Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Apa Kita Pernah Bertemu?
Ponsel Aldo bergetar saat pria itu berada di dalam lift menuju lantai dua puluh bangunan hotel itu.
“Selamat pagi, bos.” Ucap pria itu.
“Ada apa?” Sang penelepon melontarkan sebuah tanya.
Aldo menghela nafas pelan. Yang menghubunginya saat ini adalah orang yang ia hubungi beberapa menit lalu ketika melihat kemunculan Marsha.
“Tidak. Hanya ingin menanyakan, apa bos akan datang ke hotel hari ini?” Pria yang masih berstatus lajang itu berdusta. Ia mengurungkan niatnya untuk memberitahu orang yang di panggilnya ‘bos’ itu tentang keberadaan Marsha di hotel ini.
“Sepertinya tidak. Aku harus menghadiri rapat pemegang saham. Dan memeriksa beberapa berkas. Kamu stay saja disana.”
Suara sang penelepon terdengar malas. Dan Aldo menyadari itu. Lima tahun menjadi asisten dan sudah mengenal pria itu sebelumnya, membuat Aldo tahu bagaimana sifat dan sikapnya.
“Baiklah—
“Al, apa belum ada kabar tentang Marsha?”
Ucapan Aldo terpotong oleh pertanyaan sang penelepon.
‘Apa dia memiliki ikatan batin dengan Marsha?’ Monolog Aldo dalam hatinya.
“Belum bos. Aku masih mencari tahu.”
Terdengar helaan nafas frustrasi dari seberang panggilan. Aldo dapat membayangkan apa yang sedang sang atasan lakukan. Pasti sedang duduk bersandar, sembari memijat keningnya.
“Apa aku tidak bisa bertemu dengannya lagi, Al?”
Meski terdengar sangat pelan, namun Aldo dapat mendengarnya.
“Bos. Jika Tuhan mengijinkan, kalian pasti akan di pertemukan kembali.” Ucap Aldo sembari melangkah keluar dari dalam lift.
Ia ingin mengatakan jika Marsha sudah ada disini. Namun, sekali lagi Aldo urungkan. Pria itu tidak mau jika sang atasan langsung datang dan membuat kegaduhan di hotel ini.
“Apa kamu tidak memiliki kalimat lain? Aku sudah bosan mendengarnya sejak lima tahun lalu.”
Aldo berdecak pelan. “Lalu aku harus mengatakan apa?” Ia pun melontarkan pertanyaan balik.
“Sudahlah. Aku harus ke ruangan rapat.”
Panggilan pun terputus. Aldo membuang nafasnya dengan kasar.
“Maafkan aku, Raf. Untuk saat ini, aku belum bisa mengatakan jika aku mengetahui keberadaan Marsha. Setidaknya, sampai aku yakin jika dia benar-benar Marsha.”
Ya. Atasan Aldo adalah Rafael.
Lima tahun lalu, setelah Rafael kembali ke Jakarta dan mencari keberadaan Marsha, Aldo datang meminta maaf. Ia menceritakan apa yang terjadi sehingga Marsha pergi. Dan semenjak saat itu, demi menebus kesalahannya, Aldo pun mengabdikan diri pada Rafael. Menjadi asisten pria itu, sekaligus mencari keberadaan Marsha.
Aldo berjanji, ia yang akan membawa Marsha kembali. Mempertemukan mereka berdua. Sebagai penebusan rasa bersalah, telah membuat hubungan Rafael dan Marsha berakhir.
“Sebenarnya siapa orang ketiga dalam hubungan mereka? Aku atau Sandra?”
Aldo mengedikan bahunya. Ia pun melanjutkan langkah menuju ruangannya.
Sementara itu, di gedung perkantoran Haditama Group, yang lokasi sekitar dua puluh menit dari hotel. Rafael sedang duduk bersandar pada kursi kebesarannya. Persis seperti apa yang di bayangkan Aldo.
Rafael duduk dengan tatapan frustrasi. Ia kemudian membuka laci meja kerjanya. Meraih sebuah bingkai foto berukuran 4R.
“Kamu dimana, sayang?” Ucapnya sembari mengusap gambar wajah gadis berseragam SMA pada bingkai itu. Gadis itu adalah Marsha. Cinta pertamanya.
“Apa kamu tahu, aku begitu merindukan kamu?”
Setitik air mata menetes tepat di atas gambar wajah Marsha.
“Banyak hal yang ingin aku katakan padamu. Aku ingin meminta maaf. Saat ini, kamu pasti sangat membenciku. Maafkan aku, sayang.”
Suara ketukan terdengar dari arah pintu ruang kerjanya. Dengan cepat Rafael menyimpan kembali bingkai foto Marsha itu.
