NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:852
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 9

Di luar, Amina berlari menembus gang sempit di belakang klub.

Udara malam dingin menusuk kulit, tapi dia tidak peduli. Dia harus memastikan dirinya aman sebelum Lorenzo mengirim seseorang untuk mengejarnya.

Saat tiba di tempat persembunyiannya, Amina mengeluarkan ponselnya dan segera mengecek file yang berhasil dia ambil dari sistem Lorenzo.

Tapi sesuatu terasa aneh.

Layar ponselnya berkedip. File yang tadi tersimpan rapi tiba-tiba menghilang satu per satu, seolah ada seseorang yang meretas perangkatnya secara real-time.

"Apa-apaan ini?" gumamnya, jarinya bergerak cepat mencoba menghentikan serangan itu.

Namun, dia kalah cepat.

Sistemnya lumpuh. Ponselnya mati total.

Amina menghela napas kasar, rahangnya mengatup.

Dia menekan tombol daya berulang kali, tetapi tak ada respons. Semua data yang ia kumpulkan lenyap seolah tak pernah ada.

Matanya menyipit. Ini bukan serangan biasa. Ini serangan yang dirancang oleh seseorang yang tahu apa yang dia lakukan.

Theodore Vandenberg.

Nama itu menggema di kepalanya. Seorang jenius teknologi yang beroperasi di balik layar, mengendalikan jaringan informasi dengan ketelitian nyaris sempurna. Jika Lorenzo Devereux bermain dengan tipu daya dan manipulasi, Theodore bermain dengan kode dan algoritma.

Amina menarik napas panjang. Jika seseorang seperti Theodore mulai bergerak, artinya dia telah dianggap sebagai ancaman.

“Bagus,” gumamnya sambil memasukkan ponsel mati itu ke sakunya. “Berarti aku semakin dekat.”

Langkahnya cepat saat meninggalkan gang sempit Paris yang lembap, udara malam terasa menusuk kulit. Lampu jalan berpendar redup, menciptakan bayangan panjang yang bergerak di trotoar. Jantungnya masih berdetak cepat, bukan karena panik, tetapi karena rasa ingin tahu yang semakin menggebu.

Dia butuh akses ke sistem Theodore. Jika seseorang mampu menyerangnya secara digital, maka pasti ada jejak yang bisa dia telusuri.

Dan dia menemukannya.

Sebuah alamat IP samar yang mengarah ke sudut tersembunyi Paris.

Pusat Operasi Theodore Vandenberg

Bangunan itu tak mencolok, berdiri di antara toko antik dan kafe kecil yang sudah tutup. Dari luar, terlihat seperti kantor biasa dengan jendela besar dan pintu kayu klasik.

Namun, Amina tahu lebih baik.

Saat melangkah masuk, atmosfernya berubah. Cahaya redup memenuhi ruangan, layar komputer berjajar di berbagai sudut, menampilkan aliran data yang terus bergerak. Ada suara halus dari sistem keamanan otomatis yang sesekali berbunyi, seakan mengingatkan bahwa setiap langkahnya diawasi.

Tapi tidak ada penjaga. Tidak ada senjata.

Dan di tengah ruangan itu, duduklah Theodore Vandenberg dengan tenang.

Kulitnya pucat, rambutnya sedikit berantakan seperti seseorang yang terlalu sering bergumul dengan layar komputer. Kacamata tipis bertengger di hidungnya, memantulkan cahaya dari monitor yang berkedip-kedip. Dia mengenakan kemeja sederhana yang lengannya tergulung, menunjukkan tato samar di pergelangan tangan, barisan angka biner yang mungkin hanya bisa ia mengerti.

Di tangannya, segelas anggur merah berputar perlahan. Seakan dia hanya menikmati pertunjukan kecil yang telah ia siapkan.

Amina berhenti di ambang pintu, mengamati pria itu dengan cermat.

“Luar biasa,” suara Theodore terdengar lembut, nyaris santai. “Tak banyak orang yang bisa sampai sejauh ini.”

Amina tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, mencoba membaca setiap gerakan, setiap ekspresi.

Theodore menyeringai. “Kau pasti punya banyak pertanyaan.”

Amina menyilangkan tangan di dada. “Aku lebih suka jawaban.”

Theodore tertawa kecil, meletakkan gelas anggurnya di meja. “Kau tahu, sistem yang kau coba retas itu dibuat untuk menangkap orang-orang seperti dirimu. Para penyusup berbakat yang berpikir mereka bisa bermain di dunia yang bukan milik mereka.”

Amina tetap tenang. “Dan sekarang?”

Theodore mencondongkan tubuhnya ke depan. “Sekarang aku penasaran. Apakah kau cukup pintar untuk keluar dari jebakan yang sudah kupasang?”

Tiba-tiba, layar-layar di sekelilingnya menyala serempak. Ratusan kode mulai bergerak dengan kecepatan luar biasa, membentuk labirin digital yang semakin kompleks setiap detiknya.

