NovelToon NovelToon
Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Bepergian untuk menjadi kaya / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Balas Dendam
Popularitas:883
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.

​Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.

​Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.

​Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.

​Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.

​​Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 5: Undangan

​"Bisa lebih tinggi lagi nggak harganya? Ini jam tangan asli, Ko. Masih mulus, cuma butuh ganti baterai saja."

​Maya menyodorkan jam tangan perak tua itu ke atas meja kayu yang penuh noda kopi. Di depannya, Koh Acong, rentenir pasar yang terkenal paling galak se-kecamatan, cuma melirik sebelah mata sambil asyik mengorek kuping pakai korek api kayu.

​"Tiga ratus ribu. Nggak bisa lebih. Jam model begini sudah ketinggalan zaman, May. Siapa yang mau beli kalau kamu nggak tebus?" suara Koh Acong parau, bikin telinga sakit.

​"Ko, tiga ratus ribu mana cukup buat beli ayam lima puluh porsi sama daging sapi? Belum lagi kotak kateringnya. Ini jam tangan almarhum Bapak, Ko. Nilai sejarahnya tinggi," Maya mencoba bernegosiasi, suaranya agak gemetar.

​Koh Acong akhirnya menaruh korek apinya dan menatap Maya tajam. "Kamu pikir saya museum? Sejarah nggak bisa dimakan, May. Tiga ratus ribu ambil, atau bawa pulang lagi itu jam rongsok."

​Maya memejamkan mata sesaat. Jantungnya terasa nyeri. Jam itu adalah satu-satunya benda yang menghubungkannya dengan almarhum ayahnya. Setiap kali dia merasa lelah di Jakarta, dia selalu memandangi jam itu untuk mencari kekuatan. Sekarang, benda itu harus berpindah tangan demi modal belanja.

​"Oke, tiga ratus ribu. Tapi Ko, tolong simpan baik-baik. Jangan sampai lecet. Saya pasti tebus lusa," kata Maya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

​"Lusa ya lusa. Lewat sehari, saya jual ke pasar loak. Nih, ambil duitnya," Koh Acong menghitung lembaran uang lusuh dan melemparnya ke meja.

​Maya menyambar uang itu, memasukkannya ke saku celana dengan perasaan hampa. Dia tidak punya waktu untuk bersedih.

 Langit di luar pasar Dharma Raya mulai gelap, dan rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Bau tanah basah dan aroma khas pasar tradisional yang campur aduk langsung menyambutnya.

​"Ayam potong! Ayam segar! Ayo Bu, dipilih!" teriakan para pedagang bersahutan dengan bunyi air hujan yang menghantam atap seng.

​Maya menerobos kerumunan, menenteng kantong plastik besar berisi ayam dan sayuran. Bajunya sudah mulai lembab kena tempias hujan. Saat dia sedang sibuk menawar cabai di salah satu kios, seseorang menepuk pundaknya keras-keras.

​"Lho, Maya? Maya kan?"

​Maya menoleh. Seorang perempuan dengan daster batik dan payung besar berdiri di belakangnya. Itu Lusi, teman SMA-nya dulu yang sekarang punya toko kelontong di pasar.

​"Eh, Lusi. Apa kabar?" Maya mencoba tersenyum ramah.

​"Kabar baik sih, tapi denger kabar kamu kok kurang enak ya? Katanya kamu dipecat dari Jakarta gara-gara kasus uang ya? Terus kok pulangnya sendirian? Adit mana? Katanya mau nikah bulan depan?" Lusi memberondong dengan pertanyaan yang langsung menghujam jantung Maya.

​Maya terdiam sebentar, menelan ludah yang terasa pahit. "Aku sudah putus sama Adit, Lus."

​Mata Lusi membelalak. "Putus? Waduh, May, kamu nggak tahu ya? Berita di grup alumni sudah rame lho. Si Adit itu mau nikah sama Siska, katanya pesta besar-besaran di Hotel Cipta Pesona. Siska itu katanya juga temen kantor kamu juga kan? Duh, tega bener ya."

​"Aku tahu mereka mau nikah, Lus. Sudah ya, aku lagi buru-buru," Maya mencoba menghindar, tapi Lusi menahan lengannya.

​"Eh tunggu! Ada satu lagi. Katanya rumah ibumu mau disita ya? Aduh May, kok nasibmu apes banget sih? Padahal dulu kamu paling pinter di kelas. Kenapa jadi begini? Mending kamu cari kerjaan lain deh, jangan di warung terus. Tante Rosa aja tadi pagi belanja di tempatku, katanya kamu sekarang cuma jadi beban ibumu."

​Maya menarik tangannya dengan tegas. "Terima kasih infonya, Lus. Tapi aku nggak serendah itu sampai jadi beban. Permisi."

​Maya berjalan cepat menembus hujan yang semakin deras. Kata-kata Lusi terngiang di telinganya. 

Jadi beban? Dipecat karena kasus uang? 

Siska, wanita ular itu, benar-benar menghancurkan reputasinya bahkan sampai ke kampung halaman. Air hujan bercampur dengan air mata di pipinya, tapi dia segera mengusapnya dengan kasar.

​"Jangan nangis, Maya. Jangan sekarang," bisiknya pada diri sendiri.

​Sampai di depan rumah, Maya melihat sebuah motor matik merah parkir di teras. Seorang kurir berjaket kuning sedang berdiri menunggu sambil memegang sebuah amplop besar berplastik bening.

​"Atas nama Mbak Maya? Ini ada titipan paket kilat, Mbak," kata kurir itu.

​"Dari siapa Mas?" Maya menerima amplop itu. Tangannya yang basah membuat plastik pelindungnya berembun.

