NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9: KERETAKAN PERTAMA

Senin sore tiba dengan langit mendung. Laura duduk di ruang meeting kantor Sentinel, laptopnya terbuka di depannya, dokumen-dokumen tersebar di meja. Julian duduk di seberangnya, fokus pada layar laptopnya sendiri.

Suasana canggung menggantung di antara mereka—berbeda dari meeting-meeting sebelumnya yang mulai terasa lebih nyaman. Setelah kejadian di acara Sabtu malam, ada jarak baru yang tercipta. Jarak yang Laura ciptakan untuk melindungi dirinya sendiri.

"Timeline konstruksi cluster C sudah final," ujar Laura, suaranya profesional dan datar. "Groundbreaking minggu depan."

Julian mengangguk, mengetik sesuatu di laptopnya. "Tim keamanan saya akan standby saat groundbreaking. Memastikan tidak ada insiden."

"Terima kasih."

Hening.

Julian menatap Laura, alis mengernyit sedikit. "Miss Laura, apa ada masalah?"

"Tidak ada," jawab Laura cepat, tidak mengangkat pandangan dari laptopnya. "Kenapa bertanya?"

"Anda terlihat... berbeda."

Laura akhirnya mengangkat pandangan, menatap Julian dengan ekspresi yang dijaga ketat. "Saya baik-baik saja, Pak Julian. Hanya lelah."

Julian tidak terlihat yakin, tapi dia tidak mendesak lebih lanjut. Meeting berlanjut dalam keheningan yang tidak nyaman—sangat kontras dengan kehangatan yang mulai terbentuk minggu-minggu sebelumnya.

Di tengah diskusi, ponsel Julian berdering. Dia meliriknya, ekspresinya berubah—rahangnya menegang.

"Maaf, saya harus angkat ini," ujarnya, berdiri dan keluar ruangan.

Laura mendengar suaranya samar dari luar—nada bicaranya tegang, khawatir. Beberapa menit kemudian, Julian masuk kembali dengan wajah yang terlihat lebih gelap.

"Ada masalah?" tanya Laura tanpa bisa menahan dirinya.

Julian ragu sejenak. "Supervisor keamanan di lokasi Green Valley melaporkan sesuatu yang mencurigakan. CCTV sementara yang kami pasang di beberapa titik... rusak. Semuanya. Dalam waktu bersamaan."

Laura menegang. "Rusak bagaimana?"

"Tidak seperti kerusakan alami. Kabel dipotong dengan sengaja. Systematic."

"Sabotase?"

"Kemungkinan besar." Julian menutup laptopnya. "Saya harus ke lokasi sekarang. Mengecek sendiri."

"Saya ikut," ujar Laura, sudah berdiri dan mengemas laptopnya.

"Miss Laura, tidak perlu—"

"Ini proyek saya juga, Pak Julian," potong Laura dengan tegas. "Jika ada sabotase, saya perlu tahu seberapa parah dampaknya."

Julian menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Baik. Kita berangkat sekarang."

Perjalanan ke Sentul dilakukan dalam keheningan. Julian menyetir mobilnya dengan fokus, rahangnya menegang, matanya tajam. Laura duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang basah setelah hujan sore.

"Anda curiga siapa yang melakukan ini?" tanya Laura, memecah keheningan.

"Belum tahu pasti," jawab Julian. "Tapi proyek sebesar ini pasti menarik perhatian... pihak-pihak yang tidak senang."

"Kompetitor?"

"Mungkin. Atau orang dalam yang punya agenda sendiri." Julian melirik Laura sekilas. "Makanya saya perlu mengecek langsung. Melihat siapa yang punya akses, siapa yang benefit dari sabotase ini."

Laura mengangguk, pikirannya berputar. Proyek Green Valley adalah proyek besar—banyak pihak terlibat, banyak uang beredar. Sabotase bukan hal yang mustahil.

Mereka tiba di lokasi saat senja mulai turun. Tim keamanan Sentinel sudah berkumpul di pos utama—lima orang dengan wajah serius.

"Report," perintah Julian segera setelah turun dari mobil.

