Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4 - Kafilah Cinta
~💠💠💠~
Miska melangkah cepat di trotoar, angin pagi menerpa wajahnya yang masih kesal. Ia tidak menuju sekolah, melainkan ke tempat yang lebih menenangkan pikirannya yaitu rumah sahabatnya yang bernama Rina.
Rina merupakan salah satu sahabatnya yang bisa di andalkan. Namun, ia tidak melanjutkan sekolah karena masalah biaya dan hanya lulus sampai jenjang SMP.
Rumah Rina tidak jauh dari sekolah, sebuah rumah sederhana yang selalu terasa lebih hangat daripada rumahnya sendiri. Begitu tiba di depan pagar, Miska langsung mengetuk pintu tanpa ragu.
Tok tok tok!!!
Tak lama kemudian, Rina muncul dengan wajah yang mengantuk. "Miska? Pagi-pagi gini?," tanyanya heran.
"Huh!," dengus Miska sambil melepas tasnya dan melemparkannya ke sofa di ruang tamu. "Gue lagi nggak pengen ke sekolah."
"Huaaaammm!." Rina menguap lalu duduk di sebelahnya. "Kenapa lagi? Berantem sama nyokap bokap lo?," tanyanya.
"Ck!." Miska mendecak kesal. "Bukan cuma berantem. Mereka mau masukin gue ke pesantren," seru Miska.
"Hah? Serius? Lo bercanda, kan?," tanya Rina dengan mata yang melebar saking terkejutnya.
"Mana mungkin gue becanda soal ini? Gue bukan anak alim kayak sepupu-sepupu gue. Gue nggak cocok di tempat kayak gitu," ujar Miska.
"Terus, lo mau ngapain sekarang?."
Miska mengangkat bahunya dan diam sejenak.
"Gue belum tahu. Yang jelas, gue nggak mau nurut gitu aja," tolaknya.
***
Sementara itu, di rumah, Umi Farida duduk di ruang tamu dengan wajah gelisah. Sudah hampir jam masuk sekolah, tapi sekolah Miska baru saja menghubungi bahwa putrinya tidak masuk.
Abi Rasyid yang baru selesai menelepon, menatap istrinya dengan rahang mengatup lalu berkata, "Dia nggak ke sekolah, Mi."
Umi Farida langsung memegangi dadanya, napasnya terasa sesak lalu berkata, "Ya Allah… Kalau bukan ke sekolah, dia ke mana?."
"Sudah cukup. Dia sudah terlalu jauh," seru Abi Rasyid. Lalu, ia segera mengambil kunci mobil dan berdiri.
"Abi mau ke mana?," tanya Umi Farida panik.
"Mencari anak kita sebelum dia semakin kelewatan," tegasnya.
***
Sementara itu di rumah Rina, Miska masih bersantai di sofa, seolah menikmati kebebasan yang sebentar lagi akan direnggut darinya.
Tapi kebebasan itu tak berlangsung lama.
Tiba-tiba, suara ketukan keras di pintu membuat mereka berdua terlonjak kaget.
Tok!
Tok!
Tok!
"Siapa sih pagi-pagi gini," ujar Rina seraya menoleh dengan wajah bingung.
Pintu pun terbuka, dan di sana, berdiri Abi Rasyid dengan wajah dingin dan rahang yang mengatup hingga jantung Miska pun mencelos saat melihatnya.
"Pulang. Sekarang," seru Abi Rasyid.
**
Suasana di rumah Rina seketika berubah tegang. Pintu yang tadinya menjadi batas nyaman kini terasa seperti pintu gerbang menuju kehancuran bagi Miska.
GLEK!!
Miska menelan ludahnya dengan kasar, jantungnya berdetak kencang melihat sosok ayahnya yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang tidak bisa ditawar.
Abi Rasyid mengenakan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu yang digulung hingga siku. Matanya tajam, napasnya dalam, seakan menahan emosi yang sudah berada di batas kesabarannya.
"Miska, pulang," seru Abi Rasyid.
Hanya dua kata, tapi terasa seperti palu godam yang menghantam kepala Miska, sang anak pemberontak.
Adapun Rina yang berdiri di samping Miska, ia juga ikut menegang. Ia tidak pernah melihat ayah Miska semarah ini.
"Om… ini nggak seperti yang Om pikirkan… Miska cuma…"
Abi Rasyid melirik Rina sekilas, ia tidak marah padanya, tapi jelas tidak ingin mendengar alasan apa pun.
