Bagaimana perasaan kalian jika orang yang kalian cintai, yang selalu kalian jaga malah berjodoh dengan orang lain?
Ini kisah tentang Jean Arsa Anggasta seorang calon CEO muda yang ditinggal nikah oleh kekasihnya. Ia menjadi depresi dan memutuskan untuk tidak mau menikah namun karena budaya keluarganya apabila seorang anak laki-laki sudah berumur 25 tahun maka mereka harus segera menikah. Maka mau tidak mau ia harus menikahi Ashana Daryan Fazaira sepupunya. Seorang gadis yang juga telah dibohongi oleh kekasihnya yang telah berselingkuh dengan sahabatnya.
Lalu apa yang terjadi jika pernikahan tanpa cinta ini dilakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Malam itu, suasana rumah Zarina terasa lebih tegang dari biasanya. Ia baru saja menutup pintu setelah kakaknya, Ruri, tiba dengan koper di tangannya dan ekspresi penuh keyakinan di wajahnya.
Zarina menatap Ruri dengan campuran kaget dan frustasi. Ia tak menyangka kakaknya akan mengambil keputusan sepihak seperti ini.
"Apa?? Kakak mau tinggal di sini sampai hari pernikahan Jean dan Rani? Kakak yang bener aja!" serunya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Namun, Ruri hanya tersenyum santai, seolah tak peduli dengan reaksi adiknya. "Kenapa? Kamu keberatan kalau aku tinggal di sini?" tanyanya dengan nada menantang.
Zarina menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Aku sama sekali nggak keberatan, Kak, tapi masalahnya ada di suamiku. Dia pasti nggak bakal ngizinin! Kakak kan tahu pernikahan Jean dan Rani belum diputuskan," jelasnya dengan nada cemas.
Alih-alih memahami kekhawatiran Zarina, Ruri malah mengangkat bahu dengan santai. "Ah, nggak ada alasan! Pokoknya aku mau tinggal di sini," ucapnya dengan nada keras kepala.
Zarina memijit pelipisnya, merasa kepalanya mulai pusing. "Astaga, Kak… tolonglah jangan kayak gini. Udah cukup Kakak bikin malu aku di depan keluarga," katanya dengan nada hampir putus asa.
Mendengar itu, ekspresi Ruri berubah. Ia menatap Zarina dengan tajam. "Aku bikin malu? Aku cuma mempertahankan harga diriku! Salah, emangnya?" balasnya, merasa tersinggung.
Zarina mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Situasi ini semakin sulit baginya.
"Kak, aku pesenin tiket ya. Kakak pulang aja," bujuknya, mencoba mencari solusi terbaik.
Namun, Ruri hanya menatapnya dengan tatapan menantang. "Pesan aja, aku nggak bakal pulang," ucapnya tegas.
Zarina hampir kehabisan kata-kata. Ia mendesah panjang, menatap langit-langit rumah seolah meminta bantuan Tuhan. "Astaga… Ya Tuhan…" gumamnya pasrah.
Sementara itu, Ruri tampak gembira. Ia sama sekali tak peduli dengan betapa pusingnya Zarina menghadapi situasi ini.
"Gimana cara aku kasih tahu Mas Wira?" Zarina bergumam pada dirinya sendiri. Ia bisa membayangkan bagaimana reaksi suaminya nanti. "Dia pasti kesal banget," lanjutnya dengan nada putus asa.
Namun, Ruri tetap pada pendiriannya. Bagi dirinya, ini bukan sekadar urusan tinggal sementara—ini tentang sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.
***
"Jean maafin sikap mama aku tadi ya, aku tau dia keterlaluan" ucap Raniya.
"Gak usah di bahas"
"Tapi kamu udah maafin mama aku kan?"
"Belum"
"Kok kamu gitu? Itu kan calon mertua kamu"
"Udah yah ran, gue capek banget hari ini. Mau tidur"
"Yaudah deh, selamat malam ya Jean"
Jean hanya mengangguk, ia pun melanjutkan langkah nya naik keatas tangga.
Saat Raniya berbalik ia melihat Zarina berjalan kearahnya dengan cemas.
"Tante kenapa? Kok kayak orang bingung gitu?" Tanya Raniya.
"Ran... Tolong dong bantu bujuk mama kamu, supaya besok pulang"
"Ya ampun Tante kirain apaan, kan mama emang besok mau pulang"
Zarina menggelengkan kepalanya.
