Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
PoV Raka
.
.
Aku tidak ingin meninggalkan Gendhis, tetapi aku sadar kalau aku hanyalah seorang karyawan. Aku masih membutuhkan pekerjaan ini karena belum memiliki dana yang cukup untuk membangun sebuah usaha.
"Aku berangkat, Sayang," ucapku sambil mencium kening Gendhis kemudian beralih pada perut Gendhis. "Baik-baik di rumah sama Bunda ya, Nak."
"Iya, Ayah," ucap Gendhis menirukan suara anak kecil.
Aku tersenyum kemudian mengusap kepalanya dengan lembut. "Aku akan langsung pulang begitu pekerjaanku selesai," balasku.
"Jangan lupa mangganya, ya." Gendhis memberikan peringatan padaku. Aku mengangguk kemudian melajukan mobilku dengan perlahan.
Sesampainya di kantor, beberapa orang menyapaku dengan riang. Rekan kerjaku tahu kalau aku memiliki masalah dalam rumah tanggaku hingga aku harus mengajukan cuti. Syukurlah, Gendhis mau memaafkan semua kesalahanku. Aku berjalan menuju ruanganku.
Baru saja aku duduk di kursi, pintu ruanganku diketuk singkat, lalu terbuka tanpa menunggu jawabanku. Clara. Aku langsung menghela napas dalam hati.
"Pak Raka, ini dokumen untuk rapat sore nanti," katanya, meletakkan map tebal di atas meja. Senyum yang terlalu ramah itu jelas-jelas berlebihan, dan aku mulai merasa risih.
"Letakkan saja di sana," jawabku tanpa menatapnya. Fokusku tertuju pada layar komputer, berpura-pura sibuk.
Namun, Clara tidak segera pergi. Aku bisa merasakan dia masih berdiri di depan mejaku. Kutatap dirinya dengan tajam. "Ada apa?"
"Kalau ada yang kurang, Pak, saya bisa bantu memperbaikinya. Oh ya, mungkin nanti kita bisa membahasnya sambil makan siang?" katanya, nada suaranya dibuat semanis mungkin.
Aku mengangkat wajahku, menatapnya dengan datar. "Terima kasih, Clara, tapi saya sudah ada rencana makan siang. Kalau ada revisi, nanti saya kasih tahu."
Ekspresi kecewanya tidak bisa dia sembunyikan, tapi dia tetap tersenyum tipis. "Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu."
Begitu dia keluar, aku memijat pelipisku. Clara dari dulu memang menunjukkan sikap yan tidak bisa. Dia sering mencari alasan untuk masuk ke ruanganku, dan aku mulai merasa muak. Aku tahu niatnya, tapi aku memilih diam. Aku tidak ingin membuat keributan di kantor, tapi sikapnya semakin menguji kesabaranku.
Saat waktu makan siang tiba, aku sedang bersiap keluar untuk bergabung dengan beberapa rekan kerja. Namun, sebelum aku sempat melangkah keluar, pintu ruanganku kembali terbuka. Clara muncul dengan membawa kotak makanan.
"Pak Raka, saya tadi pesan makanan khusus untuk Bapak. Saya pikir mungkin Bapak terlalu sibuk untuk keluar makan, jadi saya bawakan ke sini," katanya dengan nada lembut, matanya berbinar penuh harap.
Aku menarik napas dalam-dalam, menahan diri agar tidak menunjukkan rasa kesal. "Terima kasih, Clara, tapi saya sudah punya rencana makan siang."
Dia tertawa kecil, seolah tidak mendengar penolakanku. "Tapi ini makanan favorit Bapak. Saya yakin Bapak akan suka."
Aku menatapnya tajam, berharap dia menangkap isyarat itu. "Clara, bawa makanan itu kembali. Saya sudah cukup kenyang."
Dia akhirnya mundur dengan langkah berat, ekspresi kecewa terlihat jelas di wajahnya. Begitu dia pergi, aku merasa lega. Namun, rasa mual tiba-tiba menyerangku. Aku tahu ini sindrom couvade lagi—gejala-gejala kehamilan yang aku alami sebagai dampak empati terhadap Gendhis.
Saat aku pulang lebih awal, Gendhis sedang duduk di sofa ruang tamu. Wajahnya terlihat lelah, tapi dia tersenyum manis saat melihatku masuk.
"Kamu sudah pulang?" tanyanya.
Aku mendekatinya, mencium keningnya lembut. "Iya, aku langsung pulang. Gimana kabarmu? Apa hari ini kamu lelah?"
