Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Weekend Araya
...****************...
Pagi hari weekend yang cerah ini, satu keluarga di mansion mewah itu tengah sarapan bersama.
Araya tak lagi heran pada Gevan yang sudah beberapa kali ikut nimbrung di meja makan bersama nya dan Ghariel. Laki-laki itu duduk di kursi kepala keluarga, lalu di sebelah kanannya ada Araya, dan di sebelah wanita itu putra kecil mereka.
Jika dilihat sekilas seperti ini, mereka sudah seperti keluarga bahagia pada umumnya. Para pelayan pun jadi semangat memasakkan menu terbaik mereka jika melihat pemandangan ini setiap hari.
Walaupun suasana meja itu cukup hening, hanya sesekali terdengar obrolan Araya dengan Ghariel.
Sedangkan Gevan sendiri, Araya menganggap lelaki itu seperti batu di sana. Ia tidak suka bagaimana pria itu sering menegur Ghariel, entah karena putranya tak menghabiskan makanan, Ghariel makan terlalu cepat, atau karena Ghariel banyak bicara saat makan.
Putranya itu bahkan belum pas berusia tujuh tahun, apa Gevan berharap Ghariel sudah memiliki tata krama seperti bangsawan? Seperti itu pikir Araya.
Dari yang Araya lihat, pagi ini suaminya itu sudah mengenakan jas rapi. Karena ini hari sabtu, Gevan tidak akan ke kantor. Berarti lelaki itu punya pekerjaan lain. Ia tahu suaminya ini sangat sibuk.
Biasanya pagi hingga siang atau menjelang sore Gevan akan pergi ke perusahaan, ia adalah direktur utama perusahaan tambang terkenal. Lalu sepulangnya laki-laki itu akan sibuk mengurus pekerjaan haramnya. Bagaimana penjualan senjata dan narkoba nya.
Itu informasi yang Araya dapat dari menggosipkan Gevan bersama Bi Laksmi.
“Mama, nanti kita pergi dengan siapa? Bastian kan tidak di rumah.” Tanya Ghariel setelah menyelesaikan makannya.
Setahu Ghariel, sopir nya itu akan bersama Papa nya seharian jika ia tidak bersekolah.
“Mama kan bisa nyetir mobil sendiri, sayang. Gak perlu sama Bastian.” Jawab Araya. Mereka memang sudah merencanakan menghabiskan hari libur di luar mansion hari ini.
“Mau ke mana?” Suara dingin dari Gevan terdengar.
“Pergi,” jawab Araya singkat.
“Ke mana Araya?” Tanya Gevan lagi.
Kini Araya menatap laki-laki itu, “kenapa kamu ingin tahu?” tanya Araya balik.
Sebenarnya ia bisa menjawab langsung, tapi entah kenapa ia ingin menjawab menyebalkan seperti ini.
“Aku suami kamu, Araya. Bukannya aku harus tahu ke mana kamu akan pergi?”
Ghariel kini menatap Papanya itu, baru kali ini ia mendengar Gevan berucap cukup lembut seperti itu. Cukup menghilangkan aura mengerikan Papanya, pikir Ghariel.
Araya sendiri tak menyangka Gevan semakin melewati batasannya. Biasanya laki-laki itu hanya mentok bergabung makan bersama dengan mereka, dengan mengabaikan obrolan Araya dengan Ghariel.
Sekarang pria itu bahkan terang-terangan melabeli dirinya sebagai seorang ‘suami’.
It’s okay, semakin baik hubungan aku dengan pria ini, semakin kecil kemungkinan aku bakal di bunbun. Batin Araya.
“Kami mau ke mall,” jawab Araya pada akhirnya.
“Jam berapa?”
“Sepuluh-an.” Jawabnya lagi.
Gevan terlihat mengangguk mengerti, “aku akan minta Bastian pulang untuk pergi dengan kalian.”
Araya refleks menggeleng, “gak perlu, aku sama Ghariel bakal lama nanti,” jawabnya. Sebenarnya ia sudah tidak sabar memilih mengendarai koleksi mobil-mobil mewah di garasi itu.
“Tugas utama Bastian itu menjaga Rayvan, jadi setiap dia keluar pekarangan mansion ini harus bersama Bastian.” Ujar Gevan mutlak tak ingin di bantah.
Araya diam-diam memutar bola matanya malas. Ia juga tahu tujuan Gevan meminta Bastian ikut karena hanya ingin melindungi putra mereka. Sedangkan dirinya? Mana peduli suaminya itu.
***
Yes, shopping! Batin Araya senang memasuki pekarangan mall dengan menggandeng putranya.
Orang bodoh mana di dunia ini yang tidak menyukai shopping? Araya pasti akan lantang menjawab tidak ada. Kecuali yang tidak itu keuangannya.
Araya dan Ghariel mengunjungi berbagai toko, di mulai dari pakaian untuknya dan sang putra, lalu sepatu untuk mereka, dan kini tengah berada di toko per make up an.
Bastian sendiri mengikuti sang Nyonya di belakang dengan sabar, dan kini di kanan dan kirinya sudah penuh dengan paper bag berisi barang-barang milik ke dua majikannya itu.
Biasanya ia melihat bagaimana Tuannya pusing ketika tender bisnisnya beberapa kali gagal, kini pemandangan yang Bastian lihat sang nyonya yang menghambur-hamburkan uang. Pemandangan yang cukup kontras memang.
Karena kini mereka tengah di toko make up, Bastian duduk menunggu tak sendirian, melainkan bersama Tuan Mudanya.
