NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:268
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lembah Kertas Remas

Suara karet raksasa bergesekan dengan kertas terdengar seperti guntur yang diredam. SROK... SROK...

Setiap gosokan dari penghapus raksasa di tangan Adrian itu menghilangkan satu meter pijakan mereka. Jalan kertas putih tempat mereka berdiri menyusut drastis. Di belakang, palu mesin tik raksasa berhuruf "T" sudah siap menghantam lagi, membidik kepala Bobi.

"Kita abis! Kita beneran abis!" Bobi berteriak, matanya liar mencari jalan keluar di antara jurang putih dan penghapus raksasa. "Gue nggak mau mati dihapus! Itu cara mati paling nggak elit sedunia!"

"Rian!" Elara mengguncang bahu Rian yang sedang muntah tinta lagi. "Tinta lo! Gue butuh tinta lo!"

Rian mendongak, mulut dan dagunya hitam pekat. Matanya sayu, separuh kesadarannya sudah hanyut. "Buat... apa...?"

Elara tidak menjawab. Dia melakukan hal yang nekat. Dengan tangan kanannya yang gemetar, dia mencabut pulpen yang menancap di telapak tangan kirinya.

"ARGH!" Elara menjerit tertahan. Darah segar muncrat. Sakitnya bikin pandangannya berkunang-kunang, tapi rasa sakit itu justru bikin otaknya makin encer.

Elara mencocolkan ujung pulpen berdarah itu ke bibir Rian, menyerap tinta hitam pekat yang meleleh di sana.

"Maaf, Yan. Gue pinjem 'darah' lo," bisik Elara.

Elara berbalik menghadap lantai kertas putih di bawah kaki mereka. Penghapus Adrian tinggal berjarak dua meter.

Elara membungkuk dan menuliskan sesuatu di lantai dengan gerakan cepat dan kasar. Tinta hitam Rian bercampur dengan darah merah Elara, menciptakan warna marun yang aneh di atas kertas putih itu.

Dia menulis dua kata besar:

PLOT HOLE

Begitu huruf 'E' terakhir ditulis, Elara melingkari kata itu.

KREK!

Lantai kertas di dalam lingkaran itu tiba-tiba rapuh dan jebol ke bawah, menciptakan lubang hitam menganga yang tidak ada dasarnya. Sebuah "Lubang Plot" harfiah.

"Lompat!" teriak Elara.

"Ke mana?! Itu gelap banget!" protes Sarah.

"Lebih baik jatuh ke plot hole daripada dihapus sama si Brengsek itu! Ayo!"

Elara menarik tangan Rian dan melompat duluan ke dalam lubang itu. Sarah dan Bobi, melihat penghapus raksasa sudah ada di atas kepala mereka, memejamkan mata dan ikut terjun.

SROK!

Penghapus Adrian menghantam tempat mereka berdiri sedetik yang lalu, menghapus tulisan PLOT HOLE itu. Tapi terlambat. Mangsanya sudah lolos lewat celah narasi.

Rasanya bukan seperti jatuh dari gedung. Rasanya seperti disedot vacuum cleaner.

Tubuh mereka melayang-layang di dalam lorong gelap yang dindingnya dipenuhi potongan kalimat yang melesat naik. Elara sempat membaca beberapa kalimat yang lewat di depan mukanya:

"...Elena menatap pisau itu dengan ragu..."

"...Rian tidak pernah mencintai Elara, dia hanya..."

"...Bobi ternyata adalah hantu sejak awal..."

Elara merinding. Itu semua adalah alternatif plot. Ide-ide cerita yang mungkin pernah dipikirkan Adrian tapi nggak dipakai. Potongan takdir yang dibuang.

BUGH!

Mereka mendarat dengan keras di atas permukaan yang empuk tapi tidak rata.

"Aduh..." Bobi mengerang, memegangi pinggangnya. "Ini kita di mana lagi? Kok bau apek?"

Elara bangun dan melihat sekeliling. Mulutnya menganga.

Mereka berada di sebuah lembah raksasa yang suram. Langitnya berwarna abu-abu kusam seperti kertas koran lama. Dan sejauh mata memandang, tidak ada pohon atau tanah.

Yang ada hanyalah gunung-gunung sampah yang terbuat dari bola kertas remas.

Jutaan, mungkin miliaran bola kertas putih yang diremas-remas menumpuk setinggi bukit. Di sana-sini, ada genangan tinta hitam yang menyerupai danau kecil.

