"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Setelah David pergi meninggalkan ruangan, suasana kembali tenang, meskipun masih ada desas-desus kecil yang terdengar di antara para pegawai.
Beberapa masih terlihat sibuk merapikan meja mereka, sementara yang lain mulai kembali duduk dengan wajah tegang, mencoba menenangkan diri.
Lily kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Setelah memastikan meja kerjanya cukup rapi, ia mengenakan earphonenya lagi, membiarkan musik instrumental yang lembut memenuhi telinganya. Jarinya mulai mengetik cepat di atas keyboard, fokus pada laporan yang harus ia selesaikan.
Yang penting ia bekerja dengan baik. Lagi pula, pemimpin baru itu hanya akan melihat-lihat sebentar saja, pikirnya dengan tenang.
Ia tidak terlalu peduli dengan kedatangan pemimpin baru atau bagaimana reaksi rekan-rekannya. Baginya, pekerjaan yang menumpuk jauh lebih penting untuk diselesaikan.
Beberapa rekan kerjanya melirik ke arahnya, heran melihat betapa santainya Lily di tengah kegaduhan yang tadi sempat terjadi. Namun, mereka terlalu sibuk dengan kekhawatiran masing-masing untuk menegurnya.
Di tengah kesibukannya, Lily merasa ada sedikit kebahagiaan yang mengusik hatinya. Meski hari itu dimulai dengan kepenatan dan rasa kesal, pekerjaan yang menumpuk di mejanya ternyata membantunya mengalihkan perhatian dari semua hal yang membuatnya tidak nyaman.
Setidaknya hari ini ia bisa merasa produktif. Kalau ini terus berjalan lancar, ia mungkin bisa pulang lebih cepat dari biasanya, pikirnya sambil tersenyum tipis.
Pintu ruangan kembali terbuka dengan suara berat yang memecah suasana. Semua orang dalam ruangan serentak menoleh, seolah-olah udara tiba-tiba berubah lebih dingin dan penuh tekanan.
Langkah-langkah tegas bergema di lantai, diiringi masuknya sekelompok pria dan wanita berjas resmi yang memancarkan aura wibawa. Ruangan yang sebelumnya penuh bisik-bisik segera sunyi senyap.
Namun, Lily tetap duduk di mejanya, tidak menyadari apa pun. Earphone yang masih terpasang membuatnya sepenuhnya tenggelam dalam pekerjaan. Jari-jarinya mengetik cepat di keyboard, tanpa menyadari bahwa suasana di ruangan kini berubah menjadi lebih tegang.
Sosok tinggi dengan jas hitam sempurna berjalan di tengah rombongan. Posturnya tegap, sorot matanya tajam seperti elang yang mengamati mangsanya.
Ia adalah Zhen Wang Opulensia, orang nomor satu yang baru saja mengambil alih perusahaan setelah membangun reputasi luar biasa di luar negeri.
Tatapan Zhen berhenti pada satu titik, Lily. Wanita itu, satu-satunya di ruangan yang tidak berdiri memberikan penghormatan, menjadi pusat perhatiannya.
Mata tajam Zhen menyipit, memancarkan ketegangan yang nyaris tidak terlihat, tetapi cukup untuk membuat atmosfer ruangan semakin berat.
Semua orang memperhatikan ke arah Zhen, lalu mengikuti pandangannya ke Lily. Wajah mereka menunjukkan campuran rasa ingin tahu, ketakutan, dan kecanggungan.
Namun, Lily tidak menyadari apa pun, fokusnya sepenuhnya terkunci pada layar komputer di depannya.
David yang berdiri tak jauh dari Zhen, segera menyadari situasi itu. Wajahnya pucat, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
Dengan langkah cepat, ia menghampiri meja Lily, lalu mengetuknya dengan keras hingga membuat beberapa dokumen di atasnya bergeser.
"Apa yang kamu lakukan? Berdiri dan beri salam hormat sekarang juga!" seru David dengan nada tegas yang sedikit bergetar.
Lily tersentak kaget. Tangannya yang memegang mouse terlepas, dan earphone jatuh dari telinganya. Ia mendongak dengan bingung, menatap David yang berdiri dengan wajah penuh tekanan di depannya.
"Maaf, Pak, saya tadi sedang bekerja," jawab Lily terbata-bata. Ia buru-buru berdiri, tetapi gerakannya terlihat canggung.
Saat Lily mendongak, matanya bertemu dengan sosok yang berdiri tak jauh darinya. Jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. Wajahnya memucat seketika.
"Itu dia..." pikir Lily, napasnya tercekat. Pria itu adalah pria yang tidur dengannya malam itu.
Zhen berdiri di sana, dengan jas hitam sempurnanya dan wajah tanpa emosi. Tatapannya dingin, tanpa ada jejak pengakuan atau kejutan, seolah Lily hanyalah salah satu pegawai biasa.
