Gendhis... Gadis manis yang tinggal di perkampungan puncak Sumbing itu terjerat cinta karena tradisi perjodohan dini. Perjodohan itu disepakati oleh keluarga mereka saat usianya delapan bulan dalam kandungan ibunya.
Gadis yang terlahir dari keluarga sederhana itu, dijodohkan dengan Lintang, anak dari keluarga kaya yang tersohor karena kedermawanannya
Saat usia mereka menginjak dewasa, muncullah benih cinta di antara keduanya. Namun sayang, ketika benih itu sudah mulai mekar ternyata Lintang yang sejak kecil bermimpi dan berhasil menjadi seorang TNI itu menghianati cintanya. Gendhis harus merelakan Lintang menikahi wanita lain yang ternyata sudah mengandung buah cintanya dengan Lintang
Seperti apakah perjuangan cinta Gendhis dalam menemukan cinta sejatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N. Mudhayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lintang Vs. Ketua OSIS Part. 2
Hangatnya sinar mentari mulai terasa di kulit. Ditambah aktifitas peserta kemah yang sedang asyik jalan pagi sambil menikmati pemandangan, membuat keringat mulai keluar dari pori-pori. Pak Agung, Bu Mila, juga beberapa guru yang lain tampak sedang berjalan-jalan hendak menikmati sunrise dari titik tertinggi di Gardu Pandang Silancur.
"Permisi, Pak, Bu... Saya mendahului..." Tina meminta izin untuk berjalan lebih dulu.
"Loh... Tin... kenapa buru-buru?" Tanya Bu Mila.
"Iya, Bu... sedang ada urusan. Mari..." Jawab Tina.
"Iya... iya... hati-hati." Jawab Bu Mila yang merasa aneh dengan tingkah muridnya itu.
Guru-guru yang lain pun tak mau ambil pusing. Mereka lebih memilih untuk menyaksikan indahnya bunga yang sedang mekar di tepian jalan, ketimbang mengawasi gerak gerik Tina pagi itu.
*****
"Tunggu, Dis. Aku belum selesai ngomong."
Sementara di atas taman bukit, Riko masih sibuk meyakinkan Gendhis, tanpa ia ketahui Lintang sedang berjalan menuju arah mereka, meskipun Lintang belum melihat apa yang sedang Riko coba yakinkan untuk kekasihnya.
Gendhis masih terus berjalan pelan melangkahkan kakinya menjauhi Riko.
"Gendhis... dengarkan aku dulu." Riko berjalan hendak menyusul Gendhis.
"Gendhis... aku sungguh-sungguh mencintaimu. Dan aku yakin bisa ngebahagiain kamu melebihi Lintang." Riko berlari mendekati Gendhis dan kembali menarik lengan kanannya.
Namun kali ini Gendhis mencoba melepaskan diri.
"Lepasin tanganku Mas Riko. Aku mau turun sekarang." Ucap Gendhis sambil mencoba melepaskan cengkraman tangan Riko.
Lelaki itu tak kuasa menahan Gendhis untuk berada di sana dan memeyakini perkataannya.
Baru dua langkah Gendhis berjalan, betapa terkejutnya ia melihat Lintang tiba-tiba muncul dari balik pohon nan rindang yang hanya berjarak tidak lebih dari tiga meter di mana Gendhis dan Riko berdiri.
Ketiganya hanya tertegun bagaikan patung. Tak ada satupun yang berkata-kata. Baik Lintang maupun keduanya sama terkejutnya. Mata Lintang menatap tajam, hatinya berdetak dengan sangat kencang, bara api di dadanya makin meletup-letup seolah tak percaya dengan pemandangan yang ia lihat di hadapannya saat itu.
Riko sudah bisa menebak, cepat atau lambat pasti akan dihadapkan pada suatu keadaan seperti ini. Ia merasa ada setitik harapan, dengan Lintang yang memergoki mereka berdua, setidaknya hubungan Lintang dengan Gendhis akan ada jarak. Dia sudah siap apapun yang akan Lintang lakukan padanya.
Sementara Gendhis, masih tertegun melihat wajah kekasihnya. Ia tahu betul kalau Lintang tak suka dia berurusan sama Riko, tapi lihat saat ini... dia memergoki dirinya sedang bersama dengan Riko dan hanya berdua saja, "Ya... Allah, Mas Lintang pasti salah faham. Kali ini dia pasti marah besar. Apa yang harus aku perbuat?" Gendhis bertanya dalam hati.
Kemudian Gendhis berjalan menuju Lintang dan hendak menjelaskan semuanya, tapi Lintang sudah lebi dulu melangkahkan kakinya. Bukan untuk mendekati Gendhis, melainkan ia berjalan ke arah Riko sambil mengepalkan tangan kanannya, lalu...