"Nggak, mama kamu gak bakal pergi dari sini"
"Maksud Tante? Mama bakal nginap beberapa hari lagi disini?" Tanya Raniya.
"Mama kamu bakal tetap disini sampai hari pernikahan kamu"
"Tante serius??
Zarina mengira Rekasi Raniya akan sama sepertinya namun ternyata diluar dugaan.
"Akhirnya aku bisa menghabiskan waktu yang panjang bareng mama disini"
Zarina langsung memukul kepala keponakannya itu.
"Kamu gila ya? Kalau kayak gini, ini namanya kamu mengundang musibahmu sendiri"
"Tante anggap kakak kandung Tante sendiri itu musibah?"
"Dia bisa aja menghancurkan pernikahan kamu Rani"
"Aku tau mama orangnya nyebelin, tapi aku yakin kok tante. Pasti mereka bisa Nerima mama aku"
"Memang ya susah banget ngomong sama kamu, sekarang kamu aja sendiri yang minta izin sama suami Tante. Supaya mama kamu bisa tinggal disini sampai hari pernikahan mu"
"K..kok jadi a.. aku Tante??"
"Kenapa?? Kicep kan kamu? Belum apa-apa kamu udah kaget gitu"
"Tapi Tante kan istrinya, Tante aja yang minta izin"
"Lohh Ruri kan mama kamu, sebaiknya kamu yang minta izin"
Raniya jadi bingung.
"Rani, bukannya Tante gak senang mama kamu tinggal disini. Tante juga ngerti pasti kamu kangen banget kan sama mama kamu? Tapi tolong kamu fahami sifat mama kamu. Tante juga bisa terancam, ingat apa yang udah mama kamu lakukan hari ini. Kamu denger perkataan Jean tadi? Bahkan dia aja capek dan gak perduli kalau kamu dibawa pergi sama mamamu"
"Jadi aku harsu gimana dong Tante? Aku gak mau pernikahan ku gagal"
"Tolong ya bujuk mama kamu" ucap Zarina seraya menepuk bahu keponakan nya.
"Tante juga akan bantu bicara sama suami Tante, ya mana tau dia ngasih izin dan melupakan semua yang udah terjadi hari ini"
Raniya hanya mengangguk.
"Yaudah kamu ke kamar sana, ini udah malam"
Raniya pun berjalan ke kamarnya. Sedangkan Zarina mendatangi ruangan kerja Wira.
Zarina sedikit takut, namun ia memberanikan diri untuk menemui suaminya. Wanita itu mengetuk pintu itu dengan pelan.
"Mas Wira?"
"Oh Zarina? Masuk!"
Zarina pun masuk dan menghampiri suaminya.
"Mas mau aku buatin kopi?" Tanya Zarina.
"Gak usah, aku lagi gak lembur malam ini" ucap Wira.
"Oh begitu ya"
Wira melihat kecemasan di wajah istrinya, seperti ada hak yang ingin di sampaikan nya.
"Kamu kenapa? Mau ngomong sesuatu?" Tanya Wira.
Zarina menganggukkan kepalanya.
"Bicaralah"
"Ini tentang kak Ruri"
Wira menutup laptopnya dan menyingkirkan barang itu dari hadapannya. Pandangannya kini beralih kepada Istrinya.
"Kenapa dia?" Tanya Wira.
"Kakak maksa mau tinggal disini sampai hari pernikahan Jean dan Raniya tiba"
Wira tak memperlihatkan ekspresi terkejut, wajahnya sangat datar dan serius.
"Aku tau kamu mungkin masih marah karena perkataan dan perlakuan dia yang gak baik di acara makan siang tadi, aku tau dia salah dan kamu berhak marah. Tapi dia memang keras kepala dan sedikit sombong, aku udah berusaha ngelarang tapi dia gak mau dengar"
Wira masih tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Kalau memang mas Wira gak memberikan izin lebih baik mas Wira aja yang ngomong langsung ke kakak aku"
Wira mengangguk paham.
"Kita belum membahas tentang hari pernikahan Jean dan Rani, jadi seumpama pernikahan mereka 2 tahun lagi itu artinya Ruri akan tinggal disini selama 2 tahun begitu?" Tanya Wira
Zarina mengangguk takut.
