Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 9 – Yang Masih Hidup
Malam ini, Warung Murni terlihat lebih sunyi dari biasanya. Lebih dingin.
Mahanta berdiri membelakanginya, menajamkan pisaunya tanpa suara. Bayangannya menyatu dengan temaram lampu gantung tua.
Murni menatap punggungnya, menyadari betapa lebar punggung itu. Lelaki itu tidak kurus, juga tidak gemuk, mungkin lebih bisa disebut tegap. Gerakan lelaki itu menunjukkan bahwa tubuh di balik pakaian lusuh itu memiliki otot yang liat. Dengan tinggi yang ia perkirakan seratus delapan puluh lima, jika mau, Mahanta bisa menjadi model atau aktor.
Seketika Murni tersadar telah melakukan hal yang tidak pantas. Dengan jengah ia cepat-cepat berpaling, berdeham dan berkata pelan, “Aku datang lagi.”
“Aku tahu kau pasti kembali,” Mahanta menanggapi tanpa menoleh.
Setelah itu, keduanya membisu.
Hanya terdengar suara pisau yang digosok di atas batu asah. Suara itu seperti bisikan kecil yang menggesek telinga.
Akhirnya Mahanta berbalik, di tangannya ada secangkir teh yang masih mengepul. Ia mendekat ke meja dan meletakkan cangkir teh itu di depan Murni.
“Minumlah, malam ini dingin.” Ujar Mahanta lembut.
Tangan Murni segera membungkus cangkir teh, panasnya cangkir segera menjalarkan hangat ke tangannya, tapi ia tidak minum. Matanya menatap Mahanta, sorotnya dipenuhi berbagai pertanyaan yang siap dilontarkan..
“Kau mengatakan warung ini adalah persimpangan. Aku ingin tahu, apakah ada dari mereka yang datang ke sini sebenarnya... sudah mati?” tanya Murni, akhirnya memecah kesunyian.
“Banyak,” jawab Mahanta datar. “Lebih banyak dari yang bisa kau hitung.”
Murni menggeleng. “Tapi mereka masih bicara, tertawa, bahkan... marah. Seperti manusia biasa.”
“Mereka bukan hantu. Bukan juga manusia. Mereka hanya... tersesat.” Mahanta menatap lurus padanya. “Seperti kau.”
Tatapan itu menghantam bagai badai petir. Ada sesuatu di dalam mata Mahanta malam ini. Bukan hanya kehampaan seperti biasanya. Tapi seperti… api kecil, nyala samar yang nyaris padam, namun masih ada.
Murni tidak tahu apa arti nyala kecil di mata Mahanta itu. Namun itu membuat Murni menelan ludah dan jantungnya berdetak lebih cepat.
Bukan oleh rasa takut. Ia tidak pernah merasakan ini, jadi tidak bisa menjelaskan itu rasa apa. Ia hanya tahu, rasa hangat seketika menjalar ke pipinya, tapi bukan berasal dari tangannya yang memegang cangkir teh panas.
“Jangan bicara seolah kau tahu aku,” desisnya sambil bangkit berdiri, sebagian untuk mengusir rasa asing yang membuatnya tidak nyaman ini. “Kau bahkan tak tahu siapa aku.”
Mahanta tersenyum samar, sebuah senyum yang seperti luka. “Mungkin. Tapi aku mengenal seseorang yang… seperti dirimu.”
“Jangan samakan aku dengan orang lain!” Murni mendekat. Keningnya mengernyit, matanya menyipit, suaranya naik satu oktaf. “Kenapa kau tinggal di sini? Kenapa kau memasak untuk para roh itu? Apa kau juga... salah satu dari mereka?”
Mahanta menatapnya dalam. Untuk sesaat, waktu seperti berhenti. Suara hujan memudar. Lampu bergoyang perlahan.
Mahanta tidak sempat menjawab, karena tiba-tiba ada pelanggan yang masuk.
Pintu warung terbuka pelan, lonceng kecil di atasnya berdenting lirih. Keduanya menoleh, dan melihat seorang laki-laki.
Laki-laki itu tampak kebingungan. Usianya sekitar empat puluhan, wajahnya lelah, berkeringat, dan matanya merah seperti habis menangis. Dia mengenakan jaket lusuh yang basah oleh hujan, dan satu tangannya menggenggam sebuah amplop putih yang hampir hancur.
“Ini... Warung Murni?” tanyanya pelan, seperti takut pertanyaannya akan menghancurkan sesuatu.
Tak ada yang menjawab. Hanya ada suara desau angin dari luar.
Laki-laki itu menatap sekeliling warung. Dia mencium aroma kaldu yang menguar dari dapur. Pandangannya beralih ke Murni, lalu ke Mahanta. Matanya menyipit, lalu bergetar.
“Aku... tidak tahu kenapa aku bisa ke sini. Barusan aku dari jembatan... tadinya berniat...”
Dia tidak melanjutkan. Tapi mereka berdua tahu maksudnya. Dia bukan berniat untuk pulang. Dia berniat untuk menyudahi segalanya.
Mahanta menatapnya lama, lalu dengan tenang mengundangnya, “Duduklah.”
