NovelToon NovelToon
GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Aplikasi Ajaib
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.

Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9 : JEBAKAN SANG PANGERAN

Langit di atas kota seolah sedang menumpahkan seluruh kemarahannya. Hujan turun begitu deras, menciptakan tirai air yang membatasi jarak pandang hanya dalam beberapa meter. Di SMA Pelita Bangsa, jam pelajaran terakhir baru saja usai, namun hawa dingin yang merayap di koridor sekolah bukan hanya berasal dari cuaca.

Sejak jatuhnya Selin yang mendadak miskin dan penangkapan ayah Bima yang menghebohkan, atmosfer sekolah berubah menjadi medan perang dingin. Semua orang saling curiga, dan di tengah pusaran badai itu, Aluna Seraphine tetap menjadi pusat perhatian yang paling sunyi.

Luna merapikan tasnya yang mulai usang. Ia menoleh ke arah bangku di pojok belakang, tempat Xavier biasanya duduk. Namun, bangku itu kosong. Tadi siang, Xavier menitipkan pesan singkat bahwa ia harus pergi ke perpustakaan pusat untuk mengurus berkas olimpiade, sebuah alasan yang terdengar sangat masuk akal bagi siapa pun.

"Luna, hati-hati pulangnya. Hujannya awet banget," tegur seorang teman sekelas yang biasanya tidak pernah bicara padanya. Kini, orang-orang mulai bersikap "sopan" karena takut terkena sial seperti Selin.

"Iya, terima kasih," jawab Luna pelan. Ia melangkah keluar kelas, merasakan sepatu sekolahnya yang mulai merembes air.

Saat ia sampai di gerbang sekolah, sebuah taksi berwarna biru kusam berhenti tepat di depannya. Sang sopir keluar dengan terburu-buru, membawa payung besar yang langsung ia arahkan untuk melindungi Luna. Wajah sopir itu tampak sangat cemas, keringat dingin bercampur dengan tetesan air hujan di pelipisnya.

"Neng! Neng Aluna, kan? Muridnya Ibu Siti yang tinggal di kontrakan Gang Melati?" tanya sopir itu dengan suara parau.

Luna mengernyit, perasaannya mendadak tidak enak. "Iya, Pak. Saya Aluna. Ada apa dengan Bibi saya?"

"Aduh, Neng... Bibi Siti kecelakaan! Beliau tadi mau nyebrang di depan kompleks, keserempet motor besar. Sekarang posisinya ada di gudang darurat pelabuhan karena jalanan ke rumah sakit utama banjir total, ambulans nggak bisa masuk. Beliau terus manggil-manggil nama Neng Aluna!"

Dunia seolah runtuh bagi Luna. Bibi Siti adalah satu-satunya manusia yang memberinya kasih sayang setelah orang tuanya tiada. Tanpa berpikir panjang, tanpa mempertimbangkan logika mengapa bibinya dibawa ke gudang pelabuhan, Luna langsung masuk ke dalam taksi tersebut.

"Cepat, Pak! Tolong bawa saya ke sana!" Luna menangis, tangannya gemetar hebat saat mencoba merogoh ponsel di dalam tasnya.

Ia mencoba menelepon ponsel bibinya, namun hanya suara operator yang menjawab. Ia kemudian mencoba menghubungi Xavier. Ia butuh Xavier. Ia butuh sandarannya. Namun, saat ia menekan tombol panggil, layar ponselnya hanya menunjukkan tulisan 'No Service'.

"Pak, kenapa sinyal saya hilang?" tanya Luna panik.

Sopir itu tidak menjawab. Ia terus memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah genangan air di jalanan yang mulai sepi. Luna mulai menyadari sesuatu yang aneh. Sopir ini tidak melihat ke arah jalan dengan cara yang biasa; ia terus melirik ke kaca spion tengah, menatap Luna dengan pandangan yang kosong dan dingin.

"Pak? Ini bukan jalan ke arah rumah sakit. Kita makin jauh dari kota," Luna mencoba membuka pintu mobil, namun suaranya tenggelam oleh bunyi KLIK otomatis. Pintu itu terkunci dari pusat.

"Diam saja, Neng. Kita hampir sampai," ucap sopir itu pelan. Nada suaranya berubah, dari panik menjadi sangat datar.

Taksi itu berbelok masuk ke area pergudangan pelabuhan lama yang terbengkalai. Tempat itu adalah labirin kontainer karat dan gudang-gudang tua yang sudah tidak digunakan sejak dekade lalu. Di tengah badai dan kabut, tempat ini tampak seperti kuburan massal bagi mesin-mesin tua.

Mobil berhenti di depan Gudang Nomor 09. Dari kegelapan di dalam gudang, sebuah mobil van hitam mewah menyalakan lampu jauhnya, menyilaukan mata Luna.

Seorang pemuda keluar dari van tersebut. Ia mengenakan jas hujan mahal berwarna gelap, memegang sebuah perangkat elektronik kecil di tangannya yang lampunya berkedip merah, sebuah signal jammer berkekuatan tinggi.

Itu Reihan Dirgantara.

Reihan berjalan mendekati taksi, mengetuk kaca jendela tepat di samping wajah Luna yang pucat pasi. Ia tersenyum, namun senyum itu tidak mencapai matanya. Matanya terlihat merah, penuh dengan kegilaan yang sudah lama ia pendam.

"Selamat sore, Luna," bisik Reihan. Suaranya terdengar lewat celah jendela yang sedikit terbuka. "Maaf ya soal bibimu. Dia sebenarnya baik-baik saja di rumah, mungkin sekarang sedang menggoreng tempe untuk makan malammu. Tapi kamu? Kamu punya urusan yang belum selesai denganku."

