Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Agnes menatap Berta yang tampak gelisah, wajahnya lebih tegang dibandingkan dirinya sendiri. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun hatinya bergemuruh. “Aku serius, Ta. Aku nggak mau lagi di bawah bimbingan Pak Fajar. Sekarang kamu bisa tenang?”
Berta menggeleng pelan, sorot matanya penuh kekhawatiran. “Tapi, Nes... kamu pikir Pak Fajar bakal diam aja? Dia nggak mungkin tinggal diam setelah tahu kamu kasih slot itu ke Sherly. Kamu ingat terakhir kali waktu kamu bilang mau ganti dosen?"
Agnes mengangguk dan tertawa kecil, getir. Senyumnya muncul, tapi matanya jelas menyiratkan kegelisahan. “Biar dia marah. Aku nggak peduli.”
Namun, hatinya berteriak sebaliknya. Tentu ia peduli. Sangat peduli, perlu digaris bawahi, Agnes peduli pada pendidikannya, bukan pada Fajar.
Ponselnya bergetar, memunculkan sebuah notifikasi. Sebuah pesan pendek dari Fajar:
“Kamu yang datang menemuiku atau aku yang datang menghampirimu.”
Mata Agnes membesar, napasnya mendadak terasa sesak. Pesan singkat itu langsung membuat jantungnya berdebar kencang. Tiba-tiba, ia merasa seperti telah melakukan kesalahan besar, meskipun ini bisa menebak ini hasil dari perbuatannya. Tangannya gemetar saat ia menunjukkan pesan itu pada Berta.
“Ta,” bisiknya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Lihat ini.”
Berta membaca pesan itu dan mendesah berat. “Kan udah aku bilang, Nes. Kamu terlalu main-main sama situasi kayak gini.”
Agnes memutar bola matanya, mencoba mengusir rasa takut yang merayap. “Hisss... udahlah, jangan bikin aku tambah panik. Menurutmu dia bakal sampai main tangan nggak, ya? Eh, tapi ini kan masalah kampus, masa iya dia mau ngait-ngaitin sama rumah tangga? Yang bener aja!”
Berta melipat tangannya, memandang Agnes dengan tatapan tak percaya. “Di situasi kayak gini kamu masih sempat bercanda, Nes. Masalahnya, kamu tiba-tiba kasih slot itu ke orang lain tanpa ngomong dulu ke dosennya. Kalau kata orang tua kita, itu tuh udah masuk kategori murid durhaka.”
Agnes menelan ludah, lidahnya terasa kaku. Candanya barusan pun tak mampu mengusir rasa takut yang kini mulai menyesakkan dadanya. Pesan dari Fajar terus terngiang di benaknya, seperti gema yang menolak menghilang.
“Nes,” suara Berta memecah lamunannya. “Kalau aku jadi kamu, aku bakal cari cara untuk selesain ini baik-baik. Pak Fajar itu... bukan tipe orang yang gampang dilawan, apalagi kalau soal prinsip.”
Agnes menatap Berta, lalu menghela napas berat. Kata-kata sahabatnya benar, tapi entah kenapa ada bagian dari dirinya yang ingin tetap bertahan dengan keputusan ini—meski ia tahu, konsekuensinya tidak akan mudah.
"Ya sudah aku temui dia dulu. Do'ain semoga sahabatmu ini kembali padamu masih dalam keadaan utuh."
Kalimat itu membuat Berta tercengang, meskipun begitu karena berada dalam satu server ia pun menjawab, "Jika tidak kembali utuh aku janji Nes bakal kirim surat yasin tiap malam jum'at."
"Parah, kamu do'ain aku almarhum?"
"Oh, salah ya? Ya sudah ku do'ain keperawananmu hilang."
Agnes mengepalkan tangannya ingin memberikan sedikit pelajaran untuk sahabatnya itu, akan tetapi urung karena saat ini fajar terus menelponnya.
***
Fajar berdiri tegak di bawah pohon rindang, wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. Ketika Agnes mendekat, suasana langsung terasa kaku. Tidak ada sapa, hanya tatapan tajam dari Fajar yang membuat Agnes merasa kecil. Ia menelan ludah dan kikuk menyapa, "Hai."