​"Kurang tahu Mbak, tertulisnya dari 'Sahabat Lama'. Saya permisi ya, hujan makin gede," kurir itu langsung memacu motornya pergi.

​Maya masuk ke dalam rumah. Ibunya sedang duduk di sofa ruang tamu yang busuk, tampak cemas. "Apa itu, May? Modal belanjanya cukup?"

​"Cukup, Bu. Tadi ada rezeki sedikit," Maya menyembunyikan rasa pedih soal jam tangan ayahnya. Dia menaruh kantong belanjaan di dapur, lalu kembali ke ruang tamu untuk membuka amplop tadi.

​Begitu amplop itu dibuka, sebuah undangan mewah berwarna emas mengkilap terjatuh ke atas meja. Bahannya tebal, berbau parfum mahal, dan ada cetakan timbul nama pengantinnya: ADIT & SISKA.

​Tangan Maya gemetar. Dia membuka lipatan undangan itu. Di dalamnya ada foto pre-wedding mereka yang diambil di luar negeri. Adit tampak gagah dengan setelan jas, dan Siska tersenyum penuh kemenangan dengan gaun putih yang harganya mungkin setara dengan utang warung ibunya.

​"Ini undangan nikahan Adit ya, Nak?" Ibu mendekat, suaranya pelan dan penuh simpati. "Kenapa mereka jahat sekali kirim begini ke sini?"

​Maya tidak menjawab. Dia melihat selembar kertas kecil yang terselip di dalam undangan tersebut. Ada tulisan tangan yang sangat dia kenali. Tulisan Siska yang rapi namun tajam.

​“Hai Maya sayang. Gimana kabar di kampung? Pasti lagi pusing ya bayar utang bank? Aku denger warung ibumu sepi banget. Kasihan deh. Eh, daripada kamu nganggur dan makin stres, mending kamu datang ke pesta pernikahan kami. Aku butuh tambahan tenaga di bagian belakang. Kalau kamu mau, jadi tukang cuci piring saja di nikahanku nanti. Aku kasih upah dua kali lipat dari gaji buruh cuci di desa. Lumayan kan buat cicil utang rumah? Jangan ditolak ya, ini bentuk kepedulianku sebagai teman lama. See you!”

​"Kurang ajar!" Maya berteriak pelan, suaranya serak menahan amarah yang meledak di dadanya.

​"Ada apa, May? Siska tulis apa?" Ibu tampak khawatir.

​Maya meremas kertas itu sampai hancur dalam kepalannya. Air matanya benar-benar jatuh sekarang, bukan karena sedih kehilangan Adit, tapi karena harga dirinya diinjak-injak sampai ke titik terendah. 

Dia membayangkan jam tangan ayahnya yang sekarang ada di laci Koh Acong, sementara perempuan yang menghancurkan hidupnya malah menawarinya kerja sebagai tukang cuci piring.

​"Dia pikir aku ini apa?" Maya menatap undangan emas itu dengan benci. "Dia pikir dia bisa beli harga diriku dengan uangnya?"

​"Sudah, May. Jangan dilayani. Kita fokus katering besok saja ya," bujuk Ibu sambil mengusap punggung Maya.

​Maya menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gemetar di tubuhnya. Dia menatap robekan-robekan kertas di tangannya, lalu menatap undangan mewah itu sekali lagi. Senyum Siska di foto itu seolah mengejeknya, menertawakan kemiskinannya.

​"Ibu benar," kata Maya, suaranya tiba-tiba menjadi sangat dingin dan tenang. "Maya nggak akan nangis lagi buat mereka. Maya akan dateng ke pernikahan itu, Bu. Tapi bukan buat jadi tukang cuci piring."

​Maya mengambil undangan mewah itu, lalu dengan satu gerakan cepat, dia merobeknya menjadi dua bagian, tepat di tengah-tengah foto wajah Adit dan Siska.

​"Maya akan dateng sebagai pemenang. Maya akan buktikan kalau katering 'produk gagal' ini jauh lebih mahal harganya daripada seluruh pesta sampah mereka!"

​Maya membuang potongan undangan itu ke lantai, lalu berjalan menuju dapur dengan langkah mantap. Dia mulai mengeluarkan pisau dagingnya. Suara dentuman pisau yang menghantam talenan kayu mulai terdengar, beradu dengan suara guntur di luar rumah.

​Namun, di tengah semangatnya, Maya melirik tumpukan bahan makanan di atas meja dapur. Dia sadar, modal dagsngnya itu benar-benar pas-pasan. Jika satu saja masakannya gagal atau gosong, habislah sudah. Dia benar-benar sedang bertaruh dengan satu-satunya kesempatan yang dia punya.

​"Aku nggak boleh gagal. Sedikit pun nggak boleh," gumamnya sambil menatap potongan daging ayam di depannya.

​Tiba-tiba, lampu di dapur berkedip-kedip lalu padam total. Suasana menjadi gelap. Hanya suara hujan yang semakin mengganas menghantam atap seng yang bocor di beberapa titik.

​"Maya! Lampunya mati! Kayaknya ada pohon tumbang kena kabel di depan!" teriak Ibu dari ruang tengah.

​Maya berdiri mematung di tengah kegelapan dapur, memegang pisau yang dingin. Pesanan harus diantar  jam dua belas siang, dan sekarang dia bahkan tidak bisa melihat apa yang sedang dia potong.

1
Ma Em
Semangat Maya semoga masalah yg Maya alami cepat selesai dan usaha kateringnya tambah sukses .
Savana Liora: terimakasih udah mampir ya kk
total 1 replies
macha
kak semangat💪💪
Savana Liora: hi kak. makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!