Karena takut dipenjara dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, Kaisar Mahaputra terpaksa menikahi seorang gadis belia yang menjadi buta karena ulahnya.
Sabia Raysha ialah gadis yang percaya pada cerita-cerita Disney dan yakin bila pangeran negeri dongeng akan datang untuk mempersuntingnya, dia sangat bahagia saat mengetahui bila yang menabraknya adalah lelaki tampan dan calon CEO di perusahaan properti Mahaputra Group.
Menikah dengan gadis ababil yang asing sementara ia sudah memiliki kekasih seorang supermodel membuat Kaisar tersiksa. Dia mengacuhkan Sabia dan membuat hidup gadis itu seperti di neraka. Namun siapa sangka, perhatian dari adik iparnya membuat Sabia semakin betah tinggal bersama keluarga Mahaputra.
“Menikahimu adalah bencana terbesar dalam hidupku, Bia!” -Kaisar-
“Ternyata kamu bukanlah pangeran negeri dongeng yang selama ini aku impikan, kamu hanyalah penyihir jahat yang tidak bisa menghargai cinta dan ketulusan.” -Sabia-
**********
Hai, Bestie! Jangan lupa klik ❤️ dan like agar author semakin semangat update dan berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UmiLovi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah untuk Sabia
"Nggak perlu, Bik! Saya nggak akan berangkat."
"Tapi, Non—"
"Ada apa ini pagi-pagi sudah ribut?" Hari mendekat ke kamar Sabia sembari tetap memasang dasi di lehernya.
Bik Yati tersenyum keki. "Anu, Tuan. Harusnya hari ini Non Bia kontrol ke Rumah Sakit. Kemarin Nyonya Besar sudah titip sama saya untuk nganter Non Bia. Tapi Non Bia nggak mau berangkat," sahut Bik Yati keki. Nona Mudanya benar-benar keras kepala.
"Kak Kai ke mana?" Hari melongok ke dalam kamar Sabia yang lengang, bertanya pada Bik Yati.
Bik Yati hanya mengedikkan bahunya pelan. "Sepertinya semalam Tuan Kai nggak pulang lagi," bisik Bik Yati lirih sambil mendekat ke telinga Hari.
Di dalam kamar, Sabia nampak duduk di atas kursi roda menghadap ke luar jendela. Hari menghembuskan napasnya berat. Kakaknya berulah lagi!
Mendengar ada suara langkah kaki mendekat, Sabia fokus mempertajam indra penciumannya. Aroma parfum milik Hari terendus.
"Aku antar ke Rumah Sakit, ya?" tanya Hari halus begitu ia duduk di ranjang tak jauh dari tempat Sabia duduk termenung.
Bia menggeleng, ia sudah tak bersemangat lagi untuk sembuh. Sebulan lebih berlalu namun tak ada perkembangan dengan kakinya.
"Kalo gitu, aku telefon Kak Kai biar nganter kamu ke Rumah Sakit—"
"Aku nggak mau berangkat, Hari! Kenapa sih kalian maksa banget!!" sela Sabia bersungut. "Dokter bilang gips ini masih akan dilepas dua minggu lagi, jadi buat apa aku masih kontrol ke sana!"
Hari tak menyahut, ia kehilangan kata-kata. "Setidaknya biar Dokter tahu perkembangan kesehatan kamu, Bia."
"Perkembangan apa lagi? Nggak ada yang kemajuan apa-apa dengan kesehatanku. Aku masih buta dan nggak berguna!" keluh Sabia kesal. Ia mulai muak dan lelah.
"Hei, kenapa bilang begitu!" Hari mendekat ke kursi roda Bia dan bersimpuh di hadapannya. Setetes air mata lolos dari pelupuk mata Kakak iparnya itu, membuat Hari ikut larut dalam kesedihan yang tercipta pagi ini.
