L'Oubli
Murni tersentak bangun oleh suara jeritan menyayat hati… yang ternyata berasal dari mulutnya sendiri. Napasnya terengah-engah, tubuhnya menggigil oleh kengerian dan bajunya basah oleh keringat. Jantungnya berdetak cepat, menumbuk dadanya seperti genderang perang.
Ia masih bisa mencium bau asap. Merasakan panasnya api menjilat kulitnya, disusul rasa sakit luar biasa ketika lidah api mulai menghanguskan sebagian dagingnya.
Ia mengucek mata. Di kamarnya yang gelap dan sunyi, hanya ada suara jam tua di dinding yang berdetak pelan, seperti bisikan kematian. Di luar, hujan turun tipis. Butiran-butiran air menerpa jendela, menempel di sana seolah kenangan yang tak mau pergi.
Mimpi itu. Lagi.
Selalu mimpi itu. Mimpi yang sama — dirinya ada di tengah kobaran api, kedua tangannya diikat rantai raksasa yang membuatnya tak mampu berkutik, mencoba berteriak tapi tak ada suara yang keluar.
Dan selalu, selalu ada satu sosok pria berdiri jauh di balik asap, hanya menatap. Tidak bergerak. Tidak mendekat. Tatapannya kosong, tapi mengandung sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan — semacam… rasa bersalah? Entahlah, tatapan itu mengandung makna yang terlalu dalam untuk dimengerti. Tapi mengapa pria itu tidak menolongnya?
Murni menghela napas panjang dan mencoba kembali tidur. Tapi saat ia memejamkan mata, ponsel usangnya yang sudah nyaris mati itu — yang bahkan tidak punya kartu SIM—bergetar di meja.
Satu kali.
Lalu sekali lagi.
Ia membalikkan badan perlahan, meraih ponsel dengan tangan gemetar.
Ada pesan suara. Tidak ada nomor pengirim. Hanya label: "Dari: Dirimu."
Jantungnya kembali berdetak cepat. Dahinya mengernyit dalam, tanda tidak mengerti.
Dengan ragu, ia menekan tombol putar.
["Murni... kalau kau mendengar ini, jangan ke sana..."]
["Tolong... jangan ke sana! Jangan mencari tahu! Jangan percaya—"]
Lalu sunyi.
Itu adalah suaranya sendiri. Panik, tercekat, seolah sedang berpacu dengan waktu, atau merekam dan mengirimnya terburu-buru secara rahasia.
Lalu ponselnya mati seketika.
Murni menatap layar ponsel yang kini menghitam. Termangu-mangu. Ia tidak ingat pernah merekam pesan itu. Jika ia tidak, lalu siapa? Tapi itu jelas suaranya.
Itu pesan tidak selesai yang dipenuhi kata ‘jangan’. Namun betapa bodoh ‘dirinya’ yang mengirim pesan itu. Bukankah sifat manusia itu semakin dilarang semakin ingin mencoba? Justru karena dikatakan ‘jangan’, berkali-kali pula, Murni merasa ia harus mencari tahu.
Tapi… mencari tahu apa? Mencari tahu ke mana?
---
Murni memandang cermin. Mata hitamnya tampak sayu. Jubah biarawati berwarna kelabu tergantung rapi di lemari, belum disentuh selama dua bulan terakhir. Ia sedang mengambil cuti dari biara dengan alasan “mengurus kesehatan jiwa”, meskipun sebenarnya tak satu pun dari rekan sesama biarawati di biara tahu tentang mimpi itu. Ia tidak pernah menceritakannya pada siapa pun.
Murni sempat berpikir semua itu hanya bentuk trauma, sehingga alam bawah sadarnya melupakan. Namun, pesan yang datang tadi terlalu nyata. Terlalu jelas. Pesan itu baru kali ini datang. Selama ini, selain mimpi buruk yang berulang, ia tak pernah mendapati keganjilan lain.
Yang lebih aneh lagi, saat ia menyalakan kembali ponsel itu setelah mengisi dayanya, sebuah notifikasi masuk — tanpa koneksi internet, tanpa kartu SIM.
[Lokasi GPS terdeteksi. Arahkan ke: Warung Murni – Buka pukul 00.00–03.00.]
Matanya menyipit.
Itu... namanya. Tapi ia tidak pernah mendirikan warung, apalagi tahu tempat semacam itu. Sepengetahuannya, para umat yang dikenalnya di gereja pun tak ada yang memiliki warung bernama sama dengan dirinya. Dan mengapa jam bukanya sangat tidak biasa?
Dengan rasa ingin tahu yang sama besarnya dengan rasa takut, Murni mengenakan mantel, meraih payung, dan keluar ke malam yang sepi.
---
Kota tua seperti memiliki waktu sendiri. Setelah pukul sebelas malam, lampu-lampu jalan mulai redup. Trotoar jadi sunyi. Udara berembus pelan, membawa bau tanah basah dan... sesuatu yang lain — bau arang terbakar. Tapi bukan dari penjual sate.