Adrian, Kepala Operasional, maju dengan tablet di tangan. "Total dua belas CCTV rusak, semuanya di perimeter cluster A dan B. Kabel dipotong dengan alat tajam, clean cut. Bukan kerusakan natural. Dan yang lebih mencurigakan—semua terjadi dalam window waktu tiga puluh menit, antara jam dua sampai dua setengah siang. Saat pergantian shift keamanan."

"Orang dalam," gumam Julian, rahangnya mengeras.

"Kemungkinan besar," Adrian mengangguk. "Dan mereka tahu jadwal shift kita."

Julian mengepalkan tangannya, terlihat jelas dia sedang menahan amarah. "Check semua personnel yang on duty hari ini. Background check ulang. Dan review footage CCTV yang masih berfungsi—mungkin ada yang tertangkap."

"Sudah dikerjakan, Boss. Footage sedang di-review tim cyber kita."

Laura mengamati Julian—cara dia langsung mengambil kontrol situasi, cara dia berpikir strategis meski sedang marah, cara timnya merespons dengan respek dan efisiensi. Ini adalah Julian yang berbeda dari yang dia lihat di kantor. Ini adalah Julian the leader, Julian the protector.

Dan Laura merasakan dadanya sesak dengan perasaan yang tidak seharusnya dia miliki.

"Miss Laura," Julian menoleh padanya. "Apa ada staff dari pihak Mahkota Property yang punya akses ke jadwal shift keamanan?"

Laura berpikir cepat. "Project manager kami, Pak Bambang, punya akses. Dan beberapa site engineer. Tapi mereka semua sudah bekerja dengan kami bertahun-tahun—"

"Tidak ada yang di luar dugaan dalam situasi seperti ini," potong Julian. "Saya perlu list lengkap semua personnel Mahkota Property yang punya akses ke informasi sensitif proyek ini."

"Saya akan kirim malam ini," jawab Laura.

Mereka menghabiskan dua jam berikutnya mengecek lokasi, mewawancarai security yang on duty, mereview sistem. Laura bekerja berdampingan dengan Julian—mengecek dokumen, menganalisis timeline, mencari celah.

Malam sudah turun saat mereka akhirnya selesai. Tim keamanan sudah diperkuat, CCTV baru sudah dipasang di titik-titik yang rusak, dan extra patrol ditambahkan.

Di parkiran, sebelum masuk mobil masing-masing, Julian menghentikan Laura.

"Miss Laura," ujarnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Terima kasih untuk hari ini. Anda... Anda tidak perlu ikut, tapi Anda tetap datang dan membantu."

Laura tersenyum tipis—senyum yang tidak mencapai matanya. "Ini pekerjaan saya, Pak Julian. Tidak perlu berterima kasih."

Julian menatapnya dengan ekspresi aneh—seolah sedang mencoba memahami sesuatu. "Kenapa rasanya Anda semakin menjauh?"

Pertanyaan itu datang tanpa peringatan, menghantam Laura seperti pukulan ke dada.

"Saya tidak menjauh," jawab Laura, menjaga suaranya tetap stabil. "Saya hanya... menjaga profesionalisme."

"Profesionalisme?" Julian mengernyit. "Minggu-minggu sebelumnya kita juga profesional, tapi tidak seperti ini. Tidak se-distant ini."

Laura merasakan dadanya sesak. Dia ingin berteriak: Tentu saja aku menjauh! Karena aku mencintaimu dan kamu tidak akan pernah mencintaiku! Karena melihatmu dengan Maudy membunuhku pelan-pelan!

Tapi yang keluar hanya, "Pak Julian, ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal-hal seperti ini. Kita punya masalah yang lebih besar—ada sabotase di proyek kita."

Julian diam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Anda benar. Maaf."

Mereka berpisah dalam keheningan yang berat.

Tiga hari berikutnya adalah neraka bagi Laura. Dia bekerja hampir tanpa henti—mengkoordinasi dengan tim, mengecek ulang semua personnel, melakukan background check tambahan, menganalisis data. Tidur hanya tiga hingga empat jam semalam. Makan dengan asal-asalan.

Nia mengirim pesan berkali-kali, khawatir. Tapi Laura hanya membalas singkat—sibuk, nanti cerita.

