"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Openness of Feelings
Di sisi lain, Sely sedang sibuk memotong berbagai macam bunga segar untuk diletakkan di berbagai sudut rumahnya.
Sesekali ia bersenandung kecil sambil memotong tangkai bunga ditangan nya, menikmati momen ketenangan di tengah masalah yang ada dirumah nya.
Tiba-tiba, ia menoleh dan menatap suaminya, David, yang baru saja turun dari tangga dan berjalan mendekatinya. David menuju kulkas, membuka pintu lemari, dan mengambil satu botol air minum yang ia bawa bersamanya.
"Pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Sely sambil menatap David yang sedang menuangkan air ke dalam gelas.
"Sudah. Sisanya akan dikerjakan oleh sekretarisku," jawab David dengan nada datar, kemudian mulai menenggak air yang dituangnya.
Sely tersenyum kecil. "Besok aku akan pergi ke apartemen Tari. Aku akan membawa minuman yang sudah kita persiapkan untuk dia."
David mengangguk singkat tanpa memberikan ekspresi lebih lanjut. "Terserah."
Sely menaruh beberapa tangkai bunga ke dalam vas berisi air di depannya. "Aku tidak sabar untuk melihat kehadiran cucu kita. Aku harap Tari cepat mengandung. Bagaimana dengan orang yang kau suruh? Apakah dia menjalankan tugasnya dengan baik?"
"Yudha masih terlihat mondar-mandir di apartemen tari. Sepertinya pernikahan mereka nyata dan bukan hanya rekayasa mereka semata," jawab David sambil mendekati Sely yang masih asik dengan kegiatannya.
"Baguslah, tapi aku tidak menyangka putraku yang polos akan membohongi ibunya. Dia pikir kita tidak tahu bahwa semua ini hanyalah rencananya. Namun, setidaknya pernikahan ini nyata adanya. Sekarang aku hanya perlu membuat mereka sering berhubungan; kita tidak bisa mengandalkan perempuan jalang itu," Sely mendesis kesal saat mengingat menantunya Riana.
Sely memang mengetahui sifat asli Riana. Ia percaya bahwa firasat wanita tidak pernah salah. Meski begitu, Sely merestui pernikahan putranya karena Yudha adalah anak yang keras kepala, dan ia tidak ingin bertengkar dengan putra satu-satunya itu.
Sely memilih untuk diam, menyadari bahwa suatu hari nanti sifat busuk menantunya itu pasti akan terungkap. Yudha, yang menganggap Riana sebagai wanita suci dan anggun dengan sifat baik, belum menyadari kenyataan sebenarnya.
Aroma bunga mawar merah gelap yang ditatanya memenuhi ruangan. "Bunganya sangat harum. Aku memiliki firasat yang bagus kali ini. aku tau Tari adalah wanita yang baik; aku yakin dia akan segera memberikan kita cucu," Sely memejamkan matanya, menikmati harum bunga yang ada di tangan nya.
David yang berdiri di depan Sely hanya menggeleng pelan, melihat kelakuan istrinya. Ia percaya bahwa Sely pasti bisa mengatasi masalah ini dengan baik. Karena itu, ia hampir tidak ikut campur dalam masalah yang ada di rumah.
----------------
"Haaah," Tari menguap lebar. Setelah seharian berkutat di depan laptop, akhirnya pukul sepuluh malam naskahnya selesai juga. Ia meregangkan tubuhnya-merasakan pegal di bahunya.
Namun, suara nyaring panci terjatuh dari arah dapur membuatnya mengernyit.
"Apa yang sedang dilakukan pria itu?" gumamnya kesal, keningnya berkerut.
Dengan rasa penasaran, Tari bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan laptop dalam keadaan menyala. Ia membuka pintu kamar dan menutupnya kembali sebelum berjalan menuju dapurnya.
Di sana, ia melihat Yudha mengenakan apron hitam miliknya. Apron itu terlihat kecil di tubuh Yudha, membuatnya terlihat aneh.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Tari sambil menyilangkan tangan di dada, menatap tajam ke arahnya.
Yudha menoleh dan tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya. "Ah, Tari. Aku sedang menyiapkan makan malam untuk kita. Aku membuat nasi goreng sederhana. Maaf, apa aku mengganggumu?"
"Kau... memasak?" Tanya Tari, alisnya terangkat. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Bukannya Riana bilang Yudha tidak bisa memasak dan menyerahkan semua pekerjaan dapur padanya? pikirnya terheran.
Tari melangkah mendekat, mengamati Yudha yang masih sibuk dengan spatula di tangannya. Bau nasi goreng memenuhi ruangan, aroma gurih yang menggoda indra penciumannya. Meski ia enggan mengakuinya, masakan Yudha terlihat enak dan menggugah selera nya.
