Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: MALAM PERTAMA YANG MENCABIK JIWA
#
Mansion Prasetya megah banget.
Itu pikiran pertama Alviona waktu mobil mewah yang bawa mereka dari resepsi berhenti di depan gerbang besi tinggi. Lampu taman menyinari halaman luas yang lebih mirip taman istana daripada rumah. Bangunan tiga lantai dengan pilar-pilar besar berdiri angkuh, jendela-jendelanya besar dan gelap.
Cantik. Mewah. Dingin.
Kayak pemiliknya.
Daryon turun duluan tanpa nunggu atau bantuin Alviona. Dia jalan duluan masuk rumah, langkahnya panjang dan cepat. Alviona susah payah turun sendiri dari mobil dengan gaun pengantin yang masih panjang dan ribet.
Sopir cuma natap kasihan, tapi gak ada yang berani bantuin.
Alviona ngangkat gaun pengantinnya sendiri, nyusul Daryon yang udah masuk ke dalam.
Interior rumah lebih dingin lagi. Lantai marmer putih mengkilap, tangga putar di tengah ruangan, lukisan-lukisan mahal di dinding. Semuanya teratur. Bersih. Tanpa kehangatan.
"Kamarmu di lantai dua, sebelah kiri," ucap Daryon tanpa nengok, suaranya datar kayak ngasih instruksi ke bawahan.
Alviona berhenti di tengah ruang tamu.
"Ka... kamarku?" ulangnya pelan, bingung.
"Ya. Kamarmu." Daryon akhirnya nengok, tapi tatapannya dingin. "Kita gak tidur sekamar. Kau tidur di kamar tamu."
Sesuatu mencelos di dada Alviona. Entah kenapa, walau dia takut, walau dia gak pengen deket-deket Daryon... penolakan itu tetep sakit.
"Tapi... malam ini kan—"
"Malam ini apa?"
Daryon naik beberapa anak tangga, berhenti, nengok Alviona dari atas. Tatapannya... menghakimi. Kayak lagi ngeliat sesuatu yang merepotkan.
"Kita... kan baru nikah..." Suara Alviona mengecil.
Daryon turun lagi, langkahnya pelan tapi mengintimidasi. Dia berhenti tepat di depan Alviona, tingginya bikin Alviona harus dongak.
"Kau pikir aku peduli dengan ritual malam pertama?" tanyanya sarkastik. "Kau pikir aku nikah sama kau karena pengen?"
Alviona gak bisa jawab. Tenggorokannya kering.
"Ini pernikahan kontrak. Bisnis. Kau ada di sini karena keluargamu butuh uang. Aku nikah sama kau karena keluargaku butuh... citra keluarga harmonis." Daryon nyeringai tipis, tapi seringainya gak ada hangat sama sekali. "Jadi jangan harap lebih dari itu."
Dia mau pergi lagi naik tangga.
Tapi tiba-tiba berhenti.
Nengok lagi ke Alviona.
Dan tatapannya berubah. Bukan dingin lagi. Tapi... lapar. Tatapan yang bikin bulu kuduk Alviona berdiri.
"Tapi..." Daryon turun lagi, melangkah lambat ke arah Alviona. "Kau tetep istriku. Secara hukum. Secara... fungsi."
Alviona mundur selangkah. Jantungnya berdetak cepat.
"A-apa maksudmu?"
Daryon gak jawab. Dia cuma terus melangkah sampai Alviona mundur terus, punggungnya menabrak dinding.
"Malam ini, kau tetep harus jalanin kewajibanmu."
Suaranya pelan. Tapi nadanya... mengerikan.
"Daryon, aku—"
"Ikut aku."
Bukan ajakan. Perintah.
Tangannya mencengkeram pergelangan tangan Alviona—kencang, kasar—dan menyeretnya naik tangga. Alviona tersandung berkali-kali karena gaun pengantinnya, tapi Daryon gak peduli. Dia terus nyeret.
"Tunggu—sakit—Daryon—"
Pintu kamar dibanting terbuka.
Kamar itu besar, gelap, cuma diterangi lampu malam redup dari sudut ruangan. Ranjang king size di tengah dengan sprei hitam. Gak ada dekorasi malam pertama. Gak ada bunga. Gak ada lilin romantis.
Cuma ruangan dingin yang berasa kayak ruang interogasi.
Daryon membanting pintu dan menguncinya.
Klik.
Suara kunci itu kayak suara penjara yang ditutup.
