Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Kebucinan Giorgio
Di halaman depan rumah keluarga Abraham, Giorgio baru saja turun dari mobil sport-nya ketika matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.
Marsha.
Namun yang membuat dadanya seketika menegang adalah kenyataan bahwa perempuan itu baru saja keluar dari mobil Joseph.
Wajah Giorgio langsung berubah dingin. Rahangnya mengeras, sorot matanya meredup tajam. Sebuah perasaan yang aneh menyerangnya—sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pernikahan mereka dimulai.
Adiknya sendiri seolah menjadi saingannya.
Kenapa harus bersama Joseph?
Marsha tampak berbicara dengan Steven, berjongkok sambil mengusap kepala bocah itu.
Namun begitu ia berdiri tegak, Giorgio menyipitkan mata. Ada sesuatu di wajah istrinya.
Begitu Marsha mendekat, Giorgio akhirnya menyadari apa itu.
Sebuah lebam samar di pipi kiri.
Tatapan Giorgio langsung berubah. Ia melangkah cepat, tangannya terulur, menyentuh wajah Marsha dengan lembut namun penuh ketegangan.
“Apa ini?” tanyanya dengan nada menahan amarah.
Marsha tampak terkejut dengan reaksinya yang tiba-tiba.
“Gio, aku—”
Giorgio tidak memberi waktu. Tatapannya beralih ke Joseph yang baru saja keluar dari sisi pengemudi. Mata tajam pria itu menyala penuh kemarahan.
“Kau melakukannya?” suara Giorgio terdengar begitu berbahaya.
Joseph terkejut. “Apa?”
“Kau yang menyentuhnya?” Giorgio melangkah maju, berdiri tepat di hadapan Joseph.
Urat di lehernya mulai menegang.
Joseph menghela napas panjang.
“Tunggu, Ko Gio. Aku tidak melakukan apa-apa—”
Namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara kecil Steven memotong dengan lantang.
“Seseorang datang untuk menculikku dan menampar Mama Marsha. Bukan salah Papa Joseph!”
Keheningan melingkupi mereka sejenak.
Giorgio menoleh ke arah bocah itu, matanya melunak.
Seketika, ia berjongkok, meraih tubuh kecil Steven dan mendekapnya erat. Tangannya yang besar membelai kepala bocah itu penuh kelembutan, lalu tanpa ragu ia mencium keningnya.
“Maafkan Uncle Gio,” bisiknya. “Uncle hanya tidak ingin sesuatu terjadi pada kalian.”
Steven mengangguk kecil, meskipun masih sedikit ketakutan.
Giorgio mengangkat bocah itu, menyerahkannya pada pengasuh yang telah menunggu di dekat mereka.
“Tolong jaga dia baik-baik.”
Setelah memastikan Steven aman, Giorgio kembali menatap Marsha. Kali ini, matanya penuh ketegangan.
“Pulang bersamaku.”
Marsha ragu sejenak, menoleh ke Joseph yang hanya mengangguk pasrah.
Akhirnya, tanpa kata-kata, ia mengikuti Giorgio menuju mobil sport berwarna oranye yang menunggunya.
***
Begitu memasuki apartemen mewah itu, Marsha belum sempat mengatakan apa pun ketika Giorgio menarik pergelangan tangannya.
“Duduk,” ucapnya tegas.
Marsha, yang masih dalam kebingungan, akhirnya menurut. Ia duduk di sofa besar berwarna hitam sementara Giorgio bergegas mengambil kain bersih dan semangkuk es batu dari dapur.
Tak lama, pria itu kembali. Ia duduk di samping Marsha, wajahnya begitu serius.
“Diam,” katanya pelan ketika Marsha mencoba berbicara.
Giorgio menempelkan kain berisi es ke pipi istrinya, membuatnya meringis sedikit.
“Sakit?” tanyanya, suaranya lebih lembut.
Marsha menghela napas. “Tidak terlalu.”
Giorgio terus mengompres dengan hati-hati, matanya tak lepas dari wajah perempuan itu. Kedekatan di antara mereka terasa begitu intens.
Kemudian, tanpa peringatan, Giorgio meletakkan kain es itu di meja dan mendekatkan wajahnya ke arah Marsha.
“Sya...”
Jantung Marsha berdebar. “Apa?”
Mata Giorgio menatapnya dalam.
“Bisa tidak... jangan pikirkan orang lain dulu?”
Marsha terdiam.
“Hanya kita berdua.” Giorgio mengangkat tangan, menyentuh dagunya, lalu mengusap pipinya dengan ibu jarinya. “Jangan ada orang lain di otakmu.”
Marsha menelan ludah. Kedekatan ini, tatapan itu... semuanya membuatnya terperangkap dalam dunianya Giorgio.
