Sebuah keluarga sederhana yang penuh tawa dan kebahagiaan… hingga suatu hari, semuanya berubah.
Sebuah gigitan dari anjing liar seharusnya bukan hal besar, tapi tanpa mereka sadari, gigitan itu adalah awal dari mimpi buruk yang tak terbayangkan.
Selama enam bulan, semuanya tampak biasa saja sampai sifat sang anak mulai berubah dan menjadi sangat agresif
Apa yang sebenarnya terjadi pada sang anak? Dan penyebab sebenarnya dari perubahan sang anak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryn Aru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Saat Kevano semakin lelah, ia melihat bongkahan tembok yang hancur. Dengan segera dia berlari dan bersembunyi di balik bongkahan bangunan itu. Andini mencoba mengendus-endus bau dari Kevano, dan dia berjalan perlahan kearah puing-puing bangunan.
"Kau takut? Haha aku bahkan tak tertarik dengan tubuh lemah mu itu." Ucap Andini, saat itu pula ia perlahan menaiki bongkahan tembok di mana ia mencium aroma Kevano. "Wanita itu sangat pantas untuk di jadikan inang ku." Lanjutnya. Andini pun melompat ke depan bongkahan itu, tapi yang ia temukan hanyalah jaket yang di kenakan oleh Kevano. "Anak pintar... Anak pintar..." Ucap Andini yang meraih jaket itu. "Dasar... Kau sama saja baj*ng*n nya seperti ayah mu..."
Andini yang masih berada di ruangan putih itu hanya berputar-putar mencari cara keluar dari tempat itu, di sana hanya ada kehampaan dan sesekali memperlihatkan keadaan yang baik-baik saja, layaknya sebuah video yang di putar kembali. 'Apa ini?' Ucapnya, dia mengulang segala kebahagiaan yang pernah ia dapatkan dan bersenang-senang seakan dunia baik-baik saja. Bermain bersama teman nya dengan berjalan kaki ke arah rumah tempatnya berteduh.
'Bahkan jika ini semua hanyalah sebuah mimpi aku tak akan ingin terbangun sampai kapanpun. Tuhan ijinkan aku merasakan keadilan mu sekali lagi.' Senyum itu telah kembali. Senyum yang tak pernah terlihat, senyum yang hanya ada saat bersama keluarga.
Andai saja, itu semua bukanlah sebuah mimpi.
"Andini." Suara yang tak asing, suara yang selalu ingin dia dengar setelah semua kejadian ini, bahkan dia tak pernah berpikir akan mendengar panggilan itu lagi. Ia berlari dengan kencang menuju suara lembut itu.
Seorang wanita cantik yang telah membesarkannya, wanita yang selalu menjadi panutannya, dan dia sekarang berada di ambang pintu dengan senyum manisnya. Wajah itu, wajah cantik yang tak pernah bisa di deskripsi kan. "Mama! Dini pulang!!" Layaknya seorang anak kecil, Andini berlari dengan kencang dengan melambaikan tangannya. Ia memeluk erat sang ibu dan terasa pelukan itu di balas, pelukan hangat yang ia rindukan selama ini. "Dini kangen banget sama Mama." Ucap Andini.
"Mama juga, tapi Dini kan harus kuliah, cita-cita Dini kan mau jadi atlet hebat." Ibu melepas pelukan itu dan memegang pundak sang putri, ia menghapus air mata Andini yang mengalir dan mencium keningnya. "Dini anak Mama, anak yang pintar, anak yang cantik, anak yang hebat, Andini.... Bertahan ya sayang." Kembali terjadi, ibu yang ia sayangi perlahan menghilang. Andini berusaha memeluknya dan menahannya, tetapi tak bisa ia lakukan. Ia terduduk lemas, tatapannya kosong, seakan harapannya telah di permainkan.
'Dini harus apa?'
Kevano menemukan sebatang besi, ia meraih besi itu dan melemparnya dari belakang Andini. Tapi ia tak menyangka, bahwa Andini bisa mengendalikan pertumbuhan kristal di tubuhnya. "*Nj*ng emang." Umpat Kevano. Andini memutar kepalanya melihat kearah Kevano dengan kristal di leher yang perlahan masuk kembali ke dalam tubuhnya.
"Kerja bagus..." Kevano yang melihat itu pun merasa merinding, saat ia akan berlari tiba-tiba Andini melompat ke arah depannya, menghalangi jalan Kevano untuk bersembunyi.
