[UPDATE 2 - 3 CHP PERHARI]
"Hei, Liang Fei! Apa kau bisa melihat keindahan langit hari ini?"
"Lihat! Jenius kita kini tak bisa membedakan arah utara dan selatan!"
Kira kira seperti itulah ejekan yang didapat oleh Liang Fei. Dulunya, dia dikenal sebagai seorang jenius bela diri, semua orang mengaguminya karena kemampuan nya yang hebat.
Namun, semua berubah ketika sebuah kecelakaan misterius membuat matanya buta. Ia diejek, dihina, dan dirundung karena kebutaanya.
Hingga tiba saatnya ia mendapat sebuah warisan dari Dewa Naga. Konon katanya, Dewa Naga tidak memiliki penglihatan layaknya makhluk lainnya. Dunia yang dilihat oleh Dewa Naga sangat berbeda, ia bisa melihat unsur-unsur yang membentuk alam semesta serta energi Qi yang tersebar di udara.
Dengan kemampuan barunya, si jenius buta Liang Fei akan menapak puncak kultivasi tertinggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4 Kebanggaan yang Terjatuh: Liang Fei dan Tuan Muda Ling Hui
Di lereng pegunungan Tianlong yang tinggi dan dikelilingi kabut, berdirilah Kota Linghua, permata dari tanah kultivasi yang menawan.
Kota Linghua dikenal sebagai pusat perdagangan, kebudayaan, dan pelatihan bagi para kultivator dari seluruh penjuru negeri.
Memasuki Kota Linghua, pengunjung disambut oleh gerbang agung bertatahkan emas dan batu giok yang memancarkan aura energi spiritual.
Jalanan kota terbuat dari batu kuarsa yang berkilauan, menuntun tiap langkah menuju pusat kehidupan kota.
Di tepi jalan, terlihat banyak pedagang yang memajang barang dagangannya dan pembeli yang menawarnya. Bangunan tradisional yang memiliki atap melengkung khas Timur menjadi pemandangan biasa di kota itu.
Tidak jauh berbeda seperti pinggir jalan, pasar pusat kota selalu ramai dengan aktivitas. Para penjual menawarkan beraneka ragam barang mulai dari ramuan mistik, artefak kuno, hingga jimat pelindung untuk para kultivator.
Aroma rempah-rempah dan dupa memenuhi udara, berpadu dengan suara hiruk-pikuk para pedagang yang berseru menawarkan dagangannya.
Para kultivator dari berbagai sekte terlihat tengah bernegosiasi, berbagi informasi tentang teknik kultivasi terbaru atau mengenai keberadaan makhluk spiritual langka.
Di sinilah Liang Fei berdiri dengan tongkat pemandu jalannya. Tidak begitu sulit baginya memasuki kota berkat lambang sekte Naga Putih miliknya.
Liang Fei berjalan ke arah salah satu toko yang bersedia membeli berbagai macam bahan dari beast. Tanpa basa-basi ia langsung menyodorkan sekarung bulu dan taring serigala putih.
Penjual yang melihat item itu seketika melototkan matanya, "Tuan muda, apakah Anda seorang diri yang membunuh serigala putih ini?"
"Itu aku, memangnya ada masalah?"
"T- tidak ada masalah, saya hanya terkejut dengan kemampuan Anda yang mengesankan."
Serigala putih adalah beast tingkat 6 yang setidaknya membutuhkan 3 atau 5 kultivator tahap Transformasi untuk membunuhnya, dan pria buta yang datang kepadanya mengatakan jika itu dikalahkan olehnya sendirian. Terlebih jumlahnya ada tiga ekor!
Si pemilik toko yang sering disapa Paman Jiu itu menahan keterkejutannya dan berusaha untuk tetap profesional.
"Kalau begitu biarkan saya menghitung harganya terlebih dahulu," ucapnya dengan nada sesopan mungkin.
