Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Alya yang Tak Mau Menyerah
Bab 11: Alya yang Tak Mau Menyerah
Alya duduk di sofa apartemennya, masih merasakan tekanan dari pertemuan dengan Mamanya beberapa jam yang lalu. Wanita paruh baya itu datang dengan satu tujuan, memastikan Alya menerima perjodohan dengan Randy.
"Alya, ini bukan hanya tentang kamu. Ini tentang keluarga, bisnis, dan masa depanmu," ucap Mamanya dengan nada penuh ketegasan.
Tapi Alya tidak peduli. Baginya, Randy hanyalah sahabat. Dia tahu Randy pria yang baik, terlalu baik bahkan, dan itu yang membuatnya tidak bisa membayangkan hidup dengan seseorang yang hanya ia anggap sebagai saudara.
"Ma, aku sudah besar. Aku tahu apa yang aku mau," balasnya, mencoba tetap tenang meskipun di dalam hatinya ia marah.
Mamanya mendesah, lalu berdiri dengan penuh wibawa. "Kamu pikir hidup hanya tentang apa yang kamu mau, Alya? Suatu saat kamu akan mengerti bahwa cinta saja tidak cukup. Kamu butuh kestabilan, dan Randy bisa memberimu itu."
Alya menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak membalas dengan kata-kata yang lebih tajam. Setelah Mamanya pergi, ia menghembuskan napas berat dan menatap langit-langit.
Dia tidak akan menyerah begitu saja.
***
Malam itu, Alya duduk di teras kafe tempat ia sering menghabiskan waktu. Kopi di cangkirnya sudah hampir habis, tapi pikirannya masih sibuk memikirkan Calvin. Pria itu benar-benar berbeda dari siapapun yang pernah ia kenal—dingin, penuh teka-teki, tapi justru itulah yang membuatnya semakin tertarik.
Matanya menangkap sosok yang baru saja masuk ke dalam kafe. Calvin.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Dengan cepat, Alya berdiri dan menghampiri pria itu sebelum dia sempat duduk.
"Hai," sapanya, mencoba bersikap santai meski jantungnya berdetak kencang.
Calvin menoleh, alisnya sedikit terangkat.
Alya tersenyum, mengambil tempat duduk di depannya sebelum pria itu sempat menolak.
Calvin menatapnya tanpa ekspresi. "Apa yang kamu mau?"
Alya pura-pura berpikir. "Ngobrol. Seperti yang dilakukan orang-orang normal."
Calvin mendengus pelan, tapi tidak langsung menyuruhnya pergi. Itu sudah cukup bagi Alya.
Calvin menyesap kopinya dengan santai, seolah pertanyaan Alya tidak terlalu penting. Tatapannya tetap dingin, tapi ada sedikit kilatan geli di matanya.
"Apa kamu sudah save nomorku di ponselmu?" ta Alya, menatap Calvin penuh harap.
Calvin mengangguk pelan, lalu tersenyum miring. "Iya."
Alya mengerutkan kening, merasa aneh dengan sikap pria itu. "Terus, kenapa nggak menghubungi aku lebih dulu?" tanyanya, mencondongkan tubuh ke depan dengan penasaran.
Calvin menaruh cangkir kopinya di meja, lalu menatap Alya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kalau aku menghubungimu lebih dulu, itu artinya aku tertarik."
Alya mengerjapkan matanya, sedikit terkejut dengan jawabannya. "Dan?"
Calvin menyeringai kecil. "Dan aku bukan tipe orang yang menunjukkan ketertarikanku dengan cara seperti itu."
Alya menatapnya dengan penuh selidik. "Jadi, kamu tertarik atau nggak?"
Calvin tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Alya dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat bahu. "Itu sesuatu yang harus kamu cari tahu sendiri."
Alya mendengus pelan, tapi senyumnya semakin lebar. Calvin memang sulit ditebak, dan itu justru membuatnya semakin tertarik.
Selama beberapa minggu setelahnya, Alya semakin gencar mendekati Calvin. Ia selalu menemukan alasan untuk muncul di tempat yang sama dengan pria itu. Awalnya, Calvin selalu berusaha menghindar, tapi lama-lama dia mulai terbiasa dengan kehadiran Alya.
"Apa kamu tidak punya kesibukan lain selain menggangguku?" tanya Calvin suatu malam, ketika Alya kembali muncul di kafe.
Alya tertawa kecil. "Mengganggu? Aku hanya ingin berteman."
Calvin menatapnya, mata gelapnya seolah mencoba menembus pikirannya. "Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan, Alya."
"Tahu," Alya menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku ingin mengenalmu."
Calvin terdiam cukup lama sebelum akhirnya menghela napas. "Kamu terlalu keras kepala."
Alya tersenyum. "Sudah biasa aku dengar."
Alya tahu dia sedang bermain api. Tapi dia tidak peduli. Entah mengapa, ada sesuatu dalam diri Calvin yang membuatnya tidak bisa mundur. Ada luka di matanya, ada rahasia yang ia sembunyikan. Dan Alya ingin tahu semuanya.
Dia tidak akan menyerah.