"Aku sudah lelah, Hari. Kenapa harus aku! Kenapa yang cacat bukan Kaisar saja! Aku masih punya banyak mimpi yang ingin aku wujudkan. Aku ingin jadi penulis, Hari. Aku ingin semua orang bisa membaca karyaku!! Tapi nyatanya, aku malah buta dan tak berdaya di atas kursi roda sialan ini! Dan Kaisar sama sekali nggak pernah minta maaf atau paling nggak menghiburku!!" Sabia mengungkapkan semua kekesalannya dengan brutal.
Hari memberanikan diri menyentuh tangan Kakak iparnya dan menggenggamnya dengan erat untuk berbagi kekuatan. Setidaknya hanya inilah yang bisa ia lakukan agar Bia tak merasa sendirian.
"Atas nama Kakakku, aku minta maaf, Bia. Tapi tolong jangan menyerah. Ini masih terlalu awal untuk menyerah pada keadaanmu."
Sabia menarik tangannya dan menangkup wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Ternyata menikah dengan Kaisar tidaklah seindah yang ia pikir.
"Bia, setidaknya berjuanglah sembuh untuk orang-orang yang kamu sayangi. Orang tuamu misalnya. Masih banyak yang menyayangimu, kok!" lanjut Hari menasehati.
Bik Yati yang mendengar isi hati Nona Mudanya ikut menitikkan air mata. Ia ikut sakit hati melihat Kaisar mengacuhkan gadis sebaik Sabia. Sambil bersandar di ambang pintu, Bik Yati mengusap air mata dan ingusnya dengan serbet yang terikat di tangannya.
"Bertahanlah, Bia. Kamu pasti bisa sembuh. Percayalah padaku!" Hari menyeka air mata di pipi Sabia dengan lembut.
Andai bukan istri Kakaknya, mungkin Hari akan jatuh cinta pada gadis belia ini. Sebulan lebih tinggal di atap yang sama, Hari mulai melihat banyak sekali pesona yang tersimpan di diri Sabia. Sayangnya, Kaisar justru sibuk mencela dan membenci Sabia daripada melihat keistimewaan gadis itu.
"Aku antar ke Rumah Sakit, ya?" tanya Hari memastikan setelah Bia mulai tenang.
Sabia mengangguk perlahan. Hari benar, ia harus semangat sembuh untuk kedua orang tuanya! Ia harus bisa segera pulih agar tak lagi bergantung pada orang lain.
Hari tersenyum lega. Ia bangkit dan memerintahkan Bik Yati masuk.
"Bantu Sabia bersiap-siap, Bik. Saya yang akan antar dia ke Rumah Sakit!"
..
..
Di luar dugaan, hari ini gips Sabia sudah bisa dilepas. Namun demikian ia masih harus ekstra hati-hati karena retak pada tulangnya masih belum pulih sempurna. Bia dilarang berjalan terlalu jauh dan harus menggunakan tongkat elbow untuk berjalan.
"Are you happy?" tanya Hari begitu mereka berdua kini duduk di cafe tak jauh dari Rumah Sakit.
Sabia tersenyum lebar, semangkuk ice cream rasa coklat dan strawberry tersaji di hadapannya. "Aku happy sekali, Hari! Akhirnya aku nggak perlu naik kursi roda lagi!!" jerit Sabia tertahan.
Hari tertawa kecil, dialah yang memaksa Dokter Alex melepas gips itu. Hari tak tega melihat Sabia terus menerus tersiksa duduk di kursi roda. "Baguslah! Tapi ingat pesan Dokter Alex tadi, kamu masih belum boleh terlalu banyak bergerak dan berjalan!"
"Iyaaa, aku tahu. Kamu sudah mengulanginya empat kali sejak kita pulang dari Rumah Sakit tadi!" Sabia bersungut, ia menahan mangkuk es krimnya dan menyendoknya perlahan. Hari ternyata lebih cerewet dari Mama Asih!
"Oh iya, aku ada satu hadiah untukmu!" Hari mengeluarkan sebuah kotak dari paperbag yang tadi ia bawa masuk ke dalam cafe.