Tidak ada satu orang pun yang masih berjalan-jalan di tengah malam.
Murni melangkah dengan hati was-was, melirik waspada ke kanan ke kiri, mengikuti GPS yang janggal itu ke sebuah gang kecil yang bahkan tidak muncul di Google Maps.
Akhirnya ia menemukannya.
Di ujung gang, berdiri sebuah bangunan kayu tua dengan papan kayu yang hampir lepas dan tulisan berwarna merah yang nyaris tak terbaca di atasnya: "Warung Murni."
Lampunya temaram kekuningan. Dari cerobong kecil, asap tipis mengepul, menyebar ke udara malam.
Dengan ragu, Murni mendorong pintu.
Suasana di dalam langsung memeluknya dengan aroma kuat rempah, minyak, dan... sesuatu yang lebih tua. Sesuatu yang tidak bisa ia kenali, seperti aroma dupa dan abu hangus.
Di balik meja saji, berdiri seorang pria. Mengenakan apron pudar dan kemeja abu-abu usang yang lengannya digulung hingga siku. Rambut hitamnya sepanjang bahu, sedikit acak-acakan, memberi kesan urakan. Meskipun demikian, tubuhnya tegap, Murni memperkirakan tidak kurang dari 185.
Melihatnya masuk, pria itu menoleh. Wajahnya ternyata sangat tampan, dengan garis rahang tajam yang seperti dibentuk dengan pisau pemahat ahli. Apron pudar dan kemeja usang tidak memudarkan ketampanannya. Matanya sangat hitam, memberi aura misterius. Tatapannya tanpa emosi, tapi terasa tidak asing.
Seolah-olah dia—
Pria dalam mimpinya.
Sosok yang berdiri di sana, memandangnya tanpa melakukan apa-apa. Sorot mata yang sama. Aura yang sama.
"Selamat datang," pria itu mengucapkan kata sambutan. Suaranya dalam, seolah datang dari sumur tua. "Silakan duduk."
Murni hanya berdiri di ambang pintu, membeku.
"Namamu...?" pria itu bertanya.
"Murni," ia menjawab akhirnya. Suaranya sendiri terdengar asing, bergetar, entah karena emosi apa.
Senyum tipis terbit di wajah pria itu. "Tentu saja."
Murni melirik pelat nama yang tersemat di dada pria itu. Mahanta. Sepertinya dia koki atau pemilik warung ini?
Murni duduk di salah satu kursi, masih waspada. Mengedarkan pandangan ke sekeliling — ada beberapa pelanggan lain, semuanya duduk diam, seperti boneka lilin. Tidak makan. Tidak bicara. Hanya menatap ke depan.
Tiba-tiba salah satu dari mereka tersedak. Lalu terdiam. Kemudian tidak sadarkan diri.
Mahanta tidak bereaksi. Ia hanya mengambil panci kecil, menyendok kuah, dan menuangkannya ke mangkuk yang diletakkan di depan pelanggan yang pingsan itu.
Sekonyong-konyong, tubuh pelanggan itu tersentak. Lalu tersenyum. Lalu menghilang.
Bukan pergi.
Menghilang. Lenyap.
Murni tertegun. Tubuhnya kaku. Tengkuknya merinding. Ia tahu harus bangkit dan melarikan diri, tetapi seolah sesuatu mengikatnya di tempat duduk.
"Apa yang terjadi barusan?" ia berbisik, hampir bergumam pada dirinya sendiri.
Mahanta menatapnya, lebih dalam dari sebelumnya. “Dia sudah selesai. Aku hanya mengantar.”
“Mengantar? Ke… mana?”
Mahanta menghela napas. Lalu menjawab pelan, "Ke tempat yang seharusnya."
---
Malam itu, Murni tidak memesan apa pun. Ia hanya duduk, menyaksikan bagaimana warung itu bukan sekadar tempat makan.
Dan ketika akhirnya ia bangkit hendak pergi, Mahanta memandangnya tajam.
“Jangan kembali,” katanya. “Tempat ini bukan untukmu.”
Kata jangan lagi. Tapi bahkan saat ia berjalan ke luar dan kembali ke jalan, Murni tahu sesuatu dalam dirinya sudah terlanjur terikat.
Ponselnya kembali bergetar. Ia membukanya.
Ada pesan suara baru.
["Kau sudah terlalu dekat... Tapi belum terlambat. Kembalilah. Atau semuanya akan dimulai lagi."]
Murni menengadah ke langit malam. Hujan belum berhenti. Di kejauhan, kilat samar menyala — serupa bayangan sayap besar di balik awan.
Dan jauh di dalam dadanya, sesuatu yang sepertinya sudah lama terkubur... mulai bangkit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Jati Putro
Kalimat jangan bermakna dilarang
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran
2025-04-23
0
adi_nata
baru bab awal aura misterinya sudah sangat pekat.
2025-04-29
0