Aku masih ingat tangisan, tawa dan senyum pertamanya. Aku juga masih ingat langkah pertamanya. Saat dia menari untuk pertama kali. Saat dia menangis karena tidak bisa juara kelas. Aku masih ingat semuanya.
Dan sekarang, semua kebahagiaan itu telah direngkuh paksa dariku.
Aku tidak memiliki apa-apa selain dia
Dialah alasanku untuk hidup sampai sekarang.
Tidak bolehkah aku menghukum perampas kebahagiaanku?
Ini adalah novel diluar percintaan pertama penulis, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena Prasetyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
"Apa yang terjadi?"
"Kami tidak tahu Pak. Tadi Fahim lagi senang-senang, terus tiba-tiba jatuh dan kaku"
Kepala sekolah menggoyang-goyangkan tubuh putranya dan tidak mendapat respon sama sekali.
"Ambulance ... Ambulance!!!" teriak kepala sekolah panik.
"Sudah kita panggil pak, tapi belum datang juga"
"Mobil ... Mobil!!!!"
Kepala sekolah merogoh kunci di kantung celananya dan melempar kunci pada guru yang berdiri disana.
"Aduhhh" keluh guru yang terkena lemparan kunci di kepalanya.
"Cepat!!! Mobil!!!"
Merasa ikut panik, guru itu segera berlari ke mobil kepala sekolah dan menyalakannya. Murid dan guru yang lain mengangkat tubuh Fahim ke mobil ayahnya dan tak lama mereka semua berangkat ke rumah sakit.
"Fahim bangun!!! Kamu kenapa??" teriak kepala sekolah sepanjang jalan ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Fahim segera masuk ke dalam Unit Gawat Darurat. Tapi tak lama, dokter yang menerima Fahim keluar dan menemui kepala sekolah.
"Mohon maaf Pak. Tapi Nak Fahim sudah ... Meninggal"
"Apa??!!"
Kepala sekolah yang sombong itu akhirnya jatuh tersungkur di depan ruang UGD, menyembah San memohon dokter agar memeriksa putranya kembali. Memastikan kalau putranya memang benar meninggal. Tapi para dokter tidak bisa melakukan apa-apa.
"Kenapa anak saya bisa meninggal? Kenapa??" ratap kepala sekolah
"Saya sudah memeriksa tubuhnya. Dia terkena serangan alergi yang cukup parah. Membuatnya shock dan henti jantung. Seandainya saja penanganan awalnya bisa lebih cepat, mungkin ... "
"Tidak!!! Tidak!!! Tidak!!"
Berbekal apa yang dikatakan dokter, kepala sekolah yang penuh dengan derita dan amarah itu mulai memukul para guru dan murid yang berada di hadapannya. Padahal guru dan murid yang ada disana telah membantunya membawa Fahim ke rumah sakit.
Tanpa peduli apapun, kepala sekolah terus menampar guru dan murid. Menyalahkan mereka atas kematian putranya yang mendadak.
"Kalian!! Bodoh!!! Bodoh!!!! Anakku. Kalau saja kalian tidak bodoh, anakku pasti masih hidup. Dasar bodoh!!!" umpatnya terus membuat para guru dan murid yang ada disana diam saja. Ingin protes tapi kasihan. Jadi mereka menerima saja apa yang dituduhkan oleh kepala sekolah.
Ratna pulang ke rumah, membakar botol plastik juga sarung tangan yang tadi dia gunakan.
Tak lama grup sekolah yang masih ada di ponselnya ramai membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi di sekolah. Mereka semua merasa sangat terkejut dengan apa yang terjadi pada Fahim, anak sang kepala sekolah. Bahkan menggugah foto saat anak biadab itu terbaring kaku di tengah lapangan.
"Apa kau merasa kesakitan? Apa kau merasa ketakutan? Apa kau tahu, kalau Tia juga merasakan hal yang sama karena apa yang kau lakukan? Kau menyeret putriku masuk ke dalam mobil. Membuat kedua temanmu bisa menyiksa putriku tanpa ampun!!!" kata Ratna penuh emosi.
"Sekarang, kau bisa bertanggung jawab atas apa yang kau lakukan! Dan orang tuamu yang angkuh itu. Akan merasakan apa yang kurasakan!" lanjutnya dengan pandangan mata kosong.
Ratna masuk ke dalam kamarnya, menyeret sesuatu yang ada di bawah ranjang lalu memberi tanda silang pada salah satu kertas.