"Selama dia mematuhi aturan di rumah ini, dan tidak berkelakuan semena-mena aku izinkan dia tinggal disini"
"Mas Wira serius??"
"Iya, sesuai dengan syarat yang aku katakan tadi"
Zarina telrihat bahagia, ia memegang kedua tangan suami nya.
"Makasih banyak mas Wira" ucap Zarina kegirangan"
Wira hanya tersenyum tipis.
Zarina lalu kembali ke kamarnya dan akan memberitahu kakaknya besok pagi.
***
Keesokan harinya Zarina kembali menemui kakaknya, Ruri terlihat sedang berdandan.
"Aku udah bilang sama mas Wira kalau kakak bakalan tinggal disini sampai hari pernikahan Jean dan Rani tiba"
"Terus apa kata suami mu?"
"Dia setuju"
"Nah udah pasti di izinkan dong"
"Tapi ada syaratnya"
Ruri meletakan alat make up nya, ia memandang Zarina dengan tatapan tidak suka.
"Syarat apa?"
"Tolong jaga sikap kakak, kalau kakak berkelakuan sama seperti kemarin. Siap-siap aja mas Wira sendiri yang bakal nyeret kakak keluar dari rumah ini"
Ruri merasa sedikit takut.
"Oh cuman itu? Kirain penting"
"Aku serius kak, aku gak bisa bantu kalau kakak beneran diusir"
"Ah iya iya aku ngerti, kamu pikir aku anak kecil apa? Aku tau"
Zarina pun bergegas pergi ke dapur untuk membantu yang lain menyiapkan sarapan.
Ruri ikut turun dan duduk di meja makan, dia kembali berhadapan dengan Luna.
Bik inem memberikan beberapa potong buah, roti dan susu kepada Luna.
"Makasih bik inem"
Ruri kemudian memanggil bik inem.
"Bik aku mau buah juga tolong di potongin yang sama persis kayak gitu ya"
"Ibu Ruri, bik inem masih ada kerjaan yang lain. Tolong potong sendiri ya" ucap Amira
"Loh loh kok gitu? Gak bisa gitu dong. Seharusnya tamu itu diperlakukan berbeda"
"Maaf Bu Ruri, saya hanya menjalankan perintah pak Wira untuk melayani ibu Luna dengan baik saat masa kehamilan nya" ucap bik inem.
"Kalian ini punya etika memperlakukan tamu gak sih? Aneh tamu di disuruh menyediakan semuanya sendiri" Ruri kesal.
"Gimana nanti nasib Raniya kalau menikah, pasti jadi babu disini. Kasihan Raniya"
Zarina yang berada di dapur segera menghampiri meja makan.
"Kakkk kamu mulai lagi, udah dong masih pagi gak usah buat keributan" kesal Zarina.
"Habisnya pembantu ini gak melayani aku dengan baik" ucap Ruri.
"Maaf Bu Ruri" ucap bik inem.
"Jadi pembantu aja betingkah kamu, kalau aku majikannya udah aku pecat. Mau banget sih orang-orang rumah ini ikutan bantu masak di dapur"
"KAKK" bentak zarina.
Ruri kembali duduk.
"Kakak tuli ya?"
"Apa maksud kamu Zarina?"
"Gak tuli kan? Berarti dengar kan apa yang aku bilang pagi tadi?"
Ruri hanya diam.
"Udah Zarina gapapa" Amira menenangkan Zarina yang sedang emosi.
Mereka kembali ke dapur.
Luna tersenyum licik. "Tamu itu gak usah belagu" bisik Luna.
"Diam kamu"
"Kamu ngelarang saya bicara dirumah saya sendiri? Lebih baik kamu yang tutup mulut" ucap Luna.
Bik inem lalu datang membawa beberapa apel dan pisau untuk Ruri.
"Ini buahnya Bu Ruri"
Ruri menunjukan tatapan sinisnya pada bik inem.
"Bu Ruri bisa gak motong buah apel nya? Oh iya.. kenapa aku pakai tanya segala. Di Swiss juga biasanya motongin buah buat majikan kan?"
Ruri sangat panas, ingin rasanya ia menancapkan pisau itu ke wajah Luna.
Namun ia segera merubah ekspresi wajahnya ketika Wira menghampiri meja makan.
***
"Jean hari ini kamu ada waktu?" Tanya Raniya.
"Sorry gue sibuk banget di kampus" jawab Jean.
"Oh gitu ya"
"Memang kenapa?"