Karena Laura tahu: jika dia berhenti bekerja, jika dia punya waktu untuk berpikir, semua sakit itu akan kembali. Jadi dia tenggelam dalam pekerjaan, menjadikannya pelarian.

Kamis malam, saat Laura masih di kantor jam sebelas malam, mencoba menyelesaikan analisis terakhir, seseorang mengetuk pintunya.

Dia mengangkat kepala, terkejut. Siapa yang masih di kantor jam segini?

Pintu terbuka. Felix Rahardian—sahabat Julian yang pernah dia lihat di restoran waktu itu—masuk dengan senyum ramah dan dua cup kopi di tangan.

"Laura Christina?" tanyanya. "Maaf mengganggu. Saya Felix. Sahabat Julian."

Laura berdiri, bingung. "Dr. Felix? Ada yang bisa saya bantu?"

"Sebaliknya," Felix menyerahkan salah satu cup kopi. "Julian bilang Anda kerja keras untuk menyelesaikan masalah sabotase. Saya kebetulan lewat gedung ini setelah shift di rumah sakit, jadi saya pikir mampir dan membawakan kopi tidak ada salahnya."

Laura menerima kopi dengan canggung. "Terima kasih, tapi... kenapa Anda repot-repot?"

Felix duduk di kursi tamu tanpa diundang, senyumnya tetap hangat. "Karena saya tahu kalau dibiarkan, orang-orang seperti Anda dan Julian akan bekerja sampai kolaps. Dan sebagai dokter, saya punya tanggung jawab moral untuk mencegah itu."

Meski lelah, Laura tidak bisa menahan senyum kecil. Felix punya aura yang sangat berbeda dari Julian—hangat, mudah didekati, ceria.

"Julian menceritakan tentang saya?" tanya Laura tanpa berpikir.

"Oh, lebih dari yang Anda bayangkan," jawab Felix dengan seringai. "Dia bilang Anda partner bisnis paling dedicated yang pernah dia temui. Detail-oriented, hard-working, dan—kutip langsung—'surprisingly insightful untuk situasi kompleks'."

Laura merasa pipinya sedikit menghangat. "Dia terlalu baik."

"Julian jarang memuji orang," ujar Felix, lebih serius sekarang. "Jadi kalau dia bilang itu, dia serius."

Mereka mengobrol sebentar—tentang pekerjaan, tentang kehidupan, tentang hal-hal ringan. Felix punya cara membuat Laura merasa nyaman, membuat beban di pundaknya terasa sedikit lebih ringan.

"Saya harus kembali ke rumah sakit," ujar Felix akhirnya, berdiri. "Shift pagi besok. Tapi Laura—boleh saya panggil Laura?"

Laura mengangguk.

"Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Saya tahu Anda tipe yang perfeksionis, yang merasa harus solve everything sendiri. Tapi kadang-kadang, it's okay to ask for help. It's okay to be... manusia."

Ada sesuatu di cara Felix mengatakannya—dengan empati yang tulus—yang membuat mata Laura sedikit berkaca-kaca.

"Terima kasih, Dr. Felix," bisiknya.

"Panggil aku Felix saja. Dan seriously, kalau Anda butuh apa-apa—bahkan hanya teman ngobrol—hubungi saja. Julian punya nomorku."

Setelah Felix pergi, Laura duduk sendirian di kantornya dengan cup kopi yang sudah dingin. Ada kehangatan kecil di dadanya—kehangatan dari kebaikan stranger, dari kepedulian yang tidak dia minta tapi sangat dia butuhkan.

Tapi kehangatan itu juga membawa sakit. Karena mengingatkan Laura bahwa Felix adalah sahabat Julian. Bahwa apapun yang Felix lakukan, mungkin karena Julian memintanya untuk check on Laura.

Bukan karena Felix—atau Julian—benar-benar peduli secara personal.

Laura kembali ke laptopnya, memaksa fokus kembali ke pekerjaan.

Tapi di sudut pikirannya, dia tidak bisa berhenti bertanya: Kenapa Julian mengirim Felix? Kenapa dia tidak datang sendiri?

Dan jawaban yang paling mungkin—jawaban yang membuat dadanya sesak—adalah: Karena Julian sedang sibuk dengan Maudy.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!