Sekelompok anak muda beranggotakan Rey Anne dan Nabila merupakan pecinta sepak bola dan sudah tergabung ke kelompok suporter sejak lama sejak mereka bertiga masih satu sekolah SMK yang sama
Mereka bertiga sama-sama tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena terbentur biaya kala itu Akhirnya Anne melamar kerja ke sebuah outlet yang menjual sparepart atau aksesories handphone Sedangkan Rey dan Nabila mereka berdua melamar ke perusahaan jasa percetakan
Waktu terus berlanjut ketika team kesayangan mereka mengadakan pertandingan away dengan lawannya di Surabaya Mereka pun akhirnya berangkat juga ke Surabaya hanya demi mendukung team kesayangannya bertanding
Mereka berangkat dengan menumpang kereta kelas ekonomi karena tarifnya yang cukup terjangkau Cukuplah bagi mereka yang mempunyai dana pas-pasan
Ketika sudah sampai tujuan yaitu stadion Gelora Bung Tomo hal yang terduga terjadi temannya Mas Dwi yang merupakan anggota kelompok suporter hijau itu naksir Anne temannya Rey.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanyrosa93, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berbagi Buah Tangan
Sesampainya di rumah, aku segera membagikan oleh-oleh yang aku bawa dari kantong kresek berwarna putih. Aroma khas dari makanan dan barang-barang yang aku bawa menyebar ke seluruh ruangan. Dari depan pintu, ibuku penasaran dengan yang aku bawa lalu beliau pun bertanya, “Anne, apa itu yang kamu bawa?”
Anne lalu menjawab pertanyaan ibunya itu, “Asalamualaikum bu, oh ini oleh-oleh dari buk de nya Mas Yuda yang dari Banjar.”
“Waalaikumsalam, maaf ya Anne ibu langsung bertanya tadi, oh gitu ya, ya udah simpan aja oleh-olehnya di meja sana ya.” ucap ibuku.
Aku mengangguk, lalu mulai meletakkan kantong kresek itu di meja makan. Tak lama, adikku yang bernama Dini muncul dari ruang belakang. Matanya langsung tertuju pada kantong kresek yang aku bawa. “Oleh-oleh lagi? Dapat apa kali ini?” tanya Dini sambil mendekat.
“Dapat berbagai macam makanan khas Banjar, juga ada kain batik yang cantik. Nanti kita lihat saja, yuk buka!” jawabku sambil tersenyum.
Ibuku yang duduk di ruang tamu segera berdiri dan mendekat. “Wah, kain batiknya pasti bagus. Coba lihat, Anne.” Ibuku mulai mengoceh, sudah pasti suka dengan hal-hal seperti itu. Aku lalu mengambil kain batik yang ada dalam kantong dan menyebarkannya di atas meja.
“Wah, memang cantik sekali. Warna dan motifnya khas Banjar, benar-benar unik. Terima kasih ya, Mas Yuda, sudah memperhatikan ibu,” kata ibu dengan mata berbinar.
Sementara itu, Dini sudah mengeluarkan beberapa paket kecil dari kantong kresek. “Ini ada roti manis yang enak banget, Bu! Lihat, ada juga kue lapis! Coba deh, rasanya beda dari yang biasa kita makan.”
Aku tersenyum melihat antusiasme mereka, sementara aku sendiri juga tertarik pada makanan yang dibawa. “Ya sudah, kita coba nanti. Tapi, sebelum itu, ibu pasti ingin tahu lebih banyak tentang perjalanan aku ke sana, kan?” tanyaku, melirik ke ibuku.
Ibu mengangguk pelan, wajahnya penuh keingintahuan. “Tentu, pasti seru ya pergi ke Banjar. Ada cerita apa saja di sana, Anne?”
Aku pun mulai bercerita tentang perjalanan singkatku ke Banjar, bagaimana aku bisa bertemu dengan keluarga Mas Yuda, serta suasana kota yang berbeda dari Tasikmalaya. Tentunya, aku juga menambahkan sedikit cerita tentang makanan khas Banjar yang enak, yang sudah membuat perutku kenyang di sepanjang perjalanan. “Di sana, aku sempat mampir ke pasar tradisional. Kue-kue dan keripik yang mereka jual itu unik banget, belum pernah aku coba sebelumnya. Bahkan ada satu jenis kue yang cuma ada di sana.”
Ibuku yang mendengarkan dengan seksama tampak penasaran. “Lalu, apa yang paling enak? Makanan atau oleh-oleh?” tanyanya dengan serius.
Aku tertawa mendengar pertanyaan itu. “Kalau aku sih, lebih suka oleh-olehnya! Tapi makanan juga nggak kalah enak. Ada satu jenis roti manis yang lezat banget, rasanya meleleh di mulut.”
“Wah, ibu mau coba yang itu!” seru Ibuku, langsung mengambil satu bungkus roti dari meja.
