Ini tentang sebuah perselisihan dua puluh Tahun lalu antara Atmaja dan Biantara
Mereka berperang pertumpuhan darah pada saat itu. Atmaja kalah dengan Biantara, sehingga buat Atmaja tak terima dengan kekalahannya dan berjanji akan kembali membuat mereka hancur, sehancur-hancurnya
Hingga sampai pada waktunya, Atmaja berhasil meraih impiannya, berhasil membawa pergi cucu pertama Biantara yang mampu membuat mereka berantakan.
Lalu, bagaimana nasib bayi malang yang baru lahir dan tak bersalah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skyl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 12 - Menantu dan ibu mertua
Pharita menatap sedih mereka yang akan pulang ke mansion. Padahal baru saja dia ingin mendekatkan diri dengan Aruna, berharap dia dan Aruna menjadi menantu dan ibu mertua yang akrab.
Namun, mungkin belum saatnya. Aruna tidak bisa dipaksa, seperti ucapan Kaivan gadis itu akan mengamuk.
"Mama kami pergi, ya." Kaivan mencium kening mamanya.
Aruna menatap mereka pergantian.
"Mama Una pergi, ya!" Walaupun tidak mengerti, Aruna tetap mengikut perkataan Kaivan.
Mereka terkekeh melihat tingkah Aruna, sangat menggemaskan. Pantas saja putranya ini kepicut dengan Aruna.
"Iya sayang, hati-hati di jalan ya. Kapan-kapan kalian ke sini lagi. Aruna kapan-kapan main sama mama, ya?"
"Emang mama punya banyak mainan?" tanya Aruna.
Pharita menatap putranya, Kaivan mengangguk saja.
"Banyak, jadi kalau Aruna bosan di mansion. Aruna boleh minta mas Kaivannya Aruna bawa Aruna ke sini."
"Mas Kaivan itu siapa, mama?" tanya Aruna lagi.
"Itu." Pharita menunjuk Kaivan yang berada di samping Aruna.
"Heumm, ini monster bukan mas Kaivan," ucap Aruna.
"Sudah-sudah, saya mau berangkat ke kantor nanti lagi aja lanjutin ngobrolnya, tadi banyak waktu kalian diam-diaman."
"Bye-bye." Pharita melambaikan tangannya saat mereka berdua sudah berada di atas mobil.
"Bye-bye mama." Aruna ikut melambaikan tangannya.
Wah ternyata calon menantunya tipe orang gampang akrab. Pharita sangat suka, jadi tidak perlu ada jaim-jaim lagi.
Mobil yang dikendarai Kaivan pun keluar dari gerbang rumah mewah tersebut.
...----------------...
"Kamu baik-baik di rumah, ya. Jangan hamburin barang-barang lagi, nurut sama bibi, jangan bandel," peringat Kaivan seperti memperingati anaknya.
"Iya monster, Una dengar. Dari tadi monster bicara terus."
"Saya ngasih tau Aruna." Kaivan menghela napas panjang, melihat Aruna yang sama sekali tidak memperhatikannya, gadis itu fokus main dengan benda baru dia pegang, bendanya adalah ponsel. Aruna penasaran dengan benda satu ini jadi meminta pada Kaivan untuk diberi ponsel.
Hanya dengan membolak-balikan layar membuat dunia Aruna teralihkan, terlihat asik di ponsel yang diberikan Kaivan dengan keadaan tengkurap di ranjang membelakangi Kaivan yang terus mengomel.
Kaivan berdecak pelan, tak suka jika ponsel itu merebut perhatian Aruna.
"Aruna, bisa tidak berbalik ke arah saya dulu. Simpan ponsel itu."
"Ih Monster, monster katanya mau pergi yaudah pergi aja. Una kan udah janji enggak bakal ngamuk lagi."
"Tapi saya enggak suka kalau kamu memperhatikan ponsel itu, kamu mengabaikanku!" ucap Kaivan dengan nada ketus.
Astaga! Apakah pria matang ini sudah mulai cemburu? Tapi kenapa cemburunya pada benda mati.
Aruna mengubah posisinya jadi duduk, dia menyimpan ponsel itu di ranjang lalu menghampiri Kaivan.
"Una minta maaf sama monster." Aruna memeluk Kaivan dari depan.
"Enggak di maafin, main aja sama ponsel kamu itu. Enggak usah peduliin saya, saya mau keluar, mau kerja."
"Monster marahnya lucu." Aruna tertawa membuat hati Kaivan semakin kesal bercampur gemas.
"Saya serius Aruna."
"Una juga serius," jawab balik Aruna.
Kaivan benar-benar dilema dengan Aruna. Ingin marah tetapi gadisnya ini sangat menggemaskan.