Luna berteriak, memukul-mukul kaca mobil. "REIHAN! LEPASKAN AKU! KAMU SUDAH GILA!"

"Gila?" Reihan tertawa nyaring, suaranya bersaing dengan bunyi petir yang menggelegar. "Aku tidak gila, Luna. Aku hanya ingin mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Otoritas sekolah ini, harga diriku... dan kamu. Kamu adalah mainanku, Luna. Dan aku tidak suka jika ada 'cupu' lain yang mencoba mengambil mainanku."

Dua orang pria berbadan besar, anak buah sewaan Reihan, membuka pintu taksi dengan paksa. Luna mencoba melawan, menendang, dan mencakar, namun kekuatan fisiknya tidak sebanding. Sebuah sapu tangan yang telah dibasahi cairan kimia berbau menyengat membekap hidungnya.

Pandangan Luna mulai berputar. Langit kelabu, hujan deras, dan wajah menyeringai Reihan perlahan memudar menjadi kegelapan total.

Di saat yang bersamaan, di dalam perpustakaan pusat yang sunyi, Xavier berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke arah pelabuhan. Ia tidak sedang memegang buku olimpiade. Di tangannya terdapat sebuah tablet tipis transparan yang menampilkan sebuah peta digital dengan satu titik merah yang berkedip.

Titik merah itu mendadak hilang.

Xavier tidak menunjukkan kepanikan. Wajahnya tetap sedatar lantai marmer di bawah kakinya. Namun, siapa pun yang melihat matanya saat itu akan tahu bahwa ada badai yang jauh lebih besar sedang berkecamuk di sana.

Ia merogoh saku jaketnya, mengaktifkan sebuah earpiece mikro yang tersembunyi di balik telinganya.

"Lapor," suara Xavier terdengar sangat rendah, penuh dengan nada mematikan. "Sinyal Target hilang di koordinat Sektor 4, Pelabuhan Lama. Protokol perlindungan dilanggar oleh subjek Reihan Dirgantara. Dia menggunakan pengacau sinyal militer."

Sebuah suara wanita yang berwibawa namun terdengar jauh menjawab di telinganya. "Lakukan apa yang harus dilakukan, Xavier. Jangan biarkan ada jejak. Tapi ingat, jangan tunjukkan siapa kamu sebenarnya kepada Aluna. Belum waktunya."

"Dimengerti, Madam," jawab Xavier singkat.

Xavier melangkah keluar dari perpustakaan dengan tenang. Ia berjalan menuju area parkir yang tersembunyi. Di sana, di balik deretan mobil tua, sebuah motor sport hitam legam tanpa plat nomor telah disiapkan. Xavier melepas kacamata tebalnya, membuangnya ke tempat sampah terdekat, ia tidak akan butuh benda itu malam ini.

Ia memakai helm full face yang menutupi seluruh wajahnya. Saat ia menghidupkan mesin, suara deru motor itu terdengar seperti geraman harimau yang lapar.

"Reihan," gumam Xavier di balik helmnya. "Kamu baru saja memilih cara kematian yang paling menyakitkan."

Motor itu melesat keluar dari area parkir, membelah genangan air dengan kecepatan yang melampaui batas kewajaran. Di tengah badai yang mengamuk, Xavier memacu kendaraannya menembus kemacetan, melewati trotoar, dan memotong jalur seolah-olah hukum fisika tidak berlaku baginya.

Ia hanya punya satu tujuan : Gudang Nomor 09.

Di dalam otaknya, Xavier sudah memetakan seluruh area pelabuhan. Ia tahu ada lima titik masuk. Ia juga tahu Reihan tidak sendirian; ada setidaknya enam orang bayaran yang berjaga. Namun bagi Xavier, jumlah itu tidak berarti apa-apa. Mereka hanyalah hambatan kecil yang harus disingkirkan dari jalannya menuju Luna.

Xavier memacu gas lebih dalam. Kilatan petir di langit seolah-olah menjadi lampu sorot bagi sang bayangan yang sedang menuju medan pembantaian. Malam ini, bukan lagi soal perundungan sekolah. Malam ini adalah soal pembersihan.

Luna terbangun dengan kepala yang sangat berat. Ia menemukan dirinya terikat di sebuah kursi besi di tengah gudang yang dingin dan berbau karat. Di depannya, Reihan duduk di sebuah kursi plastik, memegang sebuah gunting besar yang ia gesek-gesekkan pada sebuah batu asah.

Srek... Srek... Srek...

Bunyi logam yang beradu itu terdengar sangat memilukan.

"Oh, kamu sudah bangun, Tuan Putri?" Reihan berdiri, mendekati Luna dengan tatapan obsesif. "Xavier pasti sedang bingung mencarimu. Dia mungkin sedang menangis di bawah hujan sekarang. Aku ingin dia datang ke sini, Luna. Aku ingin dia melihatmu dalam keadaan hancur, agar dia tahu siapa penguasa sebenarnya."

Reihan menjambak rambut Luna, memaksa gadis itu menatap matanya yang gila. "Ayo kita mulai dengan rambut ini. Kamu sangat bangga dengan rambut panjang ini, kan?"

Tepat saat gunting itu menyentuh helaian rambut Luna, suara raungan mesin motor yang sangat keras terdengar dari luar, disusul dengan dentuman keras pada pintu baja gudang.

BANG!

Reihan menoleh dengan seringai lebar. "Ah, pahlawanmu sudah sampai. Mari kita sambut dia dengan pertunjukan yang tak terlupakan."

1
Ayu Nur Indah Kusumastuti
😍😍 xavier
Ayu Nur Indah Kusumastuti
semangat author
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!