Akibat memiliki masalah ekonomi, Gusti memutuskan bekerja sebagai gigolo. Mengingat kelebihan yang dimilikinya adalah berparas rupawan. Gusti yang tadinya pemuda kampung yang kolot, berubah menjadi cowok kota super keren.
Selama menjadi gigolo, Gusti mengenal banyak wanita silih berganti. Dia bahkan membuat beberapa wanita jatuh cinta padanya. Hingga semakin lama, Gusti jatuh ke dalam sisi gelap kehidupan ibukota. Ketakutan mulai muncul ketika teman masa kecil dari kampungnya datang.
"Hiruk pikuknya ibu kota, memang lebih kejam dibanding ibu tiri! Aku tak punya pilihan selain mengambil jalan ini." Gusti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10 - Cewek Nggak Benar
Elang sama sekali tidak menjawab pertanyaan atas kepanikan Gusti dan Widy. Dia hanya melajukan mobil seperti orang yang sedang balapan.
"Elang!" sama seperti Gusti, Widy juga kaget dengan kelajuan mobil. Dia lantas menengok ke belakang. Di sana ada sebuah mobil yang sepertinya sedang mengejar.
"Apa mobil itu mengejar kita?" tanya Widy.
Elang tetap tidak menanggapi. Dia hanya memutar setir dengan lihai, serta menginjak pedal gas sekuat mungkin.
"Elang! Kau gila! Aku tidak sanggup lagi! Turunkan saja aku dan Widy!" pekik Gusti sembari berpegangan erat.
"Tenanglah! Percaya saja padaku!" ujar Elang. Dia tiba-tiba membelokkan mobilnya ke jalanan kecil. Hal tersebut membuatnya bisa lari dari mobil yang mengejar.
Karena tidak dikejar lagi, Elang menghentikan mobil ke tepi jalan. Dia menghela nafas panjang.
"Apa-apaan itu, El!" timpal Gusti seraya mengatur nafas. Hal serupa juga tampak dilakukan Widy di kursi belakang.
"Kita hampir saja bertemu malaikat maut," ucap Widy.
"Bukankah itu seru?" Elang malah tersenyum lebar.
Plak!
Gusti langsung menepuk bagian belakang kepala Elang. "Seru pantatmu!" geramnya.
Dari belakang, Widy juga memberi pukulan dengan tasnya. Dia juga kesal dengan apa yang dilakukan Elang.
"Jangan main-main, El! Kalau tadi ada polisi, kita bisa ditangkap loh," kata Widy.
"Kalian lebay banget. Sekali-kali hidup itu dibawa santai dong," balas Elang.
"Mana ada orang yang hampir tabrakan berlagak bersantai sambil minum kelapa?" sarkas Gusti yang tak habis pikir. "Ya sudah. Ayo kita ke kostanku!" lanjutnya.
"Oke." Elang kembali menjalankan mobil. Selang beberapa menit, dia tiba di tempat tujuan.
Gusti bergegas turun dan masuk ke kamarnya. Di ikuti oleh Elang dan Widy. Keduanya membantu Gusti mencari dompet di kamar.
Sayangnya setelah lama dicari, dompet Gusti tidak ditemukan dimana-mana.
"Sialan! Kayaknya aku beneran kecopetan!" keluh Gusti sembari mengacak-acak rambut frustasi. Ia mencoba menenangkan diri dengan duduk ke tepi ranjang.
"Kayaknya begitu, Gus. Aku sama Elang juga nggak menemukan dompetmu dimana-mana," ungkap Widy. Dia menatap penuh empati pada Gusti. Lalu duduk ke sebelah cowok itu.
Widy memegang pundak Gusti. "Yang sabar ya, Gus. Salah satu naik bus resikonya memang begitu. Lain kali kau harus berhati-hati," ujarnya. Mencoba menenangkan.
"Memangnya kau kehilangan berapa uang?" tanya Elang. Ia berdiri di depan pintu sambil menyandar.
"Ini bukan masalah uang, El. Semua kartu-kartu pentingku ada di sana. Termasuk KTP!" jawab Gusti. "Sekarang aku harus membuat KTP lagi. Edan!" umpatnya kesal akan nasib yang menimpa.
"Udah! Masalah itu sepertinya aku bisa bantu," tanggap Elang. Atensinya teralih pada suara dari kamar sebelah. Terlihat Ana baru saja keluar dari kamarnya. Perempuan itu tersenyum untuk menyapa Elang.
Elang hanya membalas dengan senyuman miring. Dia tetap bersikap tenang sambil menyilangkan tangan ke depan dada.
"Siapa?" tanya Gusti.
"Cewek kamar sebelahmu. Pakaiannya seksi banget. Pasti betah kau ngekost di sini," sahut Elang.
"Betah apanya! Justru karena cewek itu aku pengen pindah dari kostan ini!" Gusti membantah dugaan Elang.
"Udah, Gus. Cuman cowok model kayak Elang aja yang sepertinya betah," sindir Widy.
"Ayolah, Wid! Aku bicara begitu karena aku cowok normal!" balas Elang. "Dan kau, Gus! Aku yakin kau pasti juga tergoda. Kalau tidak, maka kenormalanmu bisa diragukan," tukasnya.
"Enak saja. Aku normal! Masalahnya, aku nggak suka sama cewek yang nggak benar kayak Ana!" tampik Gusti. Dia perlahan melirik Widy. Seolah menyiratkan bahwa gadis itu adalah gadis baik yang dirinya sukai.
Widy tersenyum. "Apa kau punya uang persediaan? Tabungan gitu," tanyanya.
"Ada. Tapi aku harus mengambil ke bank. Itu duit beasiswaku lagi." Gusti mendengus kasar karena merasa kehilangan harapan.
"Kalau begitu sebaiknya kita pergi sekarang. Setengah jam lagi kuliah berikutnya akan di mulai," imbuh Widy. Dia, Gusti, dan Elang lantas segera beranjak ke bank terdekat.