"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 32
Saat mendengar itu, Ariella sangat kebingungan. Ia berlari, mengejar ke pintu.
"Kontrak pernikahan apa? Aku tidak pernah berdiskusi apa pun denganmu!"
Dari ambang pintu, Carlton berkata, "Diskusi?
Tidak, Nona. Aku yang memutuskan dan kau hanya perlu menerimanya."
**
Ariella hanya terpana begitu Carlton menutup pintu, meninggalkannya dalam keheningan yang seolah mengguncang kestabilan emosinya.
Kata-kata pria itu masih menggema di telinga, " Aku yang memutuskan, dan kau hanya perlu menerimanya."
Ariella mengepalkan tangan, kemarahan dan ketakutan berbaur di dadanya menjadi segumpal kekhawatiran tak berujung. Ia merasa seperti boneka yang dimainkan oleh tangan besar yang tak bisa ia lawan.
Memangnya siapa pria itu?
Astaga! Kontrak pernikahan?
Menikah? Dengan Carlton Rutherford?
Itu pasti mustahil. Membayangkannya saja rasanya sulit.
"Kontrak pernikahan? Apa ini semacam lelucon kejam?"
Ariella berbisik pada dirinya sendiri, mencoba merasionalisasi situasi yang sedang ia alami.
Carlton mungkin telah menyelamatkannya semalam, tetapi itu tidak berarti ia memiliki hak atas hidupnya.
Ariella tahu benar dan mengingat tatapan dingin pria itu, cara dia membunuh tanpa ragu-ragu.
Tindakan itu jelas bukan tentang
melindunginya, melainkan menegaskan kekuasaan Carlton di hadapan orang-orang yang berani menantangnya, dan sekarang, Ariella adalah bagian dari kekuasaan itu.
Carlton menginginkan Ariella hanya sebagai piala.
Dasar bajingan!
**
Ariella tidak ingin menunggu untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ia tahu Carlton pasti akan kembali, membawa kontrak yang ia sebutkan.
Dengan cepat, ia mencoba merencanakan pelarian baru.
Ia mengedarkan pandangannya di kamar itu,mencari alat apa pun yang bisa membantunya. Ia mendekati lemari besar di sudut ruangan dan membukanya.
Di dalamnya, ia menemukan deretan pakaian mahal yang tidak ia kenali. Gaun-gaun panjang, blazer mewah, semuanya tampak seperti disiapkan khusus untuknya.
"Seolah-olah aku sudah menjadi bagian dari hidupnya sana. Astaga! Padahal kami orang asing. Bagaimana bisa dia melakukan ini? Sungguh pria mengerikan," gumam Ariella, merasa ngeri.
Bagaimana caranya keluar dari sana?
Bagaimana? Gadis itu merasa sangat buntu.
Ketika pelayan datang untuk mengawasinya mandi dan menyiapkan pakaian, ia berusaha membujuk mereka agar membantunya kabur.
"Sungguh, Nona. Jika kami melakukannya, Tuan akan memenggal kami."
"Apakah dia akan sekejam itu?"
"Tuan Rutherford adalah pria yang sulit ditebak, sebaiknya Anda berhati-hati, Nona Ariella. Lebih baik Anda menurut saja daripada nyawa Anda menjadi taruhannya."
Bahu kecil Ariella terangkat, mendengar ucapan pelayan-pelayan itu tidak lantas membuat tekadnya hilang, meskipun saat mendengar itu.
Ariella semakin ketakutan.
Karena apa yang dikatakan mereka memang benar. Carlton Rutherford adalah pria tanpa ampun. Dia orang kaya, berkekuasan di kota itu bagaikan raja kejam, dan membunuh bisa saja dilakukannya tanpa pikir panjang.
Masa bodoh!
Ariella berencana untuk kabur ketika ia diantar ke ruang makan nanti.
**
"Nona, tuan Rutherford hampir siap.
Sebaiknya kita pergi sekarang karena beliau tidak suka menunggu."
"Aku siap pergi."
Para pelayan itu bekerja sangat cekatan, mereka membantu Ariella mandi busa dan menggosok kulitnya dengan sabun yang sangat harum.
Ariella sama sekali tidak keberatan dengan kemewahan yang disajikan itu, karena ia sendiri senang bayang-bayang dari aroma amis darah menghilang dari indera penciumannya.
Setelah itu, para pelayan membantunya memakai dress ringan bunga-bunga warna biru, mereka menyisir rambutnya dan menatanya dengan jepitan, mereka juga memoleskan pewarna bibir.
"Tuan Carlton tidak suka aroma yang terlalu menyengat, jadi sebaiknya Anda tidak memakai parfum."
"Baiklah," kata Ariella.
Kembali ke masa kini.
Ariella keluar dari kamar itu, satu pelayan yang menyusulnya tersenyum datar pada Ariella tepat di depan kamarnya.
"Mari, Nona."
Baru beberapa langkah pergi, Ariella berhenti.
Si pelayan spontan menoleh, dan ia melihat Ariella memegang perutnya.
"Ada apa, Nona?"
"A-aku sakit perut, sepertinya aku terlalu gugup. Bisakah aku ke toilet sebentar?"
Pelayan itu mengangguk.
"Baiklah, tetapi saya akan ikut ke dalam bersama Anda."