NovelToon NovelToon
Married To Mr. Killer

Married To Mr. Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:8.2k
Nilai: 5
Nama Author: muliyana setia reza

Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.

Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.

"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.

Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sangkar Besi Berjalan

Parkiran basement B3 Gedung Fakultas Ekonomi terasa lembap dan suram. Lampu neon yang berkedip-kedip di kejauhan menciptakan bayangan panjang yang menyeramkan di antara pilar-pilar beton.

Intan berdiri mematung di samping mobil sedan hitam mengkilap milik Argantara. Ia celingukan seperti buronan, memastikan tidak ada mahasiswa atau dosen lain yang melihatnya berdiri di dekat kendaraan dosen paling populer di kampus itu.

Lima menit yang terasa seperti lima jam berlalu. Akhirnya, bunyi beep kunci mobil terdengar. Lampu mobil menyala dua kali, menyilaukan mata.

Dari arah lift, Argantara berjalan mendekat. Jasnya sudah tersampir di lengan, kemeja putihnya sedikit kusut di bagian pinggang, dan wajahnya tampak lebih lelah dari sebelumnya. Ia tidak menyapa Intan. Ia hanya memberi isyarat kepala singkat—tanda perintah untuk segera masuk.

Intan membuka pintu penumpang depan dengan gerakan cepat, lalu menghempaskan tubuhnya ke jok kulit yang dingin. Begitu Arga masuk dan menutup pintu di sisi pengemudi, dunia luar seakan terputus.

Keheningan seketika menyergap.

Di dalam kabin mobil mewah yang kedap suara itu, hanya terdengar deru halus mesin yang baru dinyalakan dan hembusan AC yang menerpa wajah.

Arga tidak langsung menjalankan mobil. Ia diam sejenak, memasang sabuk pengaman, lalu melirik Intan dari sudut matanya. Gadis itu duduk kaku, memeluk tas ranselnya di dada seolah tas itu adalah tameng pelindung. Pandangannya lurus ke jendela samping, menolak menatap suaminya.

"Sabuk pengaman," ucap Arga datar.

Intan tidak menjawab. Tangannya bergerak mekanis menarik sabuk pengaman dan menguncinya dengan bunyi klik yang terdengar nyaring di keheningan itu.

Mobil mulai melaju pelan, merayap keluar dari area parkir menuju jalan raya Jakarta yang mulai padat oleh jam pulang kantor.

Langit di luar sudah berubah menjadi abu-abu gelap. Rintik hujan mulai turun, satu per satu menghantam kaca depan, lalu berubah menjadi deras dalam hitungan detik. Suara wiper yang bergerak ke kiri dan ke kanan menjadi satu-satunya ritme yang menemani perjalanan bisu mereka.

Arga menyalakan radio untuk memecah kecanggungan. Suara penyiar radio yang ceria membahas topik percintaan remaja terdengar sangat kontras dengan aura permusuhan di dalam mobil itu.

"Nah, Kawula Muda! Kalau pasangan lo posesif padahal baru jadian, itu tanda sayang atau red flag? Kirim pendapat lo ke..."

Tangan Arga bergerak cepat mematikan radio. Keheningan kembali, kali ini terasa lebih mencekik.

"Soal tadi di ruang dosen," Arga membuka suara, matanya tetap fokus ke jalanan macet di depannya. "Saya harap kamu mengerti posisi saya."

Intan masih menatap tetesan air hujan di jendela. "Posisi apa? Posisi Bapak sebagai dosen yang gila hormat? Atau posisi sebagai suami yang nggak mau kalah saing sama mahasiswa sendiri?"

Rahang Arga mengetat. Cengkeramannya pada setir menguat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Jaga mulut kamu, Intan," peringatnya dengan suara rendah. "Saya sedang berusaha berdiskusi baik-baik."

"Diskusi?" Intan akhirnya menoleh, menatap profil samping wajah Arga dengan tatapan nyalang. "Sejak kapan Mas Arga pernah diskusi? Dari awal nikah, isinya cuma perintah. Jangan ini, jangan itu. Lakukan ini, lakukan itu. Mas pikir aku robot?"

"Saya melakukan itu demi kebaikan kamu," balas Arga dingin. "Kamu masih muda. Labil. Kamu gampang terbuai sama perhatian cowok macam Rangga yang cuma mau main-main."

"Tahu dari mana dia main-main?" potong Intan cepat. "Setidaknya Kak Rangga nanya kabar aku. Dia nawarin makan pas aku laper. Dia gendong aku pas aku pingsan. Sementara Mas? Mas malah sibuk nuduh aku murahan."

Kata-kata itu meluncur tajam, menusuk tepat di ego Arga. Mobil berhenti karena lampu merah. Arga menoleh sepenuhnya ke arah Intan. Tatapannya gelap.

"Jadi kamu membandingkan saya dengan dia?" tanya Arga, nada suaranya berbahaya. "Kamu membandingkan suami kamu yang bekerja keras menafkahi kamu, dengan bocah ingusan yang masih minta uang jajan orang tua?"

Intan tertawa hambar. Tawa yang terdengar sangat sedih.