Layar-layar di ruangan itu berkedip cepat, menampilkan kode-kode yang berputar dalam pola yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang ahli dalam dunia digital. Amina menarik napas dalam, jari-jarinya melayang di atas keyboard dengan kecepatan yang mengesankan. Ia tahu bahwa Theodore tidak akan membuatnya mudah. Ini bukan hanya sekadar enkripsi biasa, ini adalah jebakan digital yang dirancang untuk membuat siapa pun yang mencoba masuk kehilangan arah.

“Impressive,” suara Theodore terdengar di belakangnya, rendah dan santai. "Tapi aku penasaran, seberapa jauh kau bisa bertahan?"

Amina tidak menoleh. Matanya masih terpaku pada layar, mencari pola dalam kode yang terus berubah. Ia tahu Theodore sedang mengamatinya, menunggu momen ketika ia melakukan kesalahan.

“Terlalu banyak pertahanan untuk seseorang yang mengaku tak bersalah,” balas Amina tanpa mengalihkan pandangan.

Theodore terkekeh. “Kau tahu, aku tak perlu mengaku apa pun. Fakta bahwa kau ada di sini saja sudah cukup membuktikan bahwa aku menarik perhatianmu.” Ia mengambil gelas anggur di tangannya, memutarnya perlahan sebelum menyesapnya. “Dan jika aku menarik perhatian seorang detektif berhijab sepertimu, aku pasti telah melakukan sesuatu yang sangat menarik.”

Amina mengabaikan provokasinya. Ia melihat sebuah celah dalam sistem, sebuah anomali kecil yang hampir tidak terlihat. Mungkin Theodore sengaja meninggalkannya sebagai umpan. Atau mungkin, ini benar-benar kesalahan yang tidak ia sadari. Amina mengambil risiko.

Tangannya bergerak cepat, mengetik serangkaian perintah dengan presisi yang hanya dimiliki oleh seseorang yang telah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia ini.

Layar mendadak berkedip. Satu per satu, pertahanan digital Theodore mulai runtuh.

Di belakangnya, Theodore berhenti menyeruput anggurnya. Ia sedikit mengangkat alis, ekspresinya berubah dari santai menjadi penuh perhatian.

"Oh?" gumamnya, nyaris seperti seorang dosen yang baru saja melihat muridnya berhasil menjawab pertanyaan sulit.

Amina tidak memberi Theodore waktu untuk berpikir. Dalam hitungan detik, ia berhasil menembus sistemnya, membalikkan alur kode, dan klik! layar utama menampilkan tampilan error.

Sistemnya jatuh.

Theodore terdiam sejenak, lalu meletakkan gelasnya dengan senyum kecil. "Wow. Itu... mengesankan."

“Kurasa aku baru saja membuktikan seberapa jauh aku bisa bertahan.” Amina menyandarkan punggungnya ke kursi, merasa puas. “Dan aku juga membuktikan bahwa sistemmu tidak sempurna.”

Theodore menyilangkan tangannya, tatapannya tajam, tapi bukannya marah, ia justru tampak terhibur. “Aku harus mengakui, kau lebih cerdas dari yang kuduga.”

Amina melirik ke layar yang kini hanya menampilkan pesan error. “Kalau begitu, bagaimana kalau kau menunjukkan rasa hormatmu dengan memberikan sesuatu yang lebih berguna daripada pujian?”

Theodore tersenyum tipis. “Baiklah, kau menang. Aku akan memberimu sesuatu yang bisa kau bawa pulang.”

Ia mengambil tablet dari meja dan menggeser beberapa file. Lalu, ia menatap Amina. “Bukan Alexander Rothschild. Bukan Lorenzo Devereux. Tapi seseorang yang lebih berbahaya dari mereka.”

Amina menyipitkan mata. “Siapa?”

Theodore menggeser layar tablet ke hadapan Amina. Ada sebuah nama yang langsung membuat dadanya berdegup lebih cepat.

Gabriel Larkwood.

Amina mengernyit. Nama itu tidak asing. Ia pernah mendengarnya dalam laporan-laporan rahasia, tetapi tidak pernah memiliki bukti konkret untuk menghubungkannya dengan kasus ini.

“Kenapa dia?” tanya Amina, suaranya penuh waspada.

Theodore mengangkat bahu. “Lihat sendiri.”

Amina menatap layar tablet itu. Ada dokumen, rekaman percakapan, dan transaksi mencurigakan yang mengarah ke Gabriel. Ia membaca sekilas, matanya melebar sedikit ketika menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan, Gabriel telah berhubungan dengan seseorang di dalam tim investigasi Amina.

Ada pengkhianat.

Detak jantungnya meningkat. Ini lebih besar dari yang ia bayangkan. Jika ada orang dalam yang bekerja sama dengan Gabriel, itu berarti setiap langkah yang ia ambil bisa sudah diketahui lebih dulu.

Amina menggigit bibir bawahnya, otaknya bekerja cepat. Ia harus berhati-hati. Ia tidak bisa mempercayai siapa pun.

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!