"Tinggi juga lompatan lo Din." Puji Kevano. Ia pun berjalan perlahan kebelakang dan tanpa sengaja terjatuh yang membuat senyuman Andini semakin lebar, Andini mengangkat tangannya bersiap menusuk Kevano.
Kevano dengan cepat menusuk perut Andini saat itu juga, dengan kaca yang ia sembunyikan. "Sebut aja gw rubah." Kevano dengan cepat berdiri dan berlari menjauh saat Andini merasa kesakitan dengan tusukan itu. "Untung aja." Bisik Kevano yang menyadari bahwa kristal itu hanya bisa berpindah-pindah bukan bertambah, dan membutuhkan waktu untuk memindahkan kristal itu.
"Gue gak bisa di sini terus." Kevano berjalan perlahan dan merobek kaos yang ia kenakan, ia mencoba menyebar aromanya agar Andini terkecoh dengan. Andini yang sudah meregenerasi tubuhnya, ia mulai mengendus mencari Kevano, ia merasa aneh karena aroma kevano yang telah menyebar, perlahan ia berjalan kearah puing-puing bangunan yang terdapat aroma Kevano. Kevano yang melihat itu segera berlari pergi menuju tempat Ajeng.
Ajeng yang bersembunyi di balik bangunan hanya bisa menutup mulutnya, ia tak mendengar suara Andini, tapi saat Ajeng berada di sana para zombie memasuki daerah tersebut. Ajeng hanya diam memeluk kakinya, dengan menutup mata dan mulutnya, nafasnya tak beraturan, rasa takut menyelimuti pikirannya.
Saat itu pula, Ajeng mendengar suara napas berat yang mendekat kearahnya, Ajeng yang mendengar itu, menutup mata dan mulutnya dengan rapat dengan jantung yang berdetak sangat kencang karena rasa takut.
"Untung lo selamat!" Kevano memeluk erat tubuh Ajeng yang bergetar. Ajeng pun membuka matanya, melihat Kevano dengan keringat dan napas yang tak beraturan.
"Vano? Vano.." Ajeng membalas pelukan itu dan menangis, ia pikir bahwa Kevano tak selamat, ia takut di tinggalkan oleh nya, ia tak tak memiliki tempat untuk pulang.
Saat itu ternyata Andini telah berjalan kearah Ajeng berlari, ia berjalan perlahan dan mendengar suara tangisan dari Ajeng. Andini berlari kearah suara itu dan menemukan Kevano bersama dengan Ajeng. "Ke...temu..." Kevano dan Ajeng yang mendengar suara itu segera menatap ke asal suara, Kevano yang terkejut dengan segera berdiri, berusaha menyembunyikan Ajeng di balik tubuhnya.
"Apa kau ingin menjadi pahlawan? Mari kita lihat, seberapa lama pahlawan ini akan bertahan." Andini pun berlari dan menyerang Kevano dengan cakarnya, Kevano dengan segera meraih besi yang masih berada di batu, ia dengan sekuat tenaga mengayunkan batu itu hingga kuku kristal Andini hancur berkeping-keping. Terdengar suara teriakan yang nyaring dari Andini, seakan ia merasakan rasa sakit yang amat sakit. Dengan cepat Kevano meraih tangan Ajeng dan menariknya untuk berlari. "Cepet, lari di depan gue!!"
Andini yang melihat mereka berlari pun mengejarnya dengan merangkak, ia berlari secepat citah, dan tak lama ia semakin dekat pada Kevano, saat itu pula ia melompat kearah Kevano agar Kevano terjatuh. Saat itu lah Andini menumbuhkan kembali cakarnya, saat Andini hendak menusuk Kevano, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan tak dapat di gerakkan, seakan ada seseorang yang menahan tangan itu. "Pergi... Gue gak bisa nahan... Ini lama..." Kesadaran Andini mengambil alih tubuhnya kembali, dan saat Kevano tersadar, ia dengan segera berlari dengan Ajeng, meninggalkan Andini yang masih berusaha menahan diri.
Andini melihat Kevano dan Ajeng yang semakin menjauh darinya, ia berusaha keras menahan dirinya hingga hidung dan telinganya mengeluarkan banyak darah.
"Ma, pa... Andini udah... berusaha." Dengan suara terbata-bata ia mulai kehilangan kesadarannya lagi dan hanya melihat kegelapan.
