Selimut Tetangga

Chat dari taksi online membuatku bergegas keluar dari rumah. Ada skincare dan make up yang ingin aku beli di pusat perbelanjaan. Kemarin saat belanja bulanan dengan Mas Dirga, aku lupa membelinya karna fokus belanja kebutuhan dapur.

"Tunggu sebentar Pak,,," Teriakku seraya menutup pintu dan menguncinya. Aku berjalan cepat menghampiri mobil berwarna putih itu.

Taksi yang aku tumpangi mulai keluar dari area perumahan. 1 jam yang lalu aku sudah meminta ijin pada Mas Dirga kalau aku akan pergi ke mall. Mas Dirga tentu saja dengan senang hati mengijinkanku. Bahkan sejak awal pindah disini, Mas Dirga sering menyuruhku untuk shoping kalau aku bosan di rumah. Mungkin dia kasihan melihatku hanya berdiam diri saja di dalam rumah tanpa ada kegiatan di luar.

Tapi memang dasarnya aku saja yang malas bepergian sendiri, jadi selama ini lebih banyak di rumah.

"Makasih Pak." Ku sodorkan uang tips cash padanya sebelum keluar dari taksi. Sedangkan untuk pembayaran sudah ku kirim lewat aplikasi.

Tadi Mas Dirga sempat mengisi saldo OVO ku setelah aku pamit padanya. Dia bilang untuk membayar taksi, makan siang dan membeli makanan kesukaanku. Mas Dirga memang seroyal itu, dia tak pernah berfikir 2 kali saat mengeluarkan uang untuk membeli apa yang aku mau.

Bahkan setiap kali Mas Dirga menerima gaji, dia akan mengisi saldo di aplikasi online shop ku. Khusus untuk membeli kebutuhanku saja.

Sebaik itu Mas Dirga sebagai suami, sampai tidak ada celah untuk menemukan kekurangannya.

Tapi semenjak mencium parfum lain di kemeja Mas Dirga, aku jadi berfikir kalau semua orang memang memiliki kekurangan. Tidak ada yang benar-benar sempurna sebaik apapun pasangan kita. Meski begitu, aku harap kecurigaanku tidak benar.

"Mbak Karina.? Bukannya itu Mbak Karina.?" Sontak aku menghentikan langkah. Ku tajamkan penglihatan untuk menatap seorang wanita dan pria yang sedang makan berdua di salah satu restoran Jepang. Keduanya tampak tertawa lepas dengan interaksi yang tampak intim.

"Katanya pergi ke luar kota, tapi nyatanya ada di sini." Gumamku bingung.

Seketika aku menaruh curiga pada Mbak Karina. Mungkinkah dia bermain di belakang Mas Agam.? Karna aku yakin pria yang bersama Mbak Karina bukan hanya sekedar teman atau rekan saja. Lagipula mana ada rekan kerja yang sempat-sempatnya menggenggam tangan dengan mesra seperti itu di saat makan bersama.

Buru-buru ku ambil ponsel dari dalam tas, tanganku reflek mengaktifkan kamera untuk mengambil foto mereka berdua. Namun aku mengurungkan niat, segera ku masukan kembali ponsel ke dalam tas.

"Ingat Bianca,, jangan mencampuri urusan rumah tangga orang lain." Aku mengingatkan diri sendiri. Kalaupun benar Mbak Karina ada main di belakang Mas Agam, biar nanti Mas Agam yang melihat dengan mata kepalanya sendiri. Karna aku percaya sepandai-pandainya orang menyembunyikan kebohongan, suatu saat pasti akan terbongkar dengan sendirinya.

Sekalipun aku yakin kalau Mbak Karina memiliki hubungan dengan pria itu, tapi biar Mas Agam saja yang memergoki mereka berdua suatu saat nanti.

Aku bergegas dari sana agar Mbak Karina tidak melihatku, lagipula aku harus membeli sesuatu.

Sepanjang berjalan aku terus memikirkan perbuatan Mbak Karina. Entah apa kurangnya Mas Agam sampai dia tega mengkhianatinya. Dengan alasan pergi ke luar kotanya, nyatanya Mbak Karina malah bersenang-senang dengan pria lain.