"Daryon, please..." Suara Alviona mulai bergetar, air matanya mulai keluar. "Aku... aku takut. Aku belum siap—"
"Siap atau gak, itu bukan urusanku."
Dia mendorong Alviona ke ranjang—gak lembut, gak hati-hati—bikin Alviona jatuh terduduk dengan kasar. Gaun pengantinnya kusut, napasnya tersengal.
"Kau sekarang istriku. Dan aku punya hak."
"Tapi aku baru 16 tahun!" jerit Alviona, air matanya mengalir deras. "Aku... aku bahkan gak ngerti apa-apa—"
"Kau bakal belajar."
Tangannya meraih resleting gaun pengantin Alviona, menariknya turun dengan paksa. Suara kain robek terdengar jelas.
"JANGAN!" Alviona berusaha melawan, tangannya mendorong dada Daryon, tapi tenaganya... kayak semut lawan gajah.
Daryon menangkap kedua pergelangan tangannya dengan satu tangan, mencengkeramnya kuat di atas kepala Alviona.
"Diam."
Satu kata. Tapi penuh ancaman.
Alviona gak bisa apa-apa. Dia cuma bisa nangis, tubuhnya gemetar hebat, sementara Daryon merobek gaun pengantinnya lebih jauh.
"Kumohon... kumohon jangan..." isak Alviona. "Sakit... ini sakit—"
"Biasain."
Dan malam itu, Daryon menyentuh Alviona dengan brutal, tanpa kelembutan, tanpa peduli sama tangisan atau jeritannya. Baginya, ini cuma kewajiban yang harus diselesaikan. Alviona bukan manusia.
Cuma boneka hidup yang bisa dipake.
---
Pagi datang terlalu cepat.
Cahaya matahari masuk dari celah tirai tebal, menyinari kamar yang berantakan. Sprei kusut. Bantal jatuh ke lantai. Gaun pengantin Alviona robek di sudut ruangan kayak bangkai.
Alviona terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa.
Sekujur tubuhnya sakit. Perutnya sakit. Dadanya sakit. Di antara kakinya... sakit banget sampai dia gak bisa gerak.
Dia ngeliat ke samping.
Tempat tidur kosong.
Daryon udah gak ada.
Alviona pelan-pelan duduk—gerakannya lambat, hati-hati, karena setiap gerakan kayak disayat pisau. Selimut jatuh dari tubuhnya, dan dia ngeliat...
Lebam.
Lebam di lengannya. Lebam di pergelangan tangannya. Bekas cengkeraman.
Ada darah di sprei.
Darah... dari tubuhnya sendiri.
Alviona menutup mulut, menahan isak tangis yang mau meledak. Tangannya gemetar waktu dia nyoba berdiri—tapi kakinya lemas, tubuhnya roboh lagi ke ranjang.
Sakit.
Sakit banget.
Bukan cuma fisik. Tapi ada sesuatu di dalem dirinya yang... hancur.
Dia merangkak turun dari ranjang dengan susah payah, tubuhnya limbung. Setiap langkah kayak jalan di atas paku. Dia nyeret selimut buat nutupin tubuhnya yang penuh luka, dan berjalan tertatih ke cermin besar di sudut kamar.
Dan waktu dia ngeliat pantulannya...
Dia gak kenal gadis di cermin itu.
Rambut berantakan. Mata bengkak karena nangis. Bibir pecah-pecah. Leher penuh kissmark yang kayak memar. Bahu, lengan... semuanya penuh lebam.
Tubuhnya kayak habis dihajar.
Bukan dicintai.
Alviona natap pantulan dirinya lama. Lama banget. Tangannya menyentuh cermin, jarinya gemetar.
Air matanya jatuh lagi—tapi kali ini diem. Gak ada isak tangis. Cuma air mata yang terus ngalir.
Dan di tengah keheningan pagi itu, di tengah rasa sakit yang mencabik seluruh tubuhnya, Alviona berbisik pelan—suaranya serak, hancur:
"Ini baru malam pertama..."
Dia nutup mata, air matanya makin deras.
"Bagaimana aku bertahan... bertahun-tahun?"
Pertanyaan itu menggantung di udara.
Gak ada yang jawab.
Cuma keheningan mansion megah yang dingin dan kejam.
Dan gadis 16 tahun yang mulai ngerti...
Neraka bukan tempat di bawah tanah.
Neraka itu di sini.
Di mansion ini.
Di ranjang ini.
Di pernikahan ini.
---
**[ END OF BAB 3 ]**