1 bulan berlalu
Di kota seniman bernama Ubudkarta malam hari di sebuah kamar apartemen yang kecil. "\*\*j\*ng emng ni anak klo tidur." Ucap pria yang berusaha memindahkan kaki sang teman yang berada di perutnya. "Woy g\*bl\*k!! Singkir in kaki lo!!" Sang pemilik kaki pun menyingkirkan nya, tapi tangannya sekarang berada di muka pria yang memarahinya. "Mahen \*\*j\*ng!! Gw bunuh lo b\*\*gs\*t!!" Pria itu pun terduduk dan memukul wajah Mahen menggunakan guling yang berada di dekatnya.
"Weh \*\*j\*ng!!" Teriak kaget Mahen, ia pun terduduk di atas kasur. "Salah apa lagi gue cok!!" Lanjutnya, pria itu hanya menatapnya dan memukul kepala Mahen. "Gilang anak b\*b\*. Betubuk kita b\*\*gs\*t!!" Mahen pun membalas pukulan Gilang dan berakhir mereka bertengkar.
Beberapa menit kemudian keduanya kelelahan dan hanya saling mengumpat satu sama lain.
"Gak bisa tidur gue b\*\*gs\*t." Gilang yang sedari tadi mencoba untuk tidur pun bangun dan berjalan ke meja kerjanya, ia melihat kertas dengan gambar wajah sang ayah dan ibu yang belum selesai ia gambar. "Nanti taroh mana yak. Di tangan? Gak gak, peok ntar muka nya." Gilang pun membuka laptop nya dan melihat foto ayahnya,untuk menyelesaikan gambar tersebut.
Mahen yang sedang tertidur dengan pulas di atas ranjang, terbangun saat mendengar kegaduhan dari arah meja kerja temannya. "G*bl*k setan!!" Mahen terlonjak melihat kain putih sedang bergerak-gerak di dekat sana. Saat itu Gilang membuka selimut yang menutupi tubuhnya. "*Nj**g lebih serem lagi!!" Teriak Mahen sembari menunjuk kearah Gilang.
"As*!! Diem lo, gue tadi liat kecoak cok." Gilang berputar-putar mencari serangga yang ia katakan tadi.
"Halah kecoak doang takut lo." Ejek Mahen yang sedari tadi duduk di atas ranjang.
"Gue mau tangkep cok, tadi cuma kaget." Gilang melihat-lihat ke bawah meja dan kursi, tetapi tetap tak menemukannya. Saat ia melihat-lihat kembali di ruangan, dia melihat nya di belakang kepala Mahen. "Hen, lo percaya gw kan?" Mahen yang mendengar nya pun tersenyum tak yakin.
"Apa maksud?" Tanya Mahen pelan karena curiga dengan Gilang.
"Gini bro." Gilang perlahan mendekat kearah Mahen, ia menaiki ranjang tidur dan mengangkat tangannya, Mahen yang melihat itu semakin curiga dan mundur perlahan.
"Lo ngapain cok?!" Gilang hanya diam dan fokus menatap senderan ranjang, ia semakin mendekat, hingga membuat Mahen hampir terjepit di antara ranjang dan Gilang. Mahen dengan segera menendang perut Gilang yang membuatnya terpental jatuh ke bawah ranjang. "G*bl*k! Gay ya lo?!!" Teriak Mahen kencang.
"T*l*l! Belakang pala lo ada kecoak cok!!" Mahen yang mendengar itu pun menoleh ke arah belakang kepalanya dengan ragu, tapi saat dia melihat ke arah belakang, tak ada makhluk coklat itu.
"Gak ada ya **j*ng!! Alesan lo!!" Teriak Mahen. Saat ia akan meraih bantal terasa ada sesuatu yang mengganjal di tangannya.
"Itu kecoak nya!!" Mahen menoleh ke bantal yang ia pegang dan melemparnya lagi, ia segera berdiri dan melompat kearah Gilang, ia berharap bisa menggantung pada tubuh gila g yang tinggi. Tapi realita tak semanis ekspektasi nya, Gilang yang melihat mahen melompat pun segera menyingkir, yang membuat mahen terjatuh.
Mahen yang terjatuh pun segera duduk dan memegang kepalanya. "**J*ng! Kok lo gak nangkep gw?!"
"Mon maap nih, lo pikir gw kiper?" Gilang hanya menatapnya dan malas.
"Gak gitu dong si*l*n!! Aduhh, tangkep aja dah tu kecoak. J*nc*k emang." Mahen mengelus punggungnya dengan meringis. Gilang pun hanya diam dan menangkap kecoak yang berada di kasur
Bersambung....