Ghariel memperhatikan Mamanya yang menyusuri berbagai jenis peralatan untuk merias diri itu, “padahal Mama sudah cantik, kenapa masih memerlukan semua itu?” Celutuknya.
Bastian menoleh pada majikan kecilnya, “Mungkin agar Nyonya semakin cantik, Tuan Muda.” Jawabnya. Bastian sendiri pun sebenarnya juga tak begitu yakin dengan jawabannya.
“Tapi Mama itu sudah sangat cantik, Bastian.” Ujar Ghariel kekeh. Jika Araya mendengar langsung pipinya akan bersemu di sini.
“Mungkin agar Tuan semakin cinta.” Jawab Bastian asal.
“Cinta?” gumam Ghariel, ia sedikit tahu pengertian tentang perasaan satu itu, sejenis sayang setahunya.
“Tapi kan Papa gak peduli sama Mama.” Ujar Ghariel. Itu yang sering ia dengar dari pelayan mansion. Apalagi ia juga tak melihat interaksi berlebih kedua orang tuanya itu.
Bastian menghela nafas, ternyata Tuan mudanya tak jauh berbeda dari para pekerja rumah mereka. Sepertinya hanya Bastian sendiri yang sadar bagaimana besarnya pengaruh sang Nyonya untuk kehidupan Tuannya.
“Kalian nunggu lama ya?” Tanya Araya menatap keduanya tak enak. Sudah ada dua paper bag ukuran sedang di tangannya.
“Tidak, Nyonya.” Jawab Bastian sembari mengulurkan tangan hendak mengambil alih barang di tangan Nyonya-nya.
“Emm, ini biar aku pegang sendiri, Bastian. Kamu pasti sudah berat membawa barang sebanyak itu,” jawab Araya.
Bastian menggeleng dengan wajah datarnya, “Tidak Nyonya, semua ini ringan.”
Araya kembali menolak. Rasa sayangnya pada make up di banding barang-barang lain itu berbeda. Araya hanya percaya pada tangannya sendiri untuk membawa anak-anak kesayangannya ini.
“Kayaknya kita makan dulu deh, kamu lapar sayang?” Tanya Araya menatap putranya.
Setelah mendapat anggukan dari Ghariel. Kini mereka menuju salah satu restoran jepang yang berada di dalam mall itu.
Setelah membuat pesanan, Araya mengambil duduk di dekat jendela. Restoran ini ada di lantai empat, jadi ia bisa melihat pemandangan huru hara kota dari sini.
“Girls, liat deh cewek itu. Vibes nya kayak ibu-ibu pejabat ga sih?” Ujar salah satu gadis yang mejanya tidak jauh dari Araya.
“Bisa cakep se keluarga gitu ya? Mana suaminya keren banget lagi,” sahut temannya yang lain.
Shinta berbalik melihat siapa yang dibicarakan teman-temannya itu, dan menatap terkejut melihat jika kakaknya lah yang kini menjadi topik teman-temannya.
“Itu kakak gue,” ujar Shinta yang terlihat cukup bangga.
“Lo serius?” Tanya temannya terkejut, Shinta mengangguk santai menjawab.
“Masa sih? Samperin yuk kalau gitu,” ajak temannya yang lain.
Shinta mendengus malas karena teman-temannya ini tak percaya, mereka bertiga memang sudah selesai menghabiskan makanannya masing-masing. Dan Shinta diikuti kedua temannya itu menghampiri meja sang kakak.
“Eh, Ta lagi di sini juga?” Tanya Araya melihat kedatangan adiknya.
Shinta mengangguk, “cuman ada kelas pagi kak. Jadi aku sama temen-temen mampir main bentar deh.” Jawabnya.
“Halo kak,” sapa kedua teman Shinta berbarengan. Araya tersenyum kecil menanggapi mereka.
“Ini, siapa kak?” Tanya Shinta menatap Bastian.
Ia mulai berspekulasi, apa kakaknya menyukai pria lain jadi melepaskan Romeo.
“Asisten suami kakak.” Jawab Araya.
Shinta membulatkan mulutnya mengerti.
“Kalian udah makan? Kalau nggak kita bisa makan bareng, biar kakak yang traktir.” Tawar Araya.
“Yah, kita udah kenyang kak, baru aja selesai makan.” Jawab Shinta yang di angguki ke dua temannya.
“Oh mau lanjut main, ya? Uang jajan nya kurang gak?” Tanya Araya.
Shinta tersenyum kecil menyelipkan anak rambutnya, “kalau kakak mau nambah sih aku nggak nolak.” Ujarnya.
Araya tersenyum kecil, lalu membuka ponselnya membuka aplikasi e-bank di sana, “Udah kakak transfer tuh,”
Kedua teman Shinta menatap penasaran notifikasi di ponsel gadis itu, saat melihat berapa jumlah yang di kirim Araya, keduanya menatap terkejut.
“Dua puluh juta? Dengan wajah sesantai itu?” gumam temannya.
Shinta tersenyum senang, “Thank you kakakku sayang, kalau gitu aku lanjut mau main ya,” Ujar Shinta.
Araya mengangguk melihat kepergian tiga gadis muda itu. Sudah Araya bilang kan ia senang jika dapat berperan sebagai kakak yang baik.
Melihat Shinta dan teman-temannya juga seolah melihat dirinya di masa lalu, masih menenteng tote bag dan binder sepulang kuliah untuk bermain di mall.
Sayangnya, dulu ia hanya sekadar menjadi mahasiswa akhir yang skripsinya pun belum jalan. Dan sekarang, ia malah hanya lulusan sma yang kini disibukkan dengan mengurus putranya.
...****************...
tbc.