Bia merasakan tangan Hari menarik tangannya lantas menyerahkan sebuah kotak. "Apa ini?" tanyanya bingung.
"Bukalah. Kamu pasti suka!"
Sabia menghembuskan napasnya gugup dan membuka kotak itu dengan hati-hati. Sesekali Hari membantunya saat selotip yang menempel di kotak itu membuat Sabia kesulitan membukanya. Begitu kotak itu terbuka, Sabia meraih benda di dalamnya. Benda pipih berbentuk flip dengan beberapa tombol yang timbul dan layar yang besar.
"Apa ini hape?" tanya Bia menebak.
"Hahaha ... cerdas sekali kamu, Bia!"
Sabia terbelalak, jadi benda di dalam genggamannya ini adalah hape baru?? Owh, daebak!!
"Ini ponsel khusus penyandang disabilitas sepertimu, Bia. Namanya Ray L5. Bisa digunakan dengan menggunakan sensor suara. Ada Tag/ Sticker Identifier akan membantumu mengenali benda-benda di sekitarmu, ada juga tombol SOS yang langsung menghubungkanmu pada nomor darurat!"
"Nomor darurat?"
"Iya, kamu bisa mengisinya dengan nomor siapapun yang kamu mau. Nomor Ayahmu atau nomor Mamamu boleh. Nanti aku bantu menyetingnya—"
Sabia menyodorkan ponsel itu pada Hari. "Tolong isikan nomormu ke nomor darurat di ponselku!"
Hari terhenyak, tanpa sadar ia menahan napas. "N-nomorku?"
Sabia mengangguk pasti. "Iya. Tidak mungkin aku mengisi nomor Mama atau Ayahku, mereka tidak tinggal bersamaku selama 24 jam. Nomor Mama Mira juga nggak mungkin, karena Mama Mira sering menemani Papa ke luar negeri. Jadi memasukkan nomormu di situ lebih masuk akal!"
"Kenapa bukan nomor Kak Kai saja?" elak Hari sungkan.
Mendengar nama Kaisar disebut sontak membuat wajah Sabia menegang. "Nggak mau! Aku benci sama dia. Manusia planet dan menyihir jahat yang hidup di muka bumi."
"Hahaha ...." tawa Hari sontak meledak mendengar umpatan Sabia. Ia pun akhirnya menyimpan nomornya sebagai kontak darurat di ponsel baru milik Sabia, sementara gadis itu menikmati es krimnya yang sudah hampir habis.
"Oh ya, Hari. Kamu sudah punya pacar belum?"
Tangan Hari menegang saat menekan tombol angka di keypad Bia. "Kenapa memangnya?" tanyanya datar kemudian.
"Kamu mau aku jodohin dengan temanku, nggak?!"
Hari mendengus. "Tidak perlu. Aku masih ingin sendiri."
"Dih, dingin amat! Kamu jadi mirip dengan Kaisar kalo ngomong kaya gitu," sindir Bia terkekeh.
"Aku akan pacaran kalo kamu sudah bisa melihat. Biar kamu tahu secantik apa wanitaku!"
"Aaah, itu lama banget, Hari! Keburu kamu tua nanti!"
"Siapa bilang!? Kamu bisa melihat secepatnya kok kalo mau terima kornea dariku!"
Bia tercekat. "Becandamu nggak asik, Hari!" sungut Sabia kesal. "Ucapan adalah doa! Memangnya kamu nggak takut ada malaikat lewat terus doamu dikabulkan?!"
"Hahaha ..." tawa Hari, melihat ekspresi Sabia saat sedang cemberut membuatnya gemas. "Aku serius, Bia."
************
Hai, jangan lupa klik jempolnya yaaa, Bestie 🥰.
coba klo ga sakit apa mau di puk puk
cuma taunya marah kan bang koi bang koi pulang" mlh sakit 🤣🤣🤣
Kai ini cari mslh aja ada yg halal
tp cinta mo lawan kah😍