Dia mengangguk pelan. "Sedikit. Tapi aku sudah istirahat kok. Kamu bawa mangga mudanya, kan?" tanyanya penuh harap.
Aku tersenyum kecil melihatnya begitu antusias. "Tentu. Ayo kita makan bersama. Aku juga ingin merasakan mangga muda ini," jawabku sambil menunjukkan kantong belanjaan.
"Ehm...rasanya enak banget, Mas. Kamu harus nyobain," tukas Gendhis langsung mengupas dan memotong buah mangga itu.
Aku menelan saliva ketika melihat mangga muda yang kelihatan sangat masam. Aku coba menggigit buah itu, tetapi rasanya benar-benar asam. Aku tidak sanggup memakannya.
"Jangan makan banyak-banyak. Aku tidak ingin kamu sakit perut," ujarku.
"Tapi, ini enak. Mas pasti tidak mengerti. Kan Mas tidak hamil!"
Aku tidak menanggapi ucapannya, kusematkan helaian rambutnya pada telinganya. Aku mengusap kepala Gendhis dengan lembut, merasakan kehangatan yang selalu membuatku tenang. Aku tidak akan membiarkan apa pun, termasuk Clara, mengganggu kebahagiaan kami.
***
Pagi berikutnya di kantor, Clara kembali datang ke ruanganku tanpa mengetuk. Aku mulai kehilangan kesabaran. Sikapnya benar-benar membuatku tidak bisa mentolerir kelakuannya.
"Clara, lain kali, tolong ketuk dulu sebelum masuk," tegurku.
Dia terlihat sedikit terkejut, tapi tetap tersenyum. "Maaf, Pak. Saya hanya ingin menyerahkan laporan ini langsung ke Bapak."
Aku melirik dokumen yang dia bawa. Sejujurnya, itu bisa dia kirim lewat email, tapi dia selalu mencari alasan untuk datang ke ruanganku.
"Letakkan di meja, saya akan memeriksanya nanti," kataku singkat.
Dia menuruti perintahku, tapi sebelum keluar, dia berbalik dan berkata, "Pak Raka, saya berharap Bapak bisa lebih santai. Saya cuma ingin membantu."
Aku tidak menjawab. Begitu dia keluar, aku kembali memijat pelipisku. Aku tahu aku harus mengambil tindakan tegas, tapi aku juga tidak ingin menciptakan masalah besar di kantor.
Selang berapa lama, aku sedang merapikan dokumen di mejaku ketika Clara kembali masuk tanpa mengetuk. Kali ini, wajahnya terlihat lebih serius, tapi aku tidak peduli.
"Pak Raka, saya mau memastikan tentang meeting besok pagi," katanya sambil berjalan mendekat.
Aku menatapnya dengan dingin. "Semua sudah ada di agenda. Kalau ada perubahan, saya akan beri tahu."
Namun, sebelum dia sempat menjawab, aku merasakan mual yang hebat. Perutku terasa melilit, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisku.
"Pak Raka, Anda baik-baik saja?" tanya Clara, mendekat dengan ekspresi khawatir.
Aku mengangkat tangan, memberi isyarat agar dia menjauh. "Keluar, Clara," kataku dengan suara yang nyaris bergetar.
Dia terlihat bingung, tapi aku tidak peduli. Aku segera berlari ke kamar mandi di belakang ruanganku, meninggalkannya berdiri di sana.
Di dalam kamar mandi, aku berpegangan pada wastafel, mencoba menenangkan diri. Wajahku terlihat pucat di cermin, dan aku tahu ini lebih dari sekadar mual biasa. Aku tidak ingin mengakui bahwa kehadiran Clara memicu gejala ini.
"Pak, Anda baik-baik saja?" tanya Clara yang ternyata mendekatiku.
Aku menggeleng kemudian kembali mengusirnya. "Pergilah, aku mual ketika kamu berada di dekatku!" jawabku membuatnya terkejut.
Kuraih ponsel yang ada di saku celanaku. Aku menghubungi Gendhis. Entah mengapa aku sangat merindukan istriku itu.
"Halo, ada apa, Mas?" tanya Gendhis ketika mengangkat panggilanku.
"Sayang, datanglah ke kantor, aku butuh kamu," jawabku kemudian kembali memuntahkan semua isi perutku.
"Sudah kukatakan pergi!" Aku membentak Clara yang masih keras kepala ingin membantuku.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..