"Lembah Kertas Remas..." gumam Elara. "Ini tempat pembuangan draf. Tempat ide-ide gagal dibuang."

"Jadi kita sampah sekarang?" tanya Sarah sarkas, membersihkan debu kertas dari bajunya. "Cocok banget sama nasib hidup gue."

"Rian!" Elara teringat Rian.

Rian tergeletak tak jauh dari mereka, di atas tumpukan kertas remas. Kondisinya makin parah. Kulit wajah dan tangannya mulai memudar warnanya, berubah menjadi putih pucat seperti kertas. Dan di bawah kulitnya, mulai muncul tato-tato alami berupa huruf-huruf kecil yang bergerak-gerak.

Rian sedang berubah menjadi teks.

"Dingin..." gigil Rian. "El... gue ngerasa... tipis. Gue ngerasa kayak mau sobek."

Elara memeluk kepala Rian. "Bertahan, Yan. Jangan jadi kertas. Lo manusia. Inget, lo manusia!"

"Kita harus cari jalan keluar dari tempat sampah ini," kata Sarah, memandang ke cakrawala abu-abu. "Kalau ini tempat buangan, pasti ada jalan balik ke naskah utama."

"Atau jalan ke 'Recycle Bin' buat dihapus permanen," timpal Bobi pesimis.

Tiba-tiba, tumpukan bola kertas di dekat mereka bergetar.

Kresek... kresek...

Bobi langsung lompat ke belakang Sarah. "Apaan tuh? Tikus kertas?"

Dari balik tumpukan kertas remas itu, muncul sebuah tangan.

Tapi tangan itu aneh. Jarinya ada tujuh, panjang-panjang dan bengkok. Kulitnya terbuat dari kertas koran yang dilipat-lipat kasar.

Sosok itu merangkak keluar. Bentuknya manusia, tapi cacat. Wajahnya rata, nggak punya mata, cuma ada coretan spidol hitam berbentuk tanda tanya "?" di tempat wajahnya. Kakinya panjang sebelah. Badannya bungkuk.

"Makhluk apaan itu?" bisik Sarah ngeri.

"Itu... Karakter Gagal," tebak Elara. "Karakter yang dideskripsikan setengah-setengah, terus dibuang penulisnya."

Si Karakter Gagal itu "mengendus" udara (meski nggak punya hidung). Kepalanya berputar kaku ke arah Rian. Dia sepertinya tertarik sama bau tinta segar yang keluar dari tubuh Rian.

"Re...vi...si..." suara makhluk itu terdengar seperti gesekan kertas pasir. "Butuh... re...vi...si..."

Dan dia nggak sendirian.

Dari balik bukit-bukit kertas remas lainnya, bermunculan puluhan sosok serupa. Ada yang nggak punya kaki, ada yang kepalanya kotak, ada yang badannya cuma sketsa garis kasar. Mereka semua merangkak mendekat, bergumam kata yang sama:

"Revisi... Revisi..."

"Mereka mau Rian," kata Elara, mundur sambil menyeret tubuh Rian. "Mereka mau tinta Rian buat nyempurnain diri mereka sendiri."

"Lari!" teriak Bobi.

Mereka lari pontang-panting mendaki bukit kertas remas itu. Susah banget lari di atas tumpukan bola kertas. Kaki mereka terus terperosok. Setiap langkah bikin suara kresek yang nyaring.

Pasukan Karakter Gagal itu mengejar dengan gerakan aneh, merayap, melompat, menggelinding. Mereka cepat.

"Ke sana! Ada bangunan!" tunjuk Sarah.

Di puncak salah satu bukit kertas, ada sebuah bangunan gubuk reyot yang terbuat dari sampul buku tebal. Itu satu-satunya tempat berlindung yang kelihatan kokoh.

Mereka memaksakan diri memanjat. Napas Rian makin pendek, tubuhnya makin ringan kayak layangan. Elara dan Sarah harus memeganginya biar nggak terbang kebawa angin.

Mereka sampai di depan gubuk sampul buku itu, mendobrak pintunya, lalu masuk dan memalang pintu dengan tumpukan kamus tua yang ada di dalam.

BRAK! BRAK!

Para Karakter Gagal itu menabrak dinding luar gubuk, mencakar-cakar sampul tebal itu.

"Aman..." desah Bobi, merosot ke lantai. "Setidaknya buat lima menit."