"Duduklah di meja, aku akan menyiapkannya," Yudha sambil melirik sekilas ke arah Tari, senyum tipis terukir di wajahnya melihat wanita itu terlihat tergoda dengan masakannya.
Tari terlihat menurut. Ia berjalan menuju meja makan di ruang tengah, menarik satu kursi, lalu duduk. Pandangannya tetap tertuju pada Yudha, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Ada kesenangan yang terlihat jelas di wajah pria itu saat memasak.
"Aku tidak tahu kau bisa memasak," ujar Tari datar. Tangannya ia lipat di atas meja.
Yudha tertawa kecil, lalu menjawab sambil tetap sibuk membagi nasi goreng ke dalam dua piring. "Aku sangat suka memasak,
daripada menghabiskan waktu di luar. Selain menyenangkan, aku bisa kenyang tanpa harus mengeluarkan terlalu banyak uang."
Tari terdiam. Jawaban Yudha terasa aneh di telinganya. Bukankah Riana pernah mengatakan hal yang berbeda tentang suaminya? Yudha, menurut Riana, adalah pria yang tidak mau menyentuh dapur dan suka menghabiskan uang. Siapa yang berbohong di sini? pikir Tari. Tidak mungkin Riana, bukan?
Yudha selesai menata nasi goreng di atas piring, lalu melepaskan apron yang melingkar di tubuhnya. Ia menggantungnya rapi di tempatnya semula sebelum mengambil kedua piring. Dengan langkah hati-hati, ia membawa kedua piring di tangannya itu ke meja makan.
"Nah, sekarang makanlah," ujar Yudha sambil meletakkan salah satu piring di depan Tari.
Tari menatapnya datar, tapi akhirnya berkata pelan, "Terima kasih." Suaranya hampir tidak terdengar.
Yudha tersenyum simpul, mengangguk kecil, lalu duduk di kursi seberangnya. "Sama-sama."
Di tengah suapannya, Tari melirik ke arah Yudha yang ternyata sedang menatapnya. Ia mengerutkan kening. "Kenapa?" tanyanya dengan nada heran.
Yudha menggeleng pelan, senyum masih menghiasi wajahnya. "Jika kau suka, aku akan terus memasak untukmu setiap hari," ucapnya lembut, dengan senyum merekah yang membuatnya terlihat tulus.
Tari tertegun sejenak, tidak menyangka mendengar tawaran itu. "nggak perlu begitu. Bukannya aku nggak bisa memasak sama sekali," balas Tari cepat, lalu meraih gelas di depannya dan meneguk air untuk menyembunyikan rasa gugupnya.
"Aku tidak keberatan," ujar Yudha sambil menatapnya. "Lagi pula, sudah kubilang aku suka memasak. Dan aku lebih suka memasak untuk orang lain... apalagi untuk istriku." Suaranya pelan, dan telinga nya perlahan memerah setelah kalimat terakhir itu terucap.
Tari tersentak. Sendok di tangannya nyaris terjatuh. Kata-kata Yudha membuat nya terkejut.
Ia mendongak, menatap Yudha yang juga sedang memandangnya. Wajah pria itu terlihat sedikit memerah, namun ekspresinya serius. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Tari merasa tidak nyaman.
"Istrimu sedang ada di tempat lain dan menunggumu di rumah," ujar Tari akhirnya, suaranya terdengar dingin. "Pulanglah ke tempat Riana besok. Jangan membuat situasi sekarang menjadi lebih rumit."
Mendengar itu, senyum Yudha memudar perlahan. Ekspresinya berubah, seperti seseorang yang baru saja mendengar kenyataan yang menyakitkan.
Tari yang menyadari hal itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya, menghilangkan perasaan tidak nyaman yang dirasakannya.
"Ah, iya," ujar Yudha akhirnya, mencoba tersenyum walau tampak canggung. "Aku akan segera pulang besok, jangan khawatir."
Tari menghela napas, lalu berdiri. "Aku masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku akan lanjut makan di kamarku saja."
Ia membawa piring dan gelasnya, berjalan perlahan menuju kamar tanpa melihat ke arah Yudha lagi. Yudha hanya diam di tempat, tatapannya sendu saat mengikuti punggung Tari yang semakin menjauh.
Ketika pintu kamar Tari tertutup, Yudha kembali menunduk, memandang sisa nasi goreng di piringnya. Ia mengambil sendoknya lagi, mencoba menghabiskan makanannya dalam keheningan. Namun, pikirannya terus melayang.
"Nasi goreng nya mulai dingin" Gumam nya lirih.
Lalau tiba-tiba, suara keras membuatnya tersentak.
