Apa yang kamu lakukan jika kamu tahu bahwa kau sebenarnya hanya seonggok pena yang ditulis oleh seorang creator, apa yang kau lakukan jika duniamu hanya sebuah kertas dan pena.
inilah kisah Lu San seorang makhluk tertinggi yang menyadari bahwa dia hanyalah sebuah pena yang dikendalikan oleh sang creator.
Dari perjalananya yang awalnya karena bosan karena sendirian hingga dia bisa menembus domain reality bahkan true reality.
seseorang yang mendambakan kebebasan dan kekuatan, tapi apakah Lu San bisa mendapatkan kebebasan dan mencapai true reality yang bahkan sang creator sendiri tidak dapat menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Sang Wanita dan takdir klise
Suasana di kota itu tak jauh berbeda dari dunia immortal lainnya. Hiruk-pikuk pedagang yang menawarkan barang-barang mereka, suara anak-anak kecil yang berlarian, serta aroma makanan yang menggoda tercium di setiap sudut jalan. Semua tampak begitu nyata, begitu hidup. Tapi bagi Lu San, semuanya hanyalah pola yang telah dia lihat jutaan kali sebelumnya.
“Dunia ini... rekaan yang sangat sempurna,” gumamnya, melangkah perlahan di antara kerumunan.
Dia menyesuaikan langkahnya, menghindari takdir yang terasa menjerat di sekitarnya. Dia tahu, setiap pergerakan di dunia ini bisa saja sudah direncanakan oleh sang Creator. Meski begitu, dia tetap memilih untuk berjalan seperti biasa, seolah tak ada yang mengaturnya.
Namun, takdir tetaplah takdir.
Bruggh!
Seseorang menabraknya dari belakang. Sebuah tubuh mungil terpental, terjatuh ke tanah dengan suara pelan. Di tangannya, sebuah gulungan bambu jatuh tergelincir, hampir menggelinding ke selokan sebelum gadis itu dengan cepat menangkapnya.
“Aduh...” Gadis itu meringis, memegang lututnya yang lecet. Namun, tatapannya tetap tegas, matanya bersinar dengan keteguhan yang aneh.
Lu San memandangi gadis itu tanpa berkata-kata. Ini... terlalu klise. Di dunia seperti ini, bertemu seseorang di tengah jalan, lalu melibatkan diri dalam takdir panjang yang rumit, adalah plot yang sudah ia tebak sejak awal.
Dia menghela napas.
“Maaf,” ucap gadis itu buru-buru, membungkuk singkat, lalu bersiap pergi. Tapi Lu San, untuk pertama kalinya, merasa ada sesuatu yang berbeda. Gulungan itu. Dia tidak merasakan energi spiritual, tidak ada pola Dao, bahkan tidak ada aliran karma di dalamnya.
Kosong.
Seolah-olah benda itu... tidak ditulis oleh narasi manapun.
“Sebentar,” ucap Lu San, langkahnya menghalangi gadis itu. “Boleh aku lihat gulungan itu?”
Gadis itu tampak waspada. “Tidak! Ini milikku! Aku harus membawanya ke... ke tempat yang aman!”
Tatapannya keras, tangannya erat menggenggam gulungan bambu itu seolah nyawanya bergantung padanya.
Namun, sebelum Lu San sempat bertanya lebih jauh, angin kencang tiba-tiba bertiup. Langit berubah kelam, awan hitam menggulung seperti pusaran neraka. Suara raungan naga dan teriakan burung gagak bersatu, menciptakan atmosfer mencekam di atas kota.
“Ah, akhirnya muncul,” gumam Lu San pelan, senyumnya tipis.
Beberapa sosok berjubah hitam melayang turun dari langit. Ada tujuh dari mereka, semuanya memancarkan aura pembunuh yang berat. Orang-orang di kota itu langsung panik, berhamburan lari meninggalkan pasar, meninggalkan harta dan dagangan mereka tanpa ragu.
Salah satu pria berjubah maju, wajahnya tertutup, namun suaranya dingin dan penuh kebencian.
“Serahkan gulungan itu, atau kota ini hancur dalam waktu tiga napas.”
Lu San melirik gadis itu. Tubuhnya gemetar, namun dia tidak mundur. Dia mengencangkan pelukannya pada gulungan bambu itu. Meski takut, dia tetap berdiri.
“Kau benar-benar keras kepala,” komentar Lu San santai. “Apa isi gulungan itu sampai orang-orang seperti mereka turun tangan?”
Gadis itu tak menjawab. Napasnya memburu, keringat menetes di pelipisnya.
Sementara itu, ketujuh pria itu mulai bersiap menyerang. Aura pembunuh mereka membentuk pusaran, menekan udara hingga membuat orang-orang tercekik.
Lu San menghela napas malas.
“Ah, ini membosankan.”
Dia mengangkat tangan kanannya pelan. Satu jentikan jari, dan waktu di sekelilingnya berhenti. Bukan hanya gerakan, tetapi eksistensi mereka seperti membeku. Ketujuh pria berjubah hitam itu tiba-tiba membatu, tubuh mereka retak seperti porselen pecah.
Crack!
Dalam sekejap, mereka hancur berkeping-keping, lenyap tanpa sisa, seperti mereka tak pernah ada.
Waktu kembali mengalir normal. Angin berhembus lembut, langit kembali cerah. Orang-orang yang semula berlari panik tiba-tiba tersadar, bingung karena ancaman itu seolah menghilang begitu saja.
Lu San menurunkan tangannya, lalu menatap gadis itu dengan tenang.
“Sekarang, ceritakan siapa kamu dan apa isi gulungan itu.”
Gadis itu gemetar. Matanya membelalak, jelas-jelas baru sadar siapa sebenarnya pria di depannya. Tapi, dia tetap berusaha tenang, menarik napas panjang.
“Namaku... Ling Yue. Aku... pewaris terakhir Klan Penjaga Gerbang.”
“Penjaga Gerbang?” Lu San mengernyit. Nama itu baru pertama kali ia dengar, padahal dia tahu semua garis keturunan yang pernah ada di triliunan semesta.
Ling Yue membuka gulungan bambu perlahan. Tulisan kuno yang aneh mulai muncul. Tidak ada energi, tidak ada aura Dao. Hanya karakter-karakter asing, yang bahkan Lu San tak kenali.
Namun, ada satu kalimat yang langsung menarik perhatiannya.
“Kunci menuju Domain Realitas.”