Namun, tatapan tajamnya menusuk, membuat Lily merasa seperti ditelanjangi dan dihakimi dalam diam.
David tidak menyadari ketegangan yang terjadi, segera memperkenalkan Zhen. "Ini adalah tuan Zhen Wang Opulensia, pemimpin baru kita. Pastikan kamu menunjukkan profesionalisme, Lily."
Lily hanya bisa mengangguk, suaranya tercekat. Tangannya yang disembunyikan di belakang punggung sedikit bergetar.
Zhen dengan postur tegap dan tatapan sedingin es, akhirnya membuka mulutnya. Suaranya rendah namun terdengar jelas, menggema di seluruh ruangan yang kini senyap.
"Ini yang Anda sebut profesionalisme?" ucapnya, nadanya begitu dingin hingga membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Tatapannya tertuju pada Lily, membuat wanita itu menelan ludah dengan gugup.
Semua pegawai di ruangan itu menahan napas, tidak berani mengeluarkan suara sekecil apa pun. Udara terasa semakin berat, seolah setiap orang sedang menunggu vonis yang akan dijatuhkan oleh pria tersebut.
"Lily…" Zhen menyebut nama Lily saat setelah melihat nama dan foto yang menggantung di leher Lily sebagai pegawai di sana dengan tatapan tenang, tetapi mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Karena kelalaian Anda, saya putuskan untuk menurunkan jabatan Anda selama satu minggu."
Ruangan kembali dipenuhi dengan keheningan. Mata semua orang terbelalak, sementara beberapa pegawai saling pandang dengan ekspresi ngeri. Lily menatap Zhen dengan bingung, mencoba menebak apa yang akan ia hadapi.
"Mulai hari ini," lanjut Zhen dengan nada datar, "Anda akan bertugas membersihkan gudang di lantai bawah. Saya ingin semua barang di sana tertata rapi, tanpa debu sedikit pun." Ia berhenti sejenak, menatap Lily dengan sorot yang begitu tajam hingga membuat wanita itu nyaris mundur.
"Selain itu," Zhen melanjutkan, "Anda juga bertanggung jawab membersihkan ruang kerja saya setiap pagi dan membuatkan saya kopi. Setiap hari, selama satu minggu."
Kata-kata Zhen bagaikan palu yang menghantam keras hati Lily. Wajahnya memucat, tetapi ia tidak bisa berkata apa-apa. Hanya anggukan kaku yang ia berikan, meskipun dalam hatinya ia ingin berteriak bahwa ini semua tidak adil.
Zhen mengangkat satu alisnya, menatap Lily dengan sorot dingin yang tak tertahankan. "Jika dalam waktu satu minggu Anda tidak menunjukkan hasil yang memuaskan sesuai yang saya harapkan," ia berhenti sejenak, menciptakan jeda yang menyesakkan, "Maka posisi Anda tidak akan saya kembalikan."
Beberapa pegawai tampak menahan napas lebih lama. Ada yang terdiam ketakutan, tetapi tak sedikit pula yang berusaha menahan senyuman sinis. Salah satunya Daisy yang berdiri di salah satu sudut ruangan, merasa puas. Hatinya dipenuhi kepuasan tersembunyi, menikmati kehancuran perlahan Lily.
Zhen melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Lily. Suaranya menjadi lebih rendah, tetapi tetap menusuk tajam. "Sekarang, buatkan saya kopi."
Perintah itu terdengar begitu sederhana, tetapi nada dingin dan tegasnya membuat siapa pun merasa itu adalah tugas yang berat.
"Dan biarkan ini menjadi pelajaran bagi semua orang," lanjut Zhen, menoleh ke seluruh ruangan. "Siapa pun yang tidak menaati aturan atau tidak menjaga profesionalisme akan menerima konsekuensi serupa."
Semua pegawai di ruangan itu hanya mengangguk dalam diam, tidak ada yang berani mengajukan keberatan. Bahkan David yang biasanya penuh percaya diri, tampak menunduk dengan wajah tegang.
Lily hanya berdiri kaku. Ia tahu posisinya tidak mengizinkannya untuk membantah. Di dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri. Baginya, ini bukan hanya hukuman, tetapi juga cara Zhen menunjukkan bahwa ia menyimpan dendam.
Apakah ini karena malam itu? pikir Lily getir. Tetapi ia tidak punya waktu untuk merenung lebih lama. Dengan langkah pelan, ia menuju pantry untuk memenuhi permintaan Zhen.
Meski hatinya terasa berat, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan selain menerima nasib ini. Setidaknya ini hanya satu minggu, gumamnya dalam hati, mencoba menguatkan dirinya.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