BRAK!
Tari membuka pintu kamarnya dengan keras, membuat suara berdebum yang mengagetkan Yudha.
" Tar- tari" Yudha terkaget karena melihat Tari dengan langkah yang terburu-burunya, menghampirinya.
Tari menyentuh bahu Yudha, memaksanya untuk menghadap ke arahnya, ia masih menunduk, Tapi tatapannya tajam dan terlihat serius. Dengan perlahan, Tari mendongak dan mulai mendekatkan wajahnya.
Yudha terkejut. Napasnya tercekat saat menyadari apa yang akan dilakukan Tari. Refleks, tangannya terangkat dan memegang pinggang Tari, merasakan tubuh kecil wanita itu di tangannya.
Bibir mereka hampir bersentuhan. Hanya sedikit lagi, hanya sekian milimeter-
"Ding-dong!"
Suara bel pintu memecah keheningan, menghentikan gerakan mereka secara tiba-tiba. Tari membeku, lalu dengan cepat menarik diri, telinga sontak memerah merasakan wajah nya mulai memanas.
Tari mundur dengan langkah tergesa, menghindari tatapan Yudha. Tanpa berkata sepatah kata pun, Tari berbalik dan kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan suara berdebam yang keras.
Yudha masih terpaku di tempat, kedua matanya memandang kosong ke arah pintu kamar Tari yang tertutup rapat. Jantungnya berdegup kencang, seolah berusaha melompat keluar dari dadanya. Ia menyentuh dadanya, mencoba menenangkan diri.
"Apa ini?" pikir Yudha, merasa kebingungan. Bahkan jika ia berhubungan intim dengan istrinya, Riana, jantungnya tidak pernah berdetak sekeras ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ia terkena penyakit jantung?
"Ding-dong!"
Suara bel yang berbunyi kedua kalinya, membuyarkan lamunannya . Dengan enggan, Yudha menghela napas panjang, berjalan menuju pintu, dan perlahan membukanya.
Di balik pintu berdiri seorang pria dengan senyum ramah. "Halo, perkenalkan, saya Ade dari kamar sebelah. Saya baru pindah hari ini. Saya hanya ingin mengantar bingkisan makanan ini," katanya sopan, sambil menyerahkan sebuah kotak kecil.
Yudha memandang pria itu sejenak, lalu tersenyum kecil. "Ah, terima kasih. Maaf, kami tidak punya apa-apa untuk diberikan sebagai balasan."
Ade menggeleng pelan. "Oh, tidak usah repot. Saya hanya ingin memperkenalkan diri saja. Semoga kita bisa menjadi tetangga yang baik. Kalau begitu, saya permisi dulu."
"Iya, baik, Ade. Terima kasih sekali lagi," balas Yudha dengan senyuman ramah.
Ade membalas senyumnya, mengangguk kecil sebelum berbalik. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik ke dalam apartemen Yudha. Matanya bergerak cepat, mengamati setiap sudut ruangan tanpa berkata apa-apa.
Senyuman kecil yang sebelumnya menghiasi wajah Ade lenyap begitu ia membelakangi Yudha. Ekspresi ramahnya tergantikan oleh raut dingin yang sulit ditebak.
Yudha berdiri di ambang pintu, memandang Ade yang berjalan santai menuju pintu apartemen sebelah. Ia memastikan pria itu benar-benar masuk ke kamarnya sebelum perlahan menutup pintu dan kembali ke ruang tengah.
Bingkisan yang diberikan Ade ia letakkan di atas meja. Di dalamnya ada beberapa toples kue kering dan seikat buah anggur hijau yang tampak segar dan mahal.
Yudha menatap bingkisan itu sebentar, lalu membiarkannya di sana tanpa menyentuhnya lebih jauh. Pikirannya justru kembali melayang pada kejadian sebelumnya dengan Tari.
"Bagaimana kalau bel itu tidak berbunyi..." pikirnya sambil menghela napas panjang. Seketika, telinganya memerah, mengingat kedekatan mereka yang hampir membuatnya kehilangan kendali.
Perlahan Yudha menyentuh bahunya, tepat di tempat Tari sempat menyentuhnya. Rasa hangat yang aneh masih tertinggal di sana, membuatnya bingung dengan perasaan yang mulai muncul.
Di sisi lain, di apartemen sebelah, Ade duduk di sofanya. Sebuah senyum sinis menghiasi wajahnya, matanya memandang kosong ke depan. Ia menggenggam segelas minuman dingin di tangannya, jari-jarinya menyentuh perlahan sisi gelas itu.
"Jadi, itu suami Tari," gumamnya mendesis kesal. Ekspresinya datar, lalu ia menyandarkan kepalanya ke sofa.