NovelToon NovelToon
Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Satu wanita banyak pria / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Mega Biru

Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.

Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.

Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Di dalam mobil, aku gak berani bicara apa pun. Lidahku kelu, seperti terbelit ketakutan sendiri. Sumpah, aku takut salah ucap lagi, takut banget melihat tatapan mereka yang seakan siap melahap hidup-hidup.

Tapi di balik kegugupan itu, ada sesuatu yang mencuri perhatianku di sepanjang perjalanan. Jalanan yang harusnya gelap ini tampak terang karena di sepanjang sisi jalan, terdapat banyak benda yang mirip seperti tanglung, yang mengeluarkan ratusan titik cahaya emas.

”Ini ada acara apa ya?” batinku.

Aku melihat orang-orang Tibet berjalan mengenakan pakaian tradisional, warna-warnanya mencolok tapi elegan. Beberapa perempuan membawa mangkuk perunggu berisi lampu yang mengeluarkan cahaya kecil.

Saat angin malam masuk ke jendela mobil yang terbuka, aku mencium aroma yang mirip aroma mentega. Terdapat anak-anak yang berlarian juga, tangan kecil mereka pun menggenggam bendera yang entah bendera apa.

”Kamu suka?” tanya Norbu.

”Sebenarnya kita mau ke mana?” tanyaku.

”Ke butter lamp festival,” jawab Sonam.

”Butter lamp? Lampu mentega?”

“Benar. Di sini ada tradisi lampu mentega yang diperuntukkan sebagai simbol doa,” jelas Sonam. “Orang-orang akan menyalakan lampu dari mentega yak. Dan cahayanya dianggap membawa keberuntungan, menerangi perjalanan hidup, dan mengusir kesialan.”

“Juga untuk mengenang orang yang sudah meninggal. Cahaya lampu dipercaya membantu roh menemukan jalan menuju kelahiran kembali,” sambung Tenzin.

“Benar, festival ini hari di mana seluruh kota menyalakan ribuan lampu. Kamu lihat tadi? Itu baru pinggiran kota. Yang di pusat, lebih indah,” tambah Norbu.

Aku menatap keluar lagi, melihat cahaya kuning keemasan yang tampak seperti kunang-kunang terbakar di udara gelap.

“Kenapa harus pakai mentega yak?” tanyaku.

“Karena dulu kami punya sedikit pilihan. Yak adalah sumber utama kami. Minyak yak membuat cahaya lebih stabil dan tahan lama. Semacam simbol ketekunan,” jelas Sonam.

Entah kenapa, aku merasa hangat ada di tengah mereka. Mereka benar-benar sabar menjelaskan apa yang gak kumengerti.

“Jangan takut lagi. Kami hanya ingin kamu lihat dunia kami. Setelah itu, baru kamu putuskan mau tinggal atau pergi,” kata Sonam.

“Betul, santai saja, baby,” sambung Norbu.

**

**

Setelah menempuh perjalanan yang ternyata gak sepanjang bayanganku, mobil akhirnya melambat lalu berhenti. Suara rem yang halus membuatku refleks menatap keluar.

”Ayo.”

Sonam turun lebih dulu, lalu Tenzin dan Norbu menyusul. Ketiganya bergerak nyaris bersamaan, tampak sinkron dan gagah.

“Come,” kata Tenzin.

Begitu kakiku menyentuh tanah, aku langsung terpaku. Pemandangan di depanku seperti masuk ke negeri lain. Lampu-lampu mentega berderet sepanjang jalan, cahaya keemasannya memantul di udara dingin.

Di sini sangat ramai. Banyak manusia yang memakai pakaian tradisional. Di sisi kanan jalan, para biksu berdiri dengan pakaian merah-kuning khas mereka, tampak menggumamkan doa sambil menyalakan lampu-lampu kecil di altar sederhana.

“Welcome to the butter lamp festival, Baby,” ucap Norbu sambil tersenyum, matanya memantulkan cahaya banyak lampu.

”Terus, kita mau ngapain ke sini?” tanyaku.

“Kita makan dulu. Kamu pasti lapar,” jawab Sonam.

”Ayo ikut, kamu harus terbiasa jadi warna negara ini.” Norbu menggenggam tanganku, diikuti Sonam dan Tenzin. Namun setiap kali aku melangkah, tiga pria ini otomatis mengikutiku. Tampak terlalu protektif, mirip bodyguard.

”Kita makan di sini,” ujar Sonam.

Kami berdiri di depan deretan food stall lokal yang berjejer rapi, dengan tenda berwarna merah dan kuning. Asap tipis mengepul dari panci-panci besar, menguar aroma sup daging. Terdapat pangsit dan roti goreng juga.

“Duduk.”

Norbu menarik kursi untukku, ketiga pria itu pun duduk di hadapanku. Jujur, aku gak biasa diperlakukan seperti ini. Rasanya sedikit aneh.

“Bisa gak, kalian biasa aja?” pintaku.

”Biasa bagaimana?” tanya Tenzin.