"Oh nggak, aku bosan aja di rumah. Kirain kamu ada waktu"
"Biasanya juga bisa pergi sendiri kan?"
"Tapi kalau sama kamu itu kan rasanya beda, ada yang nemenin, ada yang jagain"
"Itu mama lo nganggur, ajak aja jalan" saran Jean.
Raniya memanyunkan bibirnya.
"Oh iya Jean, di acara pertunangan kita kemarin kamu nggak ngundang Raka ya?" Tanya Raniya.
"Ngundang kok, tapi lewat Shan"
"Oh ya, tapi kenapa kemarin dia gak datang ya?"
"Lo nggak lihat kali"
"Nggak lihat gimana? Orang tamunya juga sedikit"
"Ya nggak tau lah, bukan urusan gue. Emang kenapa Lo tiba-tiba tanya tentang Raka?"
"Ah gapapa, soalnya Shan semalam kayak kecarian gitu"
Ketidakhadiran Raka membuat Rani bertanya-tanya dimana pria itu berada.
Raniya akhirnya mengajak ibunya untuk jalan keluar.
"Sayang kita kerumah sakit bentar ya"
"Kenapa? Mama sakit?" Tanya Raniya.
"Nggak, cuman cek kesehatan aja. Udah beberapa bulan mama gak ngececk kesehatan, karena gak punya uang. Kan sekarang ada kamu yang biayain"
Raniya mengelus tangan ibunya. "Mama kok gak bilang sih kalau gak punya uang? Kan bisa hubungin aku"
"Mama Nggak mau ngerepotin. Eh kamu dikasih uang saku setiap bulan kan sama pak Wira?" Tanya Ruri.
"Iyah ma, dikasih. Om Wira baik banget"
"Wah... Beneran kamu? Emang setiap bulan kamu dikasih berapa?"
"Lima sampai tujuh juta"
"Ih pelit banget si Wira, masa orang kaya ngasih keponakannya segitu doang"
"Ih udah lah ma, mama mulai lagi"
"Iyah iyah maaf, namanya juga hati seorang ibu mana tega mama lihat kamu diperlakukan gak adil sama keluarga Anggasta"
"Pokoknya nanti kalau jadi istri Jean, minta uang bulanan yang banyak. Seharusnya mereka itu bersyukur menikahkan putra mereka sama gadis cantik seperti kamu"
"Mama tenang aja"
Mereka pun sampai dirumah sakit untuk mengecek kesehatan ibunya.
Saat Rani duduk di ruang tunggu ia tidak sengaja melihat Raka sedang membantu Mila berjalan keluar dari sebuah ruangan. Raniya kesal dan menghampiri mereka.
"Apa-apaan kalian?"
Raka dan Mila terkejut, Raka menjauhkan tangannya dari mila.
"Hei ran? Lo ngapain?" Tanya Raka.
"Jawab pertanyaan gue"
"Ran, Raka cuman nganterin gue periksa kandungan doang kok"
"Ohh ya? Gue gak percaya?"
"Beneran ran" ucap Raka.
"Terus kenapa Lo gak datang di acara pertunangan gue kemarin?" Tanya Raniya
"Mila butuh bantuan gue. Gue kan udah bilang sama Lo sampai hari persalinan nanti gue akan nemanin Mila. Setelah itu tugas gue selesai"
"Alah paling nih cewek cuman alasan doang, Lo pura-pura lemah buat nggalangin Raka ketemu Shan kan?"
"Sumpah gue ga ada niatan kaya gitu" ucap Mila
"Ya mana tau kan Lo berubah pikiran? Secara Lo kan suka nusuk dari belakang" kesal Rani.
"Udah lah ran, gue sama Mila ga ada hubungan apa-apa. Demi tuhan gue gak punya perasaan apapun ke dia"
Mila cukup sedih mendengar perkataan Raka.
"Awas ya kalau kalian macam-macam"
Ruri keluar dari ruangan dokter dan menghampiri putrinya.
"Mereka siapa ran?" Tanya Ruri.
"Temen Rani ma"
"Ohh gitu"
"Ayo kita pergi"
Raniya membawa ibunya menjauh dari mereka.
"Jujur sama mama mereka siapa?"
"Teman aku ma"
"Temen tapi kok mama denger kamu marahin mereka?"
Raniya merasa panik dan gelisah.