"Nafkah? Iya, Mas emang kasih aku uang. Mas kasih tempat tinggal mewah. Tapi Mas lupa satu hal," suara Intan bergetar, matanya mulai memanas. "Mas nggak pernah kasih aku rasa aman. Mas nggak pernah kasih aku rasa dihargai."

"Saya menghargai kamu dengan menjaga nama baik kita!" sentak Arga, suaranya meninggi memenuhi kabin mobil. "Kalau orang tahu kamu istri saya, dan kamu genit sama laki-laki lain, di mana muka saya, Intan?! Di mana harga diri saya sebagai laki-laki?!"

Intan tersentak mendengar bentakan itu. Ia mundur, menekan punggungnya ke sandaran kursi. Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh. Tapi kali ini, ia tidak menghapusnya. Ia membiarkannya mengalir sebagai saksi betapa hancurnya perasaan dia saat ini.

"Harga diri..." bisik Intan lirih, lebih kepada dirinya sendiri. "Yang ada di otak Mas cuma harga diri, reputasi, dan image sempurna. Mas nggak peduli sama perasaanku. Mas nggak peduli aku kesepian di apartemen sebesar itu. Mas nggak peduli aku dihukum dijemur sampai pingsan."

Arga terdiam. Lampu lalu lintas sudah berubah hijau, dan klakson mobil di belakang mulai bersahutan tak sabar.

Dengan kasar, Arga menginjak pedal gas. Mobil melaju menyentak, membuat tubuh Intan terdorong ke belakang.

Arga tidak menjawab tuduhan Intan. Bukan karena ia tidak punya jawaban, tapi karena sebagian kecil hatinya—bagian yang belum sepenuhnya beku—menyadari kebenaran ucapan gadis itu. Namun, dinding pertahanan dirinya terlalu tebal untuk ditembus oleh rasa bersalah. Ia memilih untuk menutup diri, membekukan hatinya kembali.

Sisa perjalanan dihabiskan dalam diam yang menyakitkan. Tidak ada lagi perdebatan. Intan kembali membuang muka ke jendela, menghitung lampu jalan yang lewat dengan pandangan kabur karena air mata. Arga menyetir dengan wajah kaku seperti patung batu, tatapannya lurus dan kosong.

Hujan di luar semakin deras, seolah langit sedang menangisi pernikahan mereka yang kian retak.

Satu jam kemudian, mobil Arga memasuki pelataran parkir apartemen. Ia memarkirkan mobilnya di slot khusus penghuni dengan gerakan presisi namun kasar.

Mesin mobil dimatikan. Hening kembali menyapa.

Sebelum Intan sempat membuka pintu, Arga menahan lengan gadis itu. Sentuhan tangannya tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat Intan berhenti.

"Hapus air mata itu," perintah Arga. Suaranya kembali datar, tanpa emosi. "Sebentar lagi kita naik. Mama mungkin sudah di depan unit."

Intan menepis tangan Arga kasar.

"Tenang aja, Pak Dosen," ucap Intan dengan nada penuh racun, matanya menatap Arga dengan tatapan yang sudah mati rasa. "Saya ini mahasiswi yang cepat belajar. Bapak mau sandiwara? Oke. Saya akan jadi istri paling bahagia sedunia di depan Mama. Bapak nggak perlu khawatir soal reputasi Bapak yang berharga itu."

Intan membuka pintu mobil, keluar, dan membantingnya dengan keras.

Brak!

Suara bantingan pintu itu menggema di basemen yang sunyi.

Arga memejamkan matanya sejenak di balik kemudi, memukul setir sekali dengan kepalan tangannya. Napasnya memburu. Ia benci situasi ini. Ia benci perasaan tidak berdaya yang Intan timbulkan dalam dirinya.

Ia merapikan rambutnya di kaca spion, menarik napas panjang untuk memasang topeng "suami idaman", lalu keluar menyusul Intan yang sudah berdiri menunggu di depan lift dengan wajah sembap namun ekspresi dingin.

Di dalam lift yang membawa mereka naik ke lantai 20, mereka berdiri berdampingan. Sangat dekat, bahu mereka hampir bersentuhan. Namun secara emosional, jarak di antara mereka kini terbentang seluas samudra yang membeku.

Pintu lift berdenting terbuka.

"Senyum," bisik Arga saat mereka melangkah keluar menuju koridor apartemen.

Intan tidak menjawab. Tapi saat ia melihat sosok wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu apartemen mereka, wajah murung Intan berubah drastis dalam sekejap mata. Senyum manis merekah di bibirnya, meski matanya masih menyimpan mendung.

Sandiwara dimulai. Dan hati mereka semakin hancur di dalamnya.

1
Miramira Kalapung
Suka banget sama cerita nya Thor, semoga cepat update yah🥰🥰
sarinah najwa
miris sekali hudupnu pak dosen 😅silahkan menikmati buah dari perbuatAnmu ..
Rian Moontero
lanjuuuttt👍👍😍
Sri Wahyuni
Luar biasa
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤​᭄
sukurin Arga....
makan tuh gengsi Segede gaban😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!