”Ya biasa aja, jangan kayak bodyguard.”

”Tidak bisa,” jawab Norbu.

“Kami harus menjagamu. Because you are the bride candidate of Dorjen.”

Aku tertegun.

“Orang bisa lihat, kamu bukan dari sini. Banyak yang perhatikan kamu. Kami tidak mau ada orang jahat yang celakai kamu,” kata Tenzin.

“Tugas kami menjaga kamu,” sambung Sonam.

Aku hanya diam. Semakin canggung aja rasanya. Sepertinya Deti benar, mereka bisa memperlakukan dengan baik. Tapi entah kenapa, aku gak merasa berbunga-bunga layaknya orang jatuh cinta. Mereka masih sangat asing di mataku.

”Kenapa kamu diam?” tanya Norbu.

”Gak papa.”

Karena canggung, akhirnya aku meraih gelas kayu kecil yang ada di atas meja. Bodo amat itu minuman apa, pokoknya diminum aja karena tenggorokanku kering, kepalaku pun penuh pikiran gara-gara mereka.

Namun begitu cairannya terteguk, aku langsung terdiam, rasanya aneh. Dengan cepat kulihat cairan yang masih tersisa. Cairan itu sedikit keruh, mirip campuran air beras. Ada aroma gandum yang kuat, mirip tape tapi versi cair, ada manis samar, ada pahitnya sedikit, dan sedikit asam, yang perlahan menyebarkan sensasi hangat dari tenggorokan sampai ke dada, membuat tubuhku terasa seperti dipeluk api kecil di tengah dingin.

“Minuman apa ini?” gumamku sambil meringis kecil.

“Chhang,” sahut Tenzin.

“Ini minuman tradisional Tibet. Terbuat dari barley,” jawab Norbu.

”Barley? Apaan tuh barley? Buah-buahan, kah?” batinku. Ingin bertanya, tapi gengsi. Mereka bisa aja mikir aku kampungan.

”Enak?” tanya Norbu.

“Lumayan enak,” sahutku.

Karena merasa tenggorokanku masih kering, akhirnya aku mengisi gelas itu lagi, dan meneguknya lebih banyak. Rasa hangatnya pun langsung naik ke kepala.

”Hati-hati. Jangan terlalu banyak minum itu," ujar Tenzin.

”Kenapa?” Kepalaku tiba-tiba kleyengan.

“Itu minuman memabukkan,” jawaban Sonam membuat mataku membeliak, meskipun terasa berat.

“Ini?”

Kupandang gelas itu dengan kepala yang semakin pusing. Detik berikutnya, ada sensasi aneh menjalar dari ujung jari sampai pangkal tengkuk. Pandanganku mulai goyang tipis, seperti dunia bergerak dengan efek slow motion. Suara-suara festival di sekitarku pun tiba-tiba memekak lalu mengecil, memekak lagi lalu mengecil lagi, seperti sedang main volume sendiri.

“Kepalaku,” lirihku sambil memegang pelipis.

Tenzin mencondongkan tubuh. “Kamu pusing”

“Iya.”

Lututku mendadak terasa seperti bihun rebus. Pipiku panas seperti ditampar bara. Dan yang paling aneh, aku merasa ingin tertawa dan menangis dalam waktu bersamaan tanpa alasan jelas.

“Haha … kalian kok miring?” Aku menunjuk ke tiga putra Dorjen yang tampak bergoyang.

Norbu menahan tawanya. “Sepertinya dia mulai mabuk.”

“Aku gak mabuk,” bantahku dengan sangat mabuk. Lalu tiba-tiba aku merasa sedih karena hidupku jadi begini.

”Bu, Pak? Kok bisa sih aku ada di sini?” tanyaku pada langit, lanjut memandang ke tiga putra Dorjen. ”Mereka bakal jadi suamiku? Aku harus apa, Pak, Bu?” lanjut menangis.

”Kita pulang,” sahut Sonam.

”Ayo kita pulang.” Tenzin mengangkat tubuhku.

Aku tersentak, terkejut setengah mati saat ke dua kakiku tak lagi menapaki bumi. Aku bisa merasakan detak di dada Tenzin. Wajah kalemnya itu mampu menghipnotis pandanganku, bikin kepalaku makin pusing. Bukan pusing mabuk, tapi pusing karena deg-degan.

”Biar aku saya yang bawa.” Norbu mengambilku dari dekapan kakaknya.

”Biar aku saja.” Sonam mengambilku lagi dari dekapan adiknya.

”Dia juga calon istriku!” bentak Norbu.

”Dia calon istriku juga," jawab Sonam.

”Ya sudah, kita bawa saja bersama-sama.” Tenzin memegang bagian punggung dan kepalaku.

”Oke lah." Norbu mengangkat bagain kakiku.

”Ayo ke mobil.” Sonam tetap mengangkat bagain pinggangku. Mereka bertiga pun bersama-sama membawaku.

Gila, aku bisa luluh kalau diperlakukan manis begini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!