itu aja teori dari saya hehe