Aku kembali ke rumah pukul 3 sore. Niat hati cuma ingin membeli skincare dan makan siang, aku malah masuk ke salon untuk mengubah warna rambut. Tiba-tiba saja ingin mewarnai rambut dari bagian tengah ke bawah dengan warna blonde.

Aku ingin lihat seperti apa reaksi Mas Dirga saat melihat rambut baruku nanti. Karna aku tidak memberitahu dia kalau akan mewarnai rambut.

...*****...

Sore itu aku di kagetkan dengan suara bel. Masih jam 5 sore, rasanya tidak mungkin kalau Mas Dirga yang datang. Karna belakangan ini Mas Dirga pulang di atas jam 6. Lagipula kalaupun Mas Dirga pulang, dia pasti tidak akan menekan bel karna punya kunci rumah.

Ku sambar kardigan lengan panjang untuk menutupi dress ku yang tanpa lengan.

"Ya,, sebentar,,!!" Aku bergegas lari kecil untuk memabukkan pintu.

"Mas Agam.?" Antara bingung dan canggung, aku tersenyum kikuk padanya. Pria itu tersenyum tipis, tampak tenang dan berwibawa dengan setelan kemeja kerjanya yang masih melekat. Sepertinya Mas Agam baru saja sampai.

Pria di hadapanku itu sekilas menatap ke arah rambut panjangku yang terurai ke depan. Dari tatapan matanya aku bisa mengerti kalau Mas Agam sedang memperhatikan warna rambut baruku.

"Mas.?" Lirih ku. Saat itu juga Mas Agam mengalihkan perhatian dari rambutku.

"Mau ngasih ini." Mas Agam menyodorkan paper bag coklat padaku. Paper bag dengan tulisan dan gambar es boba.

"Oh,, ya ampun Bia lupa kalau tadi pagi nitip ini." Seketika aku ingat dengan obrolan kami tadi pagi.

"Berapa Mas.? Bia ambil dulu ya uangnya." Aku berniat masuk ke dalam, tapi Mas Agam mencegahku.

"Itu buat kamu, nggak perlu di ganti." Ucapnya.

"Tapi kayaknya lebih dari satu ya.? Kok berat banget." Langsung ku intip isi paper bag di tanganku. Ternyata benar, ada 3 es boba di dalamnya dengan varian rasa yang berbeda.

"Tuh kan bener. Kok banyak banget.? Atau yang dua punya Mas Agam.?" Kataku hampir tanpa jeda.

"Aku nggak terlalu suka minuman itu." Ucapan Mas Agam sudah cukup menjelaskan kalau dia tidak beli es boba itu untuk dirinya sendiri.

"Katanya 3 rasa itu yang jadi best seller, jadi aku beli semuanya buat kamu." Mas Agam berbicara tentang. Satu tangannya masuk ke kantong celana.

"Mas Agam yang bener aja, ini kebanyakan kalau cuma di minum sendiri."

"Bia ambil satu aja ya." Setelah mengambil satu, aku menyodorkan paper bag itu pada Mas Agam.

"Yang itu buat Mas aja sama Mbak Karina." Mas Agam tak kunjung mengambil paper bag dari tanganku.

"Karina masih di Bali. Lagian aku beli buat kamu."

Sesaat aku terdiam. Ternyata benar Mbak Karina membohongi Mas Agam. Tega sekali dia bilang pergi ke Bali, padahal masih ada di Bandung.

"Ya udah yang ini buat Mas aja." Aku memberikan satu es boba pada Mas Agam.

"Minum yang manis-manis tuh bisa balikin energi, cocok buat Mas yang abis kerja." Ucapku kemudian menyengir kuda.

"Makasih banyak buat bobanya. Bia masuk dulu Mas," Tidak enak mengobrol lama-lama dengan Mas Agam, aku memilih masuk ke dalam rumah.

Mas Agam mengangguk kecil seraya tersenyum tipis, lalu beranjak dari rumahku.