"Jangan main ponsel mulu, kamu sudah janji bakal ngerjain tugas yang saya berikan."
"Itu susah, Una enggak pintar."
"Pokoknya Aruna harus belajar, salah atau enggak nanti saya periksa pas pulang kerja, jadi enggak ada alasan lagi!"
Kaivan juga melatih Aruna dengan menulis, membaca, menghafal huruf abcd.
"Saya pergi ya." Kaivan mencium kening Aruna agak lama.
"Iya," jawab Aruna.
"Saya bawa ponsel ini, biar kamu fokus belajar jangan main ponsel. Kalau tugasnya belum selesai kamu tidak boleh menyentuhnya."
Aruna mengerucutkan bibirnya ke depan.
"Jangan merayu." Kaivan mengacak rambut Aruna lalu berjalan keluar dari kamar. Aruna mengikutinya dari belakang.
"Temani dia belajar, ajari dia jika dia tidak paham dengan soal yang saya berikan," pinta Kaivan pada pelayan yang akan mengurus Aruna.
"Baik, Tuan."
"Aruna kamu kalau enggak ngerti sama tugas saya berikan, tanya pada bibi."
Aruna menongolkan kepalanya di belakang tubuh Kaivan. Pelayan mengira Tuan mereka sendiri, ternyata ada anomali yang tersembunyi di belakangnya.
"Siap." Aruna hormat membuat mereka semua terkekeh tak kecuali Kaivan, tetapi lelaki itu harus menjaga image di depan para pelayan di mansionnya, harus arogan.
"Bye-bye, monster muah...." Aruna memberikan ciuman jarak jauh kepada Kaivan.
Kaivan hanya geleng-geleng kepala, di mana gadis itu belajar jadi centil seperti ini? Ingin rasanya Kaivan membawanya ke kantor, agar bisa melihat kecentilannya setiap menitnya.
Kepergian Kaivan, Aruna mulai mengerjakan tugas yang Kaivan berikan di temani dengan satu pelayan.
"Bibi Una enggak bisa." Aruna susah untuk menulis huruf, bentuknya tidak ada yang benar.
"Enggak apa-apa Nyonya, ini udah bagus kok. Nanti juga Nyonya bakal pintar, oke."
"Tapi kalau monster marah gimana?"
"Tuan tidak mungkin marah sama Nyonya, Tuan sayang sama Nyonya."
"Oke Una bakal belajar lagi biar monster senang, iyakan bibi?"
"Iya Nyonya."
"Nyonya pakai pensilnya jangan kaya gitu." Pelayan tersebut membenarkan posisi pensil di tangan Aruna. "Posisinya begini, biar Nyonya enggak kesulitan dan tulisan Nyonya agak bagus."
"Wah, makasih bibi." Aruna berterima kasih lalu kembali fokus menulis huruf di buku yang sudah Kaivan berikan.
Selang beberapa jam kemudian, Aruna tertidur. Sang pelayan yang melihat itu pun bingung cara memindahkan kekasih Tuannya tersebut ke kasur, takut tidur dengan duduk dengan kepala berada di atas meja membuat Aruna merasa tak nyaman. Namun, masalahnya dia tidak bisa mengangkat Aruna sendirian, meminta kepada bodyguard, takut Tuannya marah jika Aruna dipegang oleh pria lain.
Enggak ada pilihan selain ini. Fani mengambil bantal di ranjang menarohnya di karpet, tepat di samping Aruna.
Dengan pelan dan hati-hati, Fani merebahkan badan Aruna ke bantal tersebut.
Fani beralih mengambil selimut lalu menyelimuti tubuh Aruna. Setelahnya membereskan tempat belajarnya.
Nanti jika Aruna masih tidur dan Tuannya pulang, Fani akan menjawab Aruna tertidur, terpaksa dirinya menidurkan Aruna di sana. Tak apa Tuannya memang terlihat Arogan, tapi beliau baik.
Memastikan semuanya baik, Fani keluar dari kamar terlebih dahulu untuk menyuruh pelayan untuk menjaga Aruna di dalam kamar, dia kebelet ingin BAB.
"Pastikan Nyonya tidak terganggu tidurnya, kelihatannya dia begitu lelah belajar."
"Iya, mbak ke kamar mandi aja cepat keburu pup di sini."
Fani pun cepat ke kamar mandi yang ada di dapur. Pelayan yang disuruh menjaga Aruna pun menuju kamar.
Disisi lain, tepatnya di kantor Kaivan. Kaivan memutuskan untuk bekerja sama dengan Biantara Group.
"Saya akan menghubungi asisten pak Calvin tentang keputusan anda, pak." Rio membungkuk sedikit lalu keluar dari ruangan bosnya tersebut.