Namun sebelum ia bisa memberikan jawaban, Giorgio sudah menariknya ke dalam dekapannya, menenggelamkan wajahnya di rambutnya, seolah enggan melepaskannya.
Marsha membeku.
Dan di sanalah, dalam keheningan, ia menyadari sesuatu.
Giorgio tidak hanya mencintainya.
Pria itu tergila-gila padanya.
***
Suasana apartemen Giorgio terasa begitu tenang. Lampu tidur di samping ranjang menyala redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Marsha yang kelelahan setelah hari yang panjang akhirnya tertidur pulas di tempat tidurnya.
Namun, di sisi lain ranjang, seorang pria tengah berbaring diam, menatap wajah istrinya dalam kegelapan.
Giorgio.
Bukan tanpa alasan ia ada di sana. Setelah kejadian sore tadi, pikirannya penuh dengan Marsha. Bekas lebam di pipi perempuan itu masih terbayang di matanya, membuat amarahnya kembali membuncah.
Dia tidak ingin melepaskan Marsha begitu saja malam ini.
Jadi, tanpa berpikir panjang, ia mengambil selimut tipis lalu bergelung di sebelah istrinya.
Awalnya, Giorgio hanya ingin memastikan Marsha tidur nyenyak.
Namun, kehangatan tubuh perempuan itu, suara napasnya yang tenang, serta aroma samar dari kulitnya justru membuatnya betah berada di sana.
Dengan hati-hati, ia berbaring lebih dekat, merasakan detak jantung istrinya yang tenang.
Lalu entah kapan tepatnya, matanya ikut terpejam.
—
Pagi hari.
Marsha menggeliat kecil. Cahaya matahari yang menembus tirai perlahan membangunkannya dari tidur lelapnya.
Ia mengusap matanya, lalu berbalik ke samping.
Dan di sanalah, seorang pria bertelanjang dada tidur di sebelahnya.
Giorgio.
Marsha masih setengah sadar, tetapi otaknya langsung memproses satu hal yang mengerikan.
Suaminya tidak mengenakan pakaian bagian atas, dan selimut yang menutupi tubuhnya tampak longgar, memperlihatkan kulit punggung serta bahunya yang kekar.
Detik berikutnya, Marsha menjerit histeris.
“Aaaaaaaahhh!!”
Giorgio terlonjak kaget. Dengan cepat, ia membuka mata, lalu menatap Marsha yang kini terduduk di ranjang dengan wajah panik.
“Apa yang terjadi?” Giorgio bertanya dengan suara parau karena baru bangun.
Marsha menunjuknya dengan mata membelalak. Buku jemari lentiknya ditujukan ke arah dada bidang suaminya.
Perutnya yang berotot itu, akhirnya kembali terekspos sempurna. Membuat Marsha segera menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, meski tidak sepenuhnya tertutup.
“Kenapa kamu tidur di sini?!” serunya sedikit terkejut.
Giorgio mengerjapkan mata, lalu tersenyum setengah malas.
“Karena aku suamimu.”
Marsha semakin merapat ke tepi ranjang.
“Tapi kenapa kamu tidak pakai baju?!”
Giorgio tampak berpikir sejenak, lalu melirik tubuhnya sendiri. Ia memang hanya mengenakan celana panjang, sementara bagian atasnya benar-benar telanjang.
Dengan santai, pria itu meraih selimut, menyelubungkan kembali tubuhnya.
“Aku tidur pakai ini, kok. Jangan terlalu dibesar-besarkan.”
Marsha masih terkejut. “Tapi—tapi—kenapa kamu tidur di sini?!”
Giorgio menghela napas panjang. Ia bangkit, duduk menyamping di ranjang sambil mengacak rambutnya.
“Aku tidak bisa tidur kalau kamu tidak ada di dekatku,” gumamnya sambilmenampilkan ekspresi pcnmn manja.
Kalimat sederhana itu sukses membuat Marsha membeku.
Detak jantungnya berdetak lebih cepat.
Giorgio menatapnya sambil menyeringai kecil, lalu menyandarkan kepalanya ke bantal.
“Dan satu hal lagi....”
Tubuh Marsha kaku, jantungnya berdebarkencang.
“Apa?” tanyanya dengan suara parau yang terdengar pelan.
Pria itu mendekat, membisikkan sesuatu tepat di telinganya.
“Aku bisa saja tidak mengenakan apa-apa kalau kamu mau.”
Marsha langsung melempar bantal ke wajahnya.
“Mas Giorgiooooo!!” teriak Marsha sambil melemparkan beberapa bantal ke arah suaminya.
Bukannya kesal, tetapi Giorgio malah menikmatinya. Ia terkekeh bahagia melihat ekspresi istrinya.
Bersambung....