"Ran kamu sembunyikan sesuatu ya dari mama?"
Raniya akhirnya menangis sejadi-jadinya di dalam mobil.
"Heii kamu kenapa sayang?? Kenapa nangis?? Mereka nyakitin kamu? Ayoo kita balik kerumah sakit. Biar mama labrak mereka"
"Ada hal yang aku takutin"
"Apa?? Apa yang kamu takutkan?"
"Aku takut kalau aku dan Jean batal menikah"
"Itu ga akan pernah terjadi"
***
Malam harinya, Raniya dan Ruri mengunjungi rumah Mila.
Mila kaget ketika mereka menerobos masuk masuk kedalam rumah Mila.
"Ada apa ya kalian kemari?" Tanya Mila.
"Oh jadi kamu yang mau menghancurkan pernikahan putriku?"
Ruri berjalan mendekati Mila.
"Aku?? Ran Lo bilang apa sama nyokap Lo?"
Raniya menangis sejadi-jadinya.
"Wah akting Lo keren juga ya"
"Denger yah jal*ng, kalau sampai pernikahan putriku batal. Aku gak akan segan-segan buat ngeviralin kamu, biar semua orang tau kalau kamu perempuan gak bener yang suka menggoda lelaki diluar sana" ucap Ruri.
"Maksud ibu apa? Asal ibu tau ya, saya udah buat kesepakatan sama anak ibu. Lo gak kasih tau ibu Lo? Gue kan udah janji gak bakal ganggu pernikahan Lo"
"Janji mana cukup!!!!!! Gue gak butuh janji Lo"
"Anjir jadi Lo mau apa?"
"Gugurin kandungan Lo dan pergi jauh dari sini" ucap Raniya seraya menunjuk perut buncit Mila.
"Singkirin jari Lo dari anak gue" Mila menepis jari telunjuk Raniya.
"Tuh kan Lo takut gugurin kandungan Lo kan?"
"Ya jelas lah takut, kalau keguguran dia gak punya alasan lagi buat deketin calon suami sahabatnya sayang"
"Kalian keterlaluan banget ya, gue bakal buktiin janji gue. Gue gak akan ngerusak kebahagiaan Shan"
"Iya tapi dengan cara gugurin kandungan Lo, dengan gitu Raka gak bakal sibuk datangin Lo terus. Dan dia bakal fokus jagain calon istrinya"
"Gak perlu repot-repot ke dokter, ini saya bawa obat buat aborsi, cukup konsumsi ini kamu langsung bisa kehilangan bayi kamu"
Ruri memberi kode pada Raniya untuk memegang tangan Mila. Raniya berjalan ke belakang Mila.
Raniya berhasil memegang kedua Mila dari belakang. Mila memberontak saat Raniya mengikat tangannya dan menjambak rambutnya.
Sedangkan Ruri mengeluarkan beberapa butir obat ke telapak tangannya, dan memegang dagu gadis itu.
"Buka mulutnya sayang" ucap Ruri dengan senyuman licik.
Mila berusaha untuk tetap menutup mulutnya.
"Bandel banget sih gak mau buka mulut" ucap Ruri jengkel.
Raniya menambah kekuatan menjambak rambut Mila, gadis itu meringis kesakitan. Air matanya tiada henti berjatuhan.
Ruri tetap memaksa menyodorkan obat itu ke mulut Mila, bahkan ia menampar gadis itu beberapa kali agar mau membuka mulut.
Darah segar mengalir dari hidung nya.
Mereka tidak peduli dan tetap memaksa Mila untuk membuka mulut sampai ibu Mila pulang dan terkejut melihat mereka menyakiti putri tercinta nya.
"MILAAAA" teriak ibunya.
Wanita paruh baya itu berlari menghampiri putrinya.
Ruri dan Raniya menoleh kebelakang.
Wanita itu mendorong Raniya dan Ruri agar menjauh dari putrinya.
"Apa yang kalian lakukan sama putriku?? Apa salahnya??" Wanita itu menangis dan memeluk putri tercintanya.
"Oh kamu ibu perempuan jalang ini ya? Kasih tau anaknya supaya tau diri ya buk" ucap Ruri.
Mereka pun pergi dari rumah itu.
Endingnya kayak terlalu maksa sih Thor, harus nya buat Ampe ratusan episode Thor... sayang banget Thor 😭 bakal kangen Ama jean and Shan huhuhu /Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/