“Eits, sabar dulu, kita makan bareng-bareng, ya,” kataku sambil melirik ibu, yang tampak menunggu cerita lebih lanjut.
Ibuku yang sudah selesai menikmati kain batik, lalu bertanya, “Anne, Mas Yuda itu orangnya seperti apa sih? Kalau aku lihat dari cerita-ceritamu, dia baik ya?”
“Mas Yuda itu orangnya ramah dan perhatian. Selalu memastikan kalau semuanya nyaman dan suka. Aku senang bisa bertemu dengan mereka,” jawabku sambil menatap meja, berpikir sejenak. Rasanya, setiap pertemuan dengan keluarga Mas Yuda selalu penuh kehangatan.
Setelah keluargaku menikmati, lalu aku sisihkan sedikit untuk rekan-rekan kerjaku di toko aksesories ponsel biar mereka juga menikmati oleh-oleh yang aku bawa.
Aku tahu mereka pasti senang, terutama yang sudah lama tidak pulang kampung dan merindukan makanan khas Banjar. Dalam perjalanan pulang, aku sempat berpikir betapa beruntungnya aku bisa memberikan kebahagiaan kecil ini, meskipun hanya dengan sebungkus makanan atau oleh-oleh kecil. Ada kebanggaan tersendiri ketika bisa berbagi sesuatu yang berarti, meski sederhana.
Di toko, suasana ramai seperti biasa. Beberapa pelanggan sedang memilih aksesoris ponsel, sementara rekan-rekan kerjaku sibuk melayani mereka. Begitu aku masuk, salah satu dari mereka, Deni, langsung menyambut dengan senyum lebar. "Eh, kamu bawa oleh-oleh ya?" tanyanya. Aku mengangguk sambil mengeluarkan sebungkus kue yang kubawa dari Banjar, tepatnya dari pasar tradisional yang selalu ramai dengan penjual kue-kue tradisional khas daerah itu.
"Ini buat kalian semua," kataku, menyerahkan kue-kue itu pada Deni. "Semoga kalian suka."
Deni langsung membagikan kue itu kepada yang lainnya. Satu persatu mereka menghampiri, mengucapkan terima kasih, dan mencicipi kue-kue tersebut. Ada yang langsung melirik ke arahku dan tersenyum. "Wah, ini enak banget! Kayaknya beneran enak makanan Banjar," ujar Rina, salah satu rekan kerjaku, sambil menikmati kue dengan senyum puas.
Mereka makan bersama-sama oleh-oleh yang aku bawa tadi, terlihat sangat menikmatinya. Mereka pun berterima kasih kepadaku karena masih ingat mereka dan masih bisa menyisihkan sedikit oleh-oleh untuk aku bagikan kepada mereka. Meskipun harga makanannya tak seberapa, namun sudah membuat hati aku puas bisa berbagi dengan mereka. Uang bisa dicari namun rasa bahagia bisa berbagi seperti ini sulit didapat.
Aku hanya tertawa kecil, merasa senang bisa membuat mereka bahagia. Bukan karena aku ingin dipuji atau mendapat perhatian, tapi lebih kepada kebahagiaan bisa berbagi momen-momen sederhana ini. Menurutku, kebahagiaan tak selalu harus berupa sesuatu yang besar. Terkadang, hal-hal kecil semacam ini bisa memberikan senyum yang lebih lebar dari yang kita bayangkan.
Sambil menikmati kebersamaan itu, aku juga merasa sedikit lega. Beberapa waktu terakhir, aku merasa agak cemas dengan banyaknya pekerjaan yang menumpuk di toko. Kadang-kadang, rutinitas yang monoton bisa membuat pikiran jadi buntu, tetapi saat-saat seperti ini, ketika aku bisa berbagi dengan orang-orang sekitar, membuatku merasa lebih ringan. Seperti ada energi baru yang masuk dan membuat semangatku kembali pulih.
Setelah beberapa saat berbincang dan tertawa bersama, aku kembali melanjutkan pekerjaan. Toko yang tadinya terasa berat dan penuh dengan tekanan, kini seakan jadi tempat yang lebih ringan. Aku tahu, di sini aku bukan hanya bekerja, tapi juga bagian dari sebuah keluarga kecil yang saling mendukung satu sama lain. Itu adalah hal yang sangat aku hargai. Ketika kita saling berbagi, meski dengan hal kecil sekalipun, kita bisa menciptakan kebahagiaan yang lebih besar, tanpa perlu menunggu momen istimewa.
Hari itu, aku merasa betul-betul bersyukur. Bersyukur karena masih bisa pulang ke kampung halaman, bersyukur bisa memberi sedikit kebahagiaan kepada orang-orang yang ada di sekitarku, dan yang terpenting, bersyukur karena di tengah segala kesibukan dan tantangan hidup, aku masih memiliki tempat yang penuh dengan kehangatan dan perhatian.
***