"Dua lagi ... Dua lagi" gumamnya lalu pergi ke kamar putrinya. Dia melihat semua foto Tia dan kemudian tidur disana.
Ratna terbangun karena suara ketukan di pintu depan. Dia berjalan pelan ke arah pintu dan membukanya. Tidak dia kira yang berdiri di depan pintu adalah tiga orang berseragam coklat.
"Selamat malam Bu ... Ratna Irawati"
Ratna merapatkan cardigan yang dipakai, melihat semua wajah yang tampak serius di depannya.
"Iya. Ada apa ya Pak?" tanyanya
"Boleh kami masuk ke dalam?" tanya tiga orang berseragam coklat itu lalu masuk ke dalam rumah Ratna tanpa menunggu ijinnya.
Karena tidak merasa menerima ketiga orang itu ke dalam rumah, Ratna langsung duduk di sofa.
"Ada apa ya Pak? Kenapa ke rumah saya malam-malam begini?" tanyanya.
"Kami ingin bertanya sesuatu" kata salah satu polisi lalu melihat ke rekan-rekannya sebelum melanjutkan.
"Apa Bu Ratna mengenal anak bernama Fahim Aruman Ilmi?"
Ternyata kedatangan ketiga polisi ini untuk menanyakan masalah anak itu.
"Fahim Aruman Ilmi?"
"Dia adalah putra dari kepala sekolah SMA 67"
Ratna berpura-pura terkejut.
"Ohhh, putra kepala sekolah? Saya tahu kalau kepala sekolah memiliki anak yang bersekolah di SMA 67. Tapi tidak pernah mengenal anaknya"
"Fahim adalah kakak kelas putri ibu"
"Mendiang putri saya?" tegas Ratna berusaha menyadarkan ketiga polisi ini kalau putrinya sudah meninggal.
"Maaf, maksud kami mendiang putri Anda"
"Teman satu tingkat dengan Tia saja, saya tidak kenal semuanya. Apalagi kakak kelasnya. Terutama anak kepala sekolah. Saya hanya wali murid biasa dan tidak terlalu kaya sampai bisa mengenal putra kepala sekolah secara pribadi"
"Apa yang Anda katakan benar?"
"Kenapa Anda datang kesini dan bertanya seperti itu? Memangnya apa urusan anak kepala sekolah dengan saya?" tanyanya ketus.
Ketiga polisi itu saling memandang satu sama lain lalu melihat ke arah Ratna.
"Putra kepala sekolah meninggal siang ini"
Ratna langsung bereaksi terkejut mendengar kabar itu.
"Benarkah?"
"Karena itu kami datang kemari"
Ratna merasa sedang dicurigai oleh ketiga polisi yang masuk tanpa diundang ke rumahnya itu. Padahal saat dia bertanya tentang kematian Tia. Semua polisi kompak mengatakan tidak tahu. Bahkan semua polisi itu menyembunyikan pelaku sebenarnya, kecuali Bu Galih. Lalu secara sepihak memutuskan kalau kasus putrinya tidak perlu diusut lagi karena dianggap kekerasan dalam sekolah.
"Apa urusannya saya dengan masalah ini? Kasus putri saya saja tidak diselidiki secara tuntas" jawabnya tidak lagi menyembunyikan rasa kesal.
Salah satu polisi berdiri dan memberi aba-aba pada dua temannya untuk segera pergi dari rumah Ratna.
"Baiklah Bu Ratna. Maaf kami mengganggu waktu istirahat Anda"
"Bagaimana dengan kasus putri saya? Apa kasus putri saya tidak ditinjau ulang?"
"Sebaiknya Bu Ratna menanyakan hal ini ke kantor polisi. Kami tidak dapat memberikan informasi apapun"
Ketiga polisi itu pergi begitu saja dari rumah Ratna. Dia sangat marah pada institusi keamanan negara itu.
Untuk orang yang memiliki uang dan kuasa, maka kasusnya akan dianggap penting. Sedangkan untuk warga biasa sepertinya, keadilan hanyalah sebuah impian indah yang tak akan pernah terwujud.
Padahal Ratna juga ikut membayar pajak untuk memberikan gaji pada aparat berseragam coklat itu.
"Kalian akan membayar semuanya. Aku akan memastikan kalian tidak akan pernah menemukan apapun!" kata Ratna dalam hati lalu menutup pintu dan menguncinya.