Fajar hanya diam sejenak, matanya menatapnya dengan tajam. "Jadi, kamu datang sebagai istriku?" tanya Fajar, suaranya datar tapi jelas.
Agnes mengangkat kepala, mencoba tenang meski hatinya berdebar. "Memangnya harus sebagi apa?" jawabnya balik, berusaha terdengar lebih percaya diri.
Fajar berjalan mendekat, langkahnya panjang dan pasti. Jaraknya kini hanya satu jengkal saja. Agnes memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Meskipun sudah berani melawan Fajar, tetap saja ia merasa nyalinya tak sebesar yang terlihat.
"Pak Fajar, aku ngaku salah. Tapi aku cuma mau ngasih kesempatan buat pacar Bapak itu biar lebih dekat. Kasihan, Pak, dia udah susah payah pindah ke sini, masih Bapak cuekin. Aku berdoa semoga Bapak dan dia langgeng, dunia akhirat. Aku ikhlas kok," kata Agnes, berusaha terdengar tulus meski hatinya penuh gejolak.
Fajar terdiam sejenak, matanya mencerna kata-kata Agnes. Rasanya, ada sesuatu yang Fajar mulai pahami—bahwa selain membuatnya marah, di pikiran istrinya ada keinginan agar ia bersama wanita lain.
"Jadi menurutmu aku harus bersamanya?" Fajar akhirnya bertanya, suaranya rendah, namun tajam.
Agnes perlahan membuka matanya dan terkejut saat melihat wajah Fajar hanya beberapa sentimeter dari wajahnya. Refleks, ia mundur satu langkah, namun tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Fajar segera menangkapnya, tubuh Agnes hampir sepenuhnya terpeluk oleh Fajar.
Fajar menatapnya dalam diam, matanya memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. "Hati-hati," bisiknya lembut, meski suaranya masih terdengar berat.
Agnes yang masih terkejut, merasakan detak jantungnya yang semakin kencang. Dalam momen itu, keduanya terdiam dalam keheningan, hanya terdengar suara alam yang mengalir dan degup jantung mereka yang saling berirama. Tangan Fajar yang memegangi tubuhnya terasa kuat, namun ada kehangatan yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
"Aku tahu apa yang kamu inginkan Agnes," kata Fajar dengan suara yang sedikit lebih lembut, meski masih terkesan penuh teka-teki. "Tapi ini nggak akan mudah."
Agnes mundur selangkah mendengar kalimat Fajar, "Ta-tapi kenapa?"
"Aku sudah bilang, menikah hanya sekali dan saat itu aku juga sudah berkata dengan sangat jelas, aku akan menghormati semua keputusanmu. Dan kamu sudah memilih untuk melangkah sampai sejauh ini. Jika kamu berpikir dengan mudah akan berpisah, itu tidak akan mungkin," jelas Fajar entah ini sebagai bentuk penjelasan atau sebagai peringatan untuk Agnes.
Agnes menelan ludah dan tidak bisa berkata-kata lagi. Namun, suara Fajar terdengar kembali, "Aku akan memberikan satu kesempatan untukmu agar kembali menjadi mahasiswa bimbinganku."
"Itu tidak mungkin," tolak Agnes.
"Kalau gitu, aku akan membuat pengumuman jika kita adalah pasangan suami istri. Sah, secara agama dan hukum," ancam Fajar dengan seringaian kecil.
"Hah, ta-tapi Pak...." Agnes mendengus seperti mati kutu.
"Kamu harus belajar menyelesaikan masalah yang kamu timbulkan, Istriku," ucap Fajar berjalan perlahan meninggalkan Agnes yang masih berdiri mematung.
"Fajar!" teriak Agnes saat kesadarannya kembali pulih ia menghentakkan kakinya dengan kesal lalu meninggalkan tempat itu.
Tanpa keduanya sadari sejak tadi ada seseorang yang menguping pembicaraan keduanya. Sherly yang sejak tadi berada tak jauh dari mereka kini keluar dari persembunyiannya.
Sherly, akhirnya membuka mulutnya dengan suara yang datar, "Menarik," katanya pelan, namun cukup untuk mengubah suasana menjadi lebih tegang. "Benar-benar menarik."