"Ini bukan urusan kamu, Rina."
Rina pun langsung diam.
Sementara itu, Miska yang sejak tadi terjebak dalam pikirannya sendiri, akhirnya bersuara. "Aku nggak mau pulang."
"Jadi kamu mau ke mana?," tanya Abi Rasyid seraya menatap putrinya dengan sorot mata yang dingin.
"Aku nggak tahu. Yang jelas bukan pulang."
Abi Rasyid mengelus dadanya, lalu menurunkan nada suaranya sedikit. "Miska, cukup. Jangan tambah masalah lagi. Kita bicara di rumah."
Tapi Miska tetap bergeming.
"Kita bisa bicara di sini," ujarnya.
Akhirnya, Abi Rasyid melangkah masuk. Begitu dekat, Miska bisa mencium aroma parfum Abi nya yang khas, yang biasanya menenangkan, tapi kali ini justru terasa menakutkan.
"Ini bukan permintaan, Miska. Ini perintah," lanjut Abi Rasyid.
Tidak ingin berdebat lebih lama. Dengan gerakan cepat, Abi Rasyid meraih tangan putrinya sambil berseru, "Ayo."
Miska terkejut dan langsung berusaha menarik tangannya. "Lepasin aku, Bi!."
Melihat situasi itu, Rina pun semakin panik. "Om… tolong jangan dipaksa…"
Namun, Abi Rasyid tetap tidak melepaskan genggamannya.
"Miska, Abi sudah cukup bersabar. Jangan membuat semuanya jadi lebih sulit."
Miska mencoba memberontak, tapi semua usahanya sia-sia karena ayahnya jauh lebih kuat darinya.
Sementara itu, Rina hanya bisa melihat sahabatnya ditarik keluar rumah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Klek!
Miska mendengar pintu mobil terbuka, dan sebelum ia sempat melakukan apa pun, ia sudah didorong masuk ke kursi penumpang.
"Duduk. Jangan coba-coba keluar," perintah Abi Rasyid dengan suara yang berat.
Miska ingin melawan, ingin membuka pintu dan berlari, tapi tatapan ayahnya membuatnya membeku.
Pintu pun ditutup, mesin mobil dinyalakan, dan mobil melaju keluar dari halaman rumah Rina.
Di dalam mobil, suasana sangat tegang.
Miska menyilangkan tangan di dadanya, sambil menatap ke luar jendela dengan rahang yang mengatup.
Sementara, Abi Rasyid menyetir dengan ekspresi datar, tapi tangannya menggenggam kemudi dengan erat.
Beberapa menit telah berlalu dan keduanya pun hanya saling berdiam diri. Yang terdengar, hanya suara mesin mobil yang menderu pelan.
Tiba-tiba, Abi Rasyid berbicara tanpa menoleh. "Kamu tahu kenapa Abi sampai seperti ini?," tanyanya.
Namun Miska tidak menjawab dan hanya membuang wajah.
"Karena kamu sudah melewati batas," lanjut Abi Rasyid.
Kali ini Miska menoleh dan menatap punggung ayahnya. "Aku cuma butuh waktu, Bi. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa kalian atur sesuka hati," ujar Miska.
"Kalau kamu memang sudah cukup dewasa, kamu harusnya tahu mana yang benar dan mana yang salah," balas Abi Rasyid dan Miska pun terdiam.
Mobil mereka terus melaju, tapi arah yang diambil ayahnya bukanlah menuju rumah.
Saat ini, Miska mulai merasa tidak nyaman lalu bertanya, "Kita ke mana?."
"Ke tempat yang seharusnya kamu datangi dari dulu," jawab Abi Rasyid dengan tetap fokus pada jalan.
Miska pun langsung merasakan firasat buruk.
Dan setelah beberapa saat perjalanan, ketika akhirnya mobil berhenti, firasat itu terbukti benar.
Di depannya berdiri sebuah gedung besar dengan gerbang tinggi dan tulisan yang membuat perutnya mencelos.
"Pondok Pesantren An-Nur."
Miska menoleh ke ayahnya dengan ekspresi tidak percaya lalu memprotes, "Kita sudah sepakat kalau aku akan masuk pesantren mulai semester depan, kan?!."
"Tidak ada lagi nanti, Miska. Kamu masuk hari ini."
"TIDAK!"
BERSAMBUNG...