“Pak, ruang meeting sudah siap.” Ucap sang sekretaris, yang merupakan seorang wanita berusia tiga puluh tahun.
“Hmm.”
Rafael pun bergegas meninggalkan ruangannya.
\~\~\~
Sore menjelang.
Mengetahui jam pulang kerja shift pagi akan segera berakhir, Aldo pun bergegas membereskan meja kerjanya. Ia kemudian pergi menuju lobby hotel, dimana para Staff restoran akan melintas.
“Selamat sore, pak Aldo.” Sapa seorang petugas kebersihan yang sedang melakukan pekerjaannya di lobby.
“Hmm. Selamat sore.” Jawab Aldo sembari duduk di salah satu sofa, yang biasanya di gunakan para tamu sembari menunggu giliran check-in.
Menunggu sekitar dua puluh menit, dari arah pintu penghubung—yang terbuat dari kaca, terlihat rombongan pekerja dapur yang tadi pagi ia lihat. Pria muda itu pun bersiap untuk menyapa, sekedar berbasa-basi sebagai perwakilan pemilik hotel yang tidak datang hari ini.
“Selamat sore, pak.” Sapa seorang dari balik meja resepsionis.
Aldo menjawab dengan anggukan kepalanya. Ia berjalan mendekat ke arah pintu penghubung.
“Selamat sore.” Aldo menyapa terlebih dulu. Ia melemparkan senyum termanisnya.
“Selamat sore, pak.” Chef Robby yang menjawab. Sementara, Marsha tengah sibuk dengan ponselnya.
‘Sha. Apa kamu tidak mengenali suaraku?’ Batin Aldo dengan dahi berkerut halus.
“Selamat datang kembali, Chef.” Aldo menjabat tangan Chef Robby. Saat di ruangannya tadi siang, Aldo sudah mencari tahu daftar nama dan jabatan, para pekerja yang datang dari Bali.
“Terimakasih, pak. Saya senang bisa kembali lagi.” Chef Robby membalas jabatan tangan Aldo.
“Dan yang lainnya?”
Kedua senior cook yang ikut bergabung pun memperkenalkan diri.
“Ma—
“Sha.”
Ucapan Aldo terpotong oleh Chef Robby yang terlebih dahulu mengusap lengan gadis itu.
“Ya, Chef.” Gadis itu dengan cepat menyimpan ponselnya kembali.
“Maaf tadi aku mencatat beberapa keperluan yang mau di beli.” Ucapnya kemudian.
Chef Robby menganggukkan kepalanya. “Beliau asisten General Manager disini.” Ucapnya sembari beralih menatap ke arah Aldo.
Pria yang di tatap pun memasang senyum terbaiknya. Ia yakin Marsha akan langsung mengenalinya.
“Saya Marsha, pak.” Ucap gadis itu mengulurkan tangannya.
Senyum Aldo yang semula merekah bak bunga mawar, seketika layu setelah melihat tangan Marsha yang menggantung di udara.
‘Dia tidak mengenaliku? Yang benar saja!?’
“Revaldo.” Jawab pria itu menyebut nama lengkapnya. Dan Marsha hanya menggangguk pelan.
“Semoga kalian betah kerja disini.” Ucap Aldo kemudian. Ia memperhatikan wajah Marsha. Gadis itu terlihat biasa saja. Membuat Aldo semakin yakin jika teman masa kuliahnya itu tidak mengenalinya.
‘Mungkin memang belum saatnya. Aku akan membiarkan kamu bekerja dengan tenang, Sha. Melihat kamu saat ini yang terlihat baik-baik saja, aku sudah sangat senang.’
Mungkin Marsha tidak mengenali dirinya yang kini penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat.
Aldo yang dulu culun, kutu buku, berkacamata tebal dengan gaya rambut yang selalu di sisir rapi dan mengkilap. Kini berubah menjadi pria tampan, dan mempesona tanpa kacamatanya.
“Tentu, pak.” Balas Chef Robby dan yang lainnya tersenyum ramah.
Aldo pun pamit undur diri. Namun, baru akan memutar kakinya, suara Marsha kembali terdengar.
“Maaf, pak. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanya gadis itu penasaran.
Aldo mencebikkan bibirnya. “Entahlah. Mungkin wajah saya yang pasaran.” Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu pun terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya.
Dahi Marsha berkerut halus. Ia merasa tidak asing dengan garis wajah pria yang mengaku bernama Revaldo itu.
‘Mungkin hanya mirip.’ Gadis itu pun mengedikan bahunya.
mungkin itu jg yg membuat banyak orang tidak bisa hidup damai, karena sakit hati harus dibalas dengan sakit hati jg.. 🤦🏻♂️
.
cerita nya bagus, keren 👍
secangkir kopi buat author ☕