Elara membaringkan Rian di lantai. Dia memeriksa nadi Rian. Lemah banget. Dan sekarang, seluruh lengan kanan Rian sudah berubah total jadi lembaran kertas bertuliskan narasi.

"El..." panggil Rian lirih. "Tangan gue... gue nggak bisa ngerasain tangan gue."

Elara menahan tangis. Dia menoleh, memeriksa isi gubuk itu. Siapa tau ada senjata atau petunjuk.

Gubuk itu penuh dengan tumpukan naskah yang dijilid rapi tapi berdebu.

Di tengah ruangan, duduk seseorang.

Elara, Sarah, dan Bobi kaget setengah mati. Mereka kira gubuk ini kosong.

Orang itu duduk membelakangi mereka, menghadap sebuah meja kerja yang penuh coretan. Dia memakai jas hujan kuning yang lusuh.

"Permisi..." sapa Elara hati-hati. "Kami... kami tersesat."

Orang itu tidak berbalik. Dia hanya terkekeh pelan. Suaranya familiar. Sangat familiar.

"Tersesat?" kata orang itu. "Kalian nggak tersesat. Kalian justru sampai di inti masalahnya."

Orang itu memutar kursi kerjanya perlahan.

Elara, Sarah, Bobi, dan bahkan Rian yang sekarat, semuanya terbelalak.

Wajah orang itu... adalah wajah Rian.

Tapi ini bukan Rian yang mereka kenal. Rian ini terlihat lebih tua sepuluh tahun. Rambutnya gondrong berantakan, ada kantung mata hitam tebal, dan jarinya penuh noda tinta permanen. Tatapannya gila dan putus asa.

"Halo, versi mudaku," sapa Rian Tua itu sambil menyeringai miring.

"Siapa lo?!" bentak Bobi. "Rian KW super?"

"Gue?" Rian Tua itu berdiri, merentangkan tangannya. "Gue adalah Penulis Asli. Adrian itu cuma nama pena gue."

Dunia Elara runtuh seketika.

"Apa maksud lo?" tanya Elara gemetar.

"Kalian pikir Adrian itu hantu kakek buyut?" Rian Tua tertawa pahit. "Salah. Adrian itu sisi gelap gue. Sisi obsesif gue yang pengen bikin masterpiece sempurna. Gue nulis cerita ini bertahun-tahun yang lalu. Gue terjebak di dalam cerita gue sendiri karena gue nggak pernah puas sama ending-nya."

Rian Tua menunjuk Rian Muda yang terbaring di lantai.

"Dan sekarang, siklusnya berulang. Gue butuh tubuh baru yang masih segar buat ngelanjutin tulisan ini. Tubuh lo, Rian."

Rian Tua mengambil sebuah pena emas dari sakunya. Ujung pena itu tajam seperti pisau bedah.

"Sini," kata Rian Tua, melangkah mendekati Rian Muda. "Biar gue 'sunting' sedikit takdir lo. Kita gabungin jiwa kita, dan kita akan jadi Tuhan di dunia kertas ini selamanya."

Elara berdiri melindungi Rian Muda. "Langkahin dulu mayat gue."

Rian Tua tersenyum meremehkan. "Elara, Elara... lo itu karakter favorit gue. Gue bikin lo jatuh cinta sama gue, gue bikin lo berani, gue bikin lo setia. Sayang banget kalau gue harus hapus karakter sebagus lo."

Dia menjentikkan jarinya.

Lantai di bawah kaki Elara tiba-tiba berubah jadi lem yang lengket. Elara nggak bisa gerak. Sarah dan Bobi juga sama, kaki mereka tertanam di lantai.

Rian Tua berjalan santai melewati Elara yang mematung, lalu berjongkok di depan Rian Muda yang tak berdaya.

"Bab 23 selesai," bisik Rian Tua sambil mengangkat pena emasnya tinggi-tinggi, siap menghujamkannya ke dada Rian Muda. "Selamat datang di Bab 24: Penyatuan."

Tapi tepat sebelum pena itu turun, Rian Muda membuka matanya.

Mata itu bukan merah. Bukan cokelat.

Mata Rian Muda berwarna putih kosong.

Dan mulut Rian Muda bergerak, mengeluarkan suara yang bukan suara manusia, melainkan suara ribuan lembar kertas yang disobek bersamaan:

"Kau lupa satu hal, Penulis. Karaktermu sudah berkembang melampaui plot yang kau tulis."

Tangan Rian Muda, tangan kanannya yang sudah berubah jadi kertas, tiba-tiba.........

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!