Laki-laki itu menurut, duduk di meja dekat jendela. Dia meletakkan amplop kusut di tangannya, lalu menatap ke piring kosong di depannya.
“Sepertinya aku nyasar,” gumamnya. “Tapi entah kenapa... kakiku melangkah ke sini.”
Murni bergerak pelan, mengambilkan segelas air. Tangannya gemetar saat menyodorkan padanya, seolah tubuhnya tahu: orang ini belum mati.
“Namaku Ardi,” ujar laki-laki itu, tiba-tiba mulai terisak-isak. “Aku kehilangan semuanya. Istriku... anakku... tabungan... bahkan Tuhan pun rasanya sudah pergi. Tidak ada yang menolongku.”
Murni menelan ludah. Kalimat itu seperti pantulan dari masa silam yang belum selesai.
“Kenapa kau ke jembatan itu?” tanya Murni lembut, meski ia sudah tahu jawabannya.
“Karena tidak ada lagi yang menungguku di dunia ini,” jawab Ardi sambil tersenyum getir. “Tapi entah kenapa... aku justru menemukan tempat ini. Warung yang tidak ada di peta.”
Mahanta sudah kembali ke dapur. Menyalakan api dan mulai memasak.
Murni meninggalkan lelaki itu, kembali ke kursinya sendiri dan bergumam, antara bingung dan bimbang. “Berarti dia belum mati... lalu kenapa dia bisa masuk ke sini?”
Tanpa diduga, ia mendengar Mahanta menjawab, padahal dia sedang memotong daun bawang di dapur sana. “Kadang... roh seseorang datang lebih dulu, sebelum tubuhnya benar-benar mati. Tempat ini menampung niat, bukan jenazah.”
Murni tercengang. “Kalau begitu dia…”
“...belum terlambat,” potong Mahanta, yang tiba-tiba sudah ada di depannya dengan semangkuk sup.
“Kau yang berikan padanya,” ujarnya pada Murni.
Murni mengerti, jika ia yang menghidangkan, lelaki itu akan tetap hidup.
Saat makanan terhidang, Ardi memandangnya sejenak. “Ini... bau rumah,” gumamnya. “Dulu, istriku selalu masak seperti ini waktu kami masih tinggal di kontrakan kecil.”
Dia mulai makan perlahan, dan air matanya kembali mengalir.
Di sudut warung, Mahanta berdiri diam. Murni memperhatikannya. Ada sesuatu dalam tatapannya. Bukan kebanggaan. Tapi... kesedihan. Murni tahu, lelaki misterius itu sedang mengingat sesuatu yang jauh.
—
Setelah Ardi pergi, warung kembali sepi. Tapi ada beban yang tertinggal.
Murni belum beranjak untuk pulang, memperhatikan Mahanta mencuci mangkuk tanpa air.
“Apakah kau... sering menyelamatkan orang?” tanyanya.
Mahanta menggeleng. “Tidak. Aku tidak menyelamatkan siapa pun.”
“Tapi kau membiarkan dia masuk... kau memberi dia makan...”
“Karena aku tidak bisa menghentikan orang seperti dia. Aku hanya... memperlambat langkah mereka menuju kegelapan.”
Murni menggigit bibir. “Kau terdengar seperti... seseorang yang tahu betul tentang gelapnya manusia.”
Mahanta akhirnya menatapnya. Mata itu... seperti tadi, ada sesuatu di sana yang membuat jantung Murni seolah berhenti berdenyut.
“Aku tidak jauh berbeda dari mereka, Murni.” Suara Mahanta terdengar getir, bahkan rasa pahit seolah hinggap di lidah Murni.
Tatapan mereka bersilangan. Tak ada jarak, tak ada bunyi apa pun. Hanya dua jiwa yang masing-masing menyimpan kelelahan dan luka.
Mata mereka bertaut. Begitu dekat. Jarak di antara mereka tinggal sehela napas. Meskipun masih terhalang meja, belum pernah mereka berada di jarak sedekat ini. Dan untuk pertama kalinya, Murni melihat Mahanta dengan mata berbeda.
Bukan hanya lelaki pendiam yang misterius. Melainkan...
Wajah tampan dengan mata segelap malam yang menyiratkan titik samar keunguan ketika terkena cahaya lampu, tatapan tajam yang seolah mampu menembus jantung.
Wajah tegas seperti diukir dari batu, simetris, rahang kuat yang terpahat sempurna, leher kokoh dengan jakun yang menonjol. Kulitnya berwarna madu, rambutnya yang acak-acakan menyentuh bahu. Bibir yang tegas, hampir kotak. Dan hidung yang mencuat bangir.
Ada bekas luka samar di dekat pelipis kanan. Dan aroma samar dari tubuhnya... seperti kayu terbakar dan tanah basah.
Murni mencoba mencari kata yang tepat untuk menggambarkan kesannya atas lelaki itu. Dan hanya menemukan satu.
Menawan. Seperti mampu memenjarakan.
Jantung Murni mencelos. Ia sadar yang dilakukannya tidak patut.
Itu salah.
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran