Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia di Balik Pintu Terkunci
Keberhasilan Damian memukul mundur Lukas melalui rekaman suara itu memberikan napas lega yang singkat bagi keluarga Maheswari. Namun, bagi Damian, ketenangan ini terasa seperti keheningan di tengah pusaran badai. Ia tahu ayahnya adalah tipe pria yang lebih suka membakar seluruh hutan daripada membiarkan satu pohon tumbuh di luar kendalinya.
Dua hari setelah penyegelan kantor ayahnya dicabut, sebuah paket misterius tiba di mansion. Paket itu tidak memiliki nama pengirim, hanya sebuah kotak kayu kecil berwarna hitam dengan wangi melati yang sangat menyengat.
Aruna, yang sedang asyik mencoba resep "Mie Instan Carbonara" eksperimentalnya di dapur, mendapati Damian terpaku di depan meja kerjanya sambil memandangi isi kotak tersebut.
"Mas Damian? Mas sedang lihat apa? Apa itu kado ulang tahun yang terlambat?" tanya Aruna sambil membawa piring berisi mie yang terlihat... mencurigakan.
Damian tidak menjawab. Tangannya gemetar hebat sesuatu yang belum pernah Aruna lihat sebelumnya. Di dalam kotak itu terdapat sebuah liontin kuno yang pecah dan sepucuk surat dengan tulisan tangan yang sangat rapi.
"Mas?" Aruna mendekat, meletakkan piringnya, dan menyentuh tangan Damian. "Tangan Mas dingin sekali. Ada apa?"
Damian mendongak, matanya merah. "Dia masih hidup, Aruna. Lukas membohongiku selama lima belas tahun."
"Siapa yang masih hidup?"ucap aruna.
"Ibuku."
Aruna tertegun. Selama ini, Damian hanya pernah bercerita bahwa ibunya meninggal dalam kecelakaan saat Damian masih remaja. Itulah alasan mengapa Damian tumbuh menjadi pria yang kaku dan tidak percaya pada emosi ia dibesarkan oleh Lukas yang menganggap air mata adalah limbah tak berguna.
"Ayah bilang dia meninggal di rumah sakit," bisik Damian, suaranya parau. "Tapi surat ini... ini tulisan tangannya. Dia bilang dia dikurung di sebuah sanatorium di luar kota.
Lukas membuangnya ke sana karena ibuku mencoba melarikanku dari pengaruhnya."
Aruna merasakan amarah yang murni meledak di dadanya. "Lukas benar-benar monster! Bagaimana bisa seorang suami melakukan itu pada istrinya sendiri? Dan pada anaknya?"
"Ini jebakan, Aruna," Damian menutup kotak itu dengan kasar. "Lukas tahu aku akan mencarinya. Dia ingin aku meninggalkan posisiku di perusahaan, melanggar semua protokol keamanan, hanya untuk menjemput ibu. Dan saat aku pergi, dia akan menghancurkan segalanya termasuk keluargamu yang baru saja pulih."
Aruna menatap Damian dengan serius. Humor yang biasanya ia miliki menghilang sepenuhnya. "Kalau begitu, jangan pergi sendirian. Kita pergi bersama."
"Terlalu berbahaya, Aruna. Kamu tidak tahu apa yang bisa dilakukan Lukas jika dia merasa terpojok."
"Mas Damian," Aruna memegang wajah Damian, memaksanya menatap matanya. "Mas sudah menyelamatkan Ayah saya. Mas sudah menyelamatkan saya dari Marco. Mas pikir saya akan membiarkan Mas menghadapi monster itu sendirian? Tidak akan. Saya ini mungkin ceroboh, tapi saya tidak pernah meninggalkan teman seperjuangan."
Malam itu juga, mereka berangkat menuju Sanatorium Cahaya Pagi, sebuah tempat terpencil di kaki gunung yang dijaga ketat oleh firma keamanan milik Gavriel Group.
"Rencananya begini," bisik Aruna saat mobil mereka berhenti beberapa ratus meter dari gerbang. "Mas Damian masuk lewat jalur belakang yang Mas tahu. Saya akan masuk lewat gerbang depan."
"Apa? Itu bunuh diri!" Damian menolak keras.
"Tidak, Mas. Saya akan berperan jadi 'Gadis Tersesat yang Bodoh'. Saya akan pura-pura ban mobil saya bocor dan saya histeris karena takut kegelapan. Saat semua penjaga sibuk menenangkan saya atau mengusir saya, Mas masuk lewat jalur VIP Mas. Mereka tidak akan curiga pada gadis yang menangis gara-gara kuku patah, kan?"
Damian menatap Aruna lama, lalu sebuah senyum tipis yang penuh kekaguman muncul. "Kamu benar-benar ingin menggunakan bakat aktingmu untuk ini?"
"Ini adalah performance art tingkat tinggi, Mas. Percayakan pada saya."
Rencana pun dijalankan. Aruna keluar dari mobil cadangan yang sengaja dipinjam, lalu berlari menuju gerbang sanatorium sambil berteriak-teriak histeris, "TOLOOOONG! ADA ULAR DI MOBIL SAYA! ULARNYA PAKAI TOPI DAN BISA BICARA BAHASA INGGRIS! TOLOOOONG!"
Para penjaga yang tadinya bersiaga penuh dengan senjata, mendadak bingung. Mereka melihat seorang gadis cantik dengan gaun tidur dan sandal jepit lari tunggang langgang sambil menangis bombay.
"Nona, tenang Nona! Ular apa maksud Anda?" tanya salah satu penjaga sambil menahan tawa.
"Ular cobra! Dia tanya jalan ke mall! Saya takut sekali!" Aruna memegangi lengan penjaga itu, membuatnya sangat sibuk dan kehilangan fokus pada monitor CCTV.
Sementara itu, di sisi lain gedung, Damian bergerak seperti bayangan. Ia melompati pagar, melumpuhkan sensor laser yang ia sendiri yang merancangnya tahun lalu, dan berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung utama.
Namun, saat Damian sampai di kamar nomor 404—kamar yang tertulis di surat—ia menemukan pemandangan yang membuatnya membeku. Di dalam ruangan yang putih dan sunyi itu, duduk seorang wanita cantik yang wajahnya sangat mirip dengan Damian, namun matanya kosong menatap jendela.
"Ibu?" bisik Damian.
Wanita itu berbalik, namun bukannya pelukan hangat, ia justru berteriak ketakutan. "Jangan! Jangan ambil anakku! Lukas, jangan!"
Di saat yang sama, lampu seluruh sanatorium mendadak menyala terang. Suara tawa Lukas menggema melalui pengeras suara di seluruh koridor.
"Selamat datang di reuni keluarga, Damian. Dan terima kasih pada istrimu yang manis karena sudah menghibur para penjagaku dengan cerita ular yang sangat... kreatif."
Lukas muncul di ambang pintu dengan pistol di tangannya. "Sekarang, mari kita lihat, siapa yang akan kamu selamatkan lebih dulu?
Ibumu yang sudah gila ini, atau istrimu yang sekarang sedang berada di bawah todongan senjata di gerbang depan?"
Damian merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Kilatan amarah dan ketakutan bercampur aduk saat melihat senyum kemenangan ayahnya. Namun, sebelum Lukas bisa menekan lebih jauh, suara gemuruh aneh terdengar dari arah gerbang depan. Bukan suara tembakan, melainkan suara musik dangdut koplo bervolume maksimal yang memecah kesunyian malam di pegunungan tersebut.
"Apa itu?!" Lukas mengerutkan kening, konsentrasinya terganggu.
Melalui walkie-talkie salah satu penjaga yang tertinggal di ruangan, terdengar suara panik. "Tuan! Gadis itu... dia tidak sendirian! Ada puluhan ojek online datang membawa pesanan makanan ke sini! Mereka menutup jalan masuk dan membuat keributan karena pesanannya tidak ada yang membayar!"
Damian segera memanfaatkan momen itu. Ia menerjang Lukas sebelum ayahnya sempat menarik pelatuk. Pistol itu terlempar ke lantai. "Ayah meremehkannya lagi," desis Damian sambil mengunci gerakan Lukas. "Aruna tidak pernah bergerak tanpa kekacauan yang terencana."
Ternyata, saat berpura-pura histeris, Aruna telah menggunakan ponselnya untuk memesan makanan fiktif ke titik lokasi sanatorium tersebut menggunakan fitur 'Bayar di Tempat'. Puluhan pengemudi ojek yang datang bersamaan menciptakan barikade manusia yang membuat para penjaga kewalahan. Di tengah kerumunan itu, Aruna sudah menyelinap masuk melalui celah pagar yang dibuka oleh Tiara, sahabatnya yang sudah menunggu dengan mobil pelarian.
"Mas Damian! Jangan lama-lama! Mi instan di rumah sudah dingin!" teriakan Aruna bergema dari arah koridor, membuat Damian tersenyum di tengah pergulatan. Luka di jiwanya mulai terasa sembuh karena ia tahu, jerat sutra yang ia miliki sekarang tidak lagi menjeratnya dalam kesendirian, melainkan mengikatnya pada sebuah kekuatan yang tak masuk akal bernama Aruna.