"Bugghh..."
Seketika tangan kanan Lintang melayang mengenai wajah Riko.
"Berapa kali sudah aku peringatin. Jangan coba-coba deketin Gendhis!" Ucapan Lintang penuh bara api.
Gendhis sangat terkejut dan seketika memanggil kekasihnya.
"Mas Lintang..." teriaknya.
Riko tak mau diam begitu saja, segera ia bersiap membalas layangan tangan dari Lintang.
"Bugghh..."
"Kamu pikir kamu siapa, sok sok an kasih peringatan. Suka-suka aku lah mau deketin cewek manapun, termasuk Gendhis." Jawab Riko tak gentar sedikitpun.
Keduanya pun seolah saling pukul untuk menunjukkan siapa yang lebih pantas memiliki Gendhis.
"Mas Lintang... Mas Riko... sudah, cukup!"
Teriakan Gendhis tak sekalipun mereka hiraukan. Gendhis makin panik, lalu Tina pun datang.
"Dis, gimana ini?" Tina panik.
"Nggak tahu, Tin. Cepat panggil siapa pun kesini untuk melerai mereka, aku nggak bisa..." Pinta Gendhis.
Tina ingat saat berjalan kesini tadi melihat bapak ibu guru berjalan ke arah yang sama. Tina segera turun lagi untuk memanggil Pak Agung. Kali ini dia berlari sangat kencang dan saat melihat guru-guru tersebut mendekat, Tina segera mengadu pada Pak Agung.
"Pak... Agung... Pak Agung..." Nafasnya tersengal-sengal.
"Tina... ada apa? Kamu kan baru aja naik, kenapa sekarang udah di sini?" Kali ini Pak Agung mulai heran.
"Pak Agung, ayo cepat ke atas, Pak!" Tina seolah kehabisan kata-kata karena sanking paniknya.
"Tenang, Tin... tenang. Ngomong pelan-pelan ada apa? Ini juga kami lagi mau ke atas." Bu Mila mencoba menenangkan.
"Pak Agung... Kak Riko dan Kak Lintang sedang berkelahi di atas." Tina ahirnya berbicara.
"Haaa? Berkelahi?" Guru-guru sangat terkejut seolah tak percaya.
"Iya... berkelahi." Tina mengulangi.
"Ayo... cepat... cepat..." Mereka segera mempercepat langkahnya menuju puncak.
Dan memang benar apa yang dikatakan Tina ternyata benar. Pak Agung segera melerai dua pemuda yang tengah menunjukkan jati dirinya itu. Sebagai pembina OSIS juga pengampu ekskul basket di sekolahnya, Pak Agung cukup paham problematika yang terjadi pada dua murid kesayangannya itu pasti memperebutkan Gendhis.
"Lintang... Riko... cukup! Apa yang kalian lakukan? Benar-benar ya, kalian sudah mengecewakan, Bapak!" Kata Pak Agung marah.
Gendhis lega, ahirnya perkelahian itu dapat segera dihentikan.
Riko dan Lintang hanya terdiam menahan emosi masing-masing.
"Ya ampun... anak-anak laki-laki Ibu, murid-murid kesayangan Ibu... kalau kalian ada masalah, kalian kan bisa selesaikan baik-baik, kenapa harus berkelahi seperti ini? Benar-benar contoh yang tidak baik untuk adik kelas kalian." Bu Mila menggeleng-gelengkan kepalanya.
Hari sudah mulai siang. Tak sedikit anggota kemah yang lain sudah mulai berdatangan ke puncak. Bahkan beberapa orang pengunjung Silancur Highland pun turut menyaksikan kejadian pagi itu. Sangat mencoreng nama baik sekolah.
Pak Agung kembali angkat bicara,
"Bapak nggak mau ribut-ribut di sini. Kita akan membicarakan ini besok saat masuk sekolah. Saya tunggu kalian ber tiga di ruangan saya untuk menjelaskan semua ini. Kamu juga Tina, ikut ke ruangan saya, karena selain Gendhis, kamu juga ada di sini."
Pak Agung diam sejenak lalu kembali berkata,
"Sekarang cepat semuanya turun, kita kembali lebih awal. Kemasi semua barang-barang lalu kita segera melakukan upacara penutupan. Apa kalian semua faham?" Tanya Pak Agung pada semua peserta kemah LDK yang menyaksikan kejadian itu.
"Baik... Pak..." Semua siswa menjawab.
Ketegangan pun ahirnya dapat teratasi. Mereka segera melakukan intruksi dari Pak Agung. Semuanya bergegas meninggalkan puncak, hanya tinggal Lintang dan Gendhis yang masih berdiri terpaku. Gendhis mencoba mendekati Lintang untuk menjelaskan segalanya.
"Mas Lintang... biar aku jelasin..." Kata Gendhis.
Belum sempat Gendhis melanjutkan kata-katanya, Lintang sudah berlalu pergi meninggalkannya tanpa sepatah katapun.
"Mas Lintang... tunggu, aku mau bicara." Cegah Gendhis.
"Bicara apa lagi, Dis? Semuanya sudah jelas. Pantas saja aku hubungi no kamu dari tadi pagi nggak aktif, ternyata ini alasannya..." Lintang merasa sangat kecewa.
"Mas Lintang, hpku lowbat dari tadi malam. Karena kecapean aku lupa mau charge." Jelas Gendhis.
Tapi sepertinya penjelasan itu tak ada pengaruhnya sama sekali untuk Lintang. Dia segera turun dan mengambil motornya dari tempat parkir, lalu melajukannya dengan sangat kencang.
Gendhis merasa lemah, lunglai, tak berdaya. Kejadian pagi ini benar-benar membuatnya shock. Dia tak menyangka akan terjadi hal terbesar ini di acara yang sebenarnya adalah tempatnya menggali ilmu. Ia sangat menyesali kejadian ini dan menyalahkan dirinya sendiri, tanpa sedikitpun melibatkan Tina, meski sebenarnya Tina lah saksi kunci dibalik kejadian pagi ini.
Peserta kemah mulai mengemasi barang-barang mereka. Setelah semua beres, upacara penutupan pun segera dilaksanakan meski harus maju beberapa jam dari jadwal seharusnya.
Suasana di lapangan pun berubah mencekam. Berbanding terbalik dengan saat di mana mereka datang ke tempat ini dua hari lalu. Pak Agung juga tidak banyak memberikan sambutan.
Kegiatan kemah peserta LDK di Silancur Highland pun berakhir sudah. Semuanya bergegas naik ke mobil setelah berpamitan dengan Pak Karto dan beberapa warga lainnya.
"Mbak Gendhis nggak pulang bareng Mas Lintang?" Tanya Pak Karto yang belum mengetahui insiden di puncak tadi.
Bukan mustahil, setelah beberapa warga tadi sempat melihat perkelahian Lintang dan Riko, sebentar lagi berita itu pasti sampai ke telinga seluruh warga Desa Sekar Wangi, Pak Argo dan Bu Parti, juga kedua orang tua Gendhis. Bu Sari, Ibu Gendhis itu pasti akan marah besar padanya.
"Oh... nggak Pak. Mas Lintang pulang duluan, tadi katanya mau ada acara." Gendhis mencoba menyembunyikan.
"Terus Mbak Gendhis pulangnya gimana?" Tanya Pak Karto.
"Saya jalan kaki aja, Pak... Kan deket rumah saya." Jawab Gendhis.
"Apa perlu saya antarkan?" Pak Karto menawarkan bantuan.
"Oh... nggak usah, Pak. Terimakasih. Biar saya jalan kaki aja sekalian olahraga." Jawab Gendhis sambil bercanda.
"Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya Mbak..." Pesan Pak Karto.
Pak karto yang sebenarnya sudah mengetahui kejadian di puncak itupun berusa menutupi dari Gendhis seolah tak tahu apa-apa. Dia menjaga perasaan Gendhis. Sebenarnya juga kasihan sama Gendhis. Dia tahu Gendhis adalah gadis baik, dan dalam hal ini hanya ada kesalahpahaman saja. Namun apa mau dikata. Dia juga tak bisa membungkam mulut warga yang berusaha membicarakan Gendhis. Dan berita ini laksana api membakar sekam yang kering, sangat cepat dan sulit dipadamkan.
*****
Bu Parti berjalan pulang dari ladangnya, dengan menggendong sekarung penuh brokoli di punggungnya. Memang kehidupan di Desa Sekar Wangi jauh dari hiruk-pikuk kehidupan wanita jaman sekarang, di mana kebanyakan wanita disibukkan dengan bermacam kegiatan sosialita, bahkan grup whatsapp yang mereka ikuti lebih dari dua puluh grup. Ada grup alumni sekolah, grup senam erobik, grup arisan, grup guyub rukun club mobil, motor dan masih banyak lagi yang lainnya. Tapi para wanita di Desa ini sangat kuat. Kalau urusan tenaga, jangan salah... kekuatan para wanita di Kampung Merangi bahkan tak kalah kuat dengan para lelaki di kota-kota.
"Sudah pulang, Nduk... Gimana kemahnya?" Tanya Bu Parti saat melihat Gendhis berjalan menuju halaman rumahnya.
"Alhamdulillah... lancar! Bu Parti baru pulang dari ladang?" Gendhis balik bertanya.
"Iya, Nduk..." Jawab Bu Parti. Dilihatnya Gendhis sedikit lelah.
"Lhoh, kamu pulang sendirian?" Tanya Bu Parti.
"Iya, Bu..." Gendhis menjawab.
"Lintang mana? Tadi berangkat pagi-pagi bilang sama Ibu katanya mau jemput kamu. Apa dia bohong ya sama Ibu? " Bu Parti menanyakan anaknya.
Gendhis sesaat berfikir, apa yang bisa dia katakan. Karena marah, Lintang pulang duluan meninggalkannya. Apa seperti itu? Oh tidak... aku harus berbohong. Kendati demikian, cepat atau lambat Bu Parti pasti tahu masalah ini. Entah tahu dari Lintang, atau bahkan dari orang lain.
"Oh... nggak kok, Bu. Tadi Mas Lintang sudah ke sana, cuma karena saya belum selesai kegiatan dan Mas Lintang buru-buru akhirnya pulang duluan." Jawab Gendhis yang sebenarnya bertentangan dengan hati kecilnya.
"Gimana to, Lintang ini... jemput kok nggak niat. Kalau memang ada acara kan bisa tunggu dulu sampai selesai. Ada acara sepenting apa to, sampai kamu dibiarin jalan sendirian. Biar... nanti Ibu marahin Lintang." Ucap Bu Parti marah-marah seolah mereka berdua masih anak kecil.
"Oh nggak usah, Bu. Biar... nggak papa Mas Lintang pulang duluan. Lagi pula kan deket, sesekali biar Gendhis bisa sambil jalan-jalan." Gendhis mencegah Bu Parti yang ingin memarahi putranya. Jelas-jelas Gendhis lah yang paling bersalah dalam kejadian ini, fikirnya dalam hati.
Dulu, saat keduanya bermain bersama lalu bertengkar, tak pernah sekalipun Bu Parti membela putranya. Meski bukan putri kandungnya, namun Bu Parti selalu menganggap Gendhis seperti putrinya sendiri. Apalagi mereka sekarang sudah resmi bertunangan.
"Mari, Bu... Gendhis mau istirahat dulu..." Dia berpamitan.
"Ya, Nduk..." Jawab Bu Parti. Ia masih tak mengerti, kenapa Lintang bisa sampai membiarkan Gendhis pulang sendirian.
Bu Parti segera meletakkan sayur yang ia bawa dari ladang di gudang sayur. Setelah itu, dia membersihkan diri. Belum juga istirahat, dia menyegerakan diri untuk menemui anak bujangnya. Dilihatnya Lintang tengah tertidur pulas di ranjangnya. Segera Bu Parti mendatangi Lintang dan membangunkannya.
"Masya Allah... Lintang. Dasar Bocah iki... Malah enak-enakan tidur. Sepagi ini? Malah Gendhis dibiarin jalan kaki..." Bu Parti menggerutu. Ia lalu menepuk-nepuk pipi kanan anaknya itu seraya membangunkannya.
"Lintang... Lintang..." Bu Parti memanggil.
Lintang masih saja tertidur. Bu Parti kembali membangunkannya.
"Lintang... eh... bangun, Le..." Panggil Bu Parti makin keras.
Lintang membuka mata, dan dilihatnya Bu Parti sudah duduk di sampingnya. Ia masih enggan untuk terbangun. Dengan mata yang sayu dan suara lirih, Lintang menjawab panggilan ibunya.
"Iya, Bu... Lintang masih ngantuk. Mau tidur lagi." Lintang membalikkan badan dan membelakangi ibunya.
"Ya Allah, Lintang... jam berapa ini? Kenapa kamu biarkan Gendhis jalan sendirian, sementara kamu di sini? Malah enak-enakan tidur." Bu Parti sewot.
Mendengar nama Gendhis, Lintang lantas terbangun lalu duduk.
"Ibu... siapa yang suruh jalan sendirian... Gendhis yang nggak mau Lintang jemput. Hpnya dimatiin dari tadi malem." Jawab Lintang.
"Ha... hpnya mati? Masa iya? Pasti cuma alesan kamu aja kan?" Bu Parti memang selalu meragukan anaknya kalau urusan Gendhis.
"Ya... ampun... Ibu nggak percaya? Tanya aja sama calon menantu kesayangan Ibu itu. Sudah ya, Bu... Lintang ngantuk mau tidur lagi." Ucap Lintang sembari menarik kembali selimutnya.
Bu Parti merasa ada yang tidak beres. Ia putuskan untuk segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
*****
Gandis juga baru lulus SMA kok bisa langsung jadi guru?