Beberapa saat kemudian, Paman Jiu selesai menghitung, "Untuk sepasang taring bernilai 20 koin perak, karena ada tiga pasang maka jadi 60 koin perak. Untuk bulu, karena minim kerusakan, akan dihargai 50 koin perak untuk satu bulu, jadi total ketiganya 150. Apakah Anda menerima harga itu?"
"Tidak masalah bagiku."
"Senang berbisnis dengan Anda, Tuan Muda. Aku harap selanjutnya Anda akan mendatangi saya jika memiliki item berharga lagi."
Dengan senyuman pebisnis, Paman Jiu memberikan 2 koin emas dan 10 koin perak kepada Liang Fei.
Menatap jumlah koin yang pas, Liang Fei tersenyum kecil, membuat Paman Jiu kebingungan.
"Apa ada yang salah, Tuan Muda?"
Liang Fei menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku hanya mengingat kejadian pahit dulu. Ada seorang pedagang yang memberikan kembalian kurang setelah tahu jika aku buta. Kudengar dia sudah terbaring kaku di bawah tanah sekarang."
"I- itu kesalahannya karena menipu seorang pelanggan, memperlakukan pelanggan dengan baik dan jujur adalah motoku sebagai seorang pebisnis, hahaha."
Paman Jiu tertawa kecil, namun keringat mencucur deras dari keningnya.
Sebelumnya ia berniat untuk memalsukan pembayaran yang diterima Liang Fei, namun ia segera mengurungkan niatnya.
'Fiuh, untung aku menekan keserakahanku dalam-dalam, jika tidak tamatlah riwayatku,' batin Paman Jiu.
Dengan uang yang dia dapatkan, Liang Fei keluar dari toko Paman Jiu. Langit saat itu sudah menjelang sore ketika Liang Fei keluar.
'Aku tidak punya urusan penting di sekte, lebih baik aku menghabiskan waktuku di kota itu untuk malam ini.'
Liang Fei berpikir jika akan merepotkan untuk kembali ke sekte saat ini, untuk sesaat ia ingin menghabiskan waktu normal tanpa gosip dan gangguan dari murid lainnya.
Karena malam sebentar lagi akan tiba, Liang Fei pergi mencari sebuah penginapan. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan penginapan dua lantai dengan tempat makan di lantai pertama.
Samar-samar Liang Fei dapat mendengar suara perkelahian di dalam penginapan tersebut, pertengkaran memang biasa terjadi di tempat itu, yang terpenting adalah tidak terlibat di dalamnya.
'Sebaiknya aku pergi mencari penginapan yang lebih damai.'
Karena malas berurusan dengan pertengkaran orang lain, Liang Fei memutar balik berniat untuk pergi.
Namun, pintu penginapan tiba-tiba hancur oleh seorang pria yang terlempar ke luar. Pria itu hampir menabrak punggung Liang Fei sebelum Liang Fei bergeser dengan santai.
Pria itu tersungkur di tanah dengan tubuh yang babak belur.
"Itulah akibatnya jika berani melawan perintah Tuan Muda Ling Hui."
Seorang pria, mengenakan jubah sutra berwarna biru kehijauan yang dihiasi dengan pola-pola awan emas, menggambarkan kejayaan dan statusnya yang tinggi.
Di kepalanya, ia mengenakan ikat kepala yang terbuat dari perak, manik-manik giok tergantung di setiap sisi, berayun lembut saat ia berjalan.
Ling Hui, adalah sosok menawan dengan mata yang setajam elang, menatap dunia di sekitarnya seolah semua orang dan segala sesuatu hanyalah pion dalam permainannya.
Tidak ada yang berani melawannya, mengingat statusnya sebagai anak walikota Linghua yang dibesarkan dalam lingkungan penuh penghormatan terhadap tradisi dan kekuatan.
Pandangan mata tajam Ling Hui teralihkan kepada Liang Fei, rambut putih yang menjuntai panjang, pakaian putih yang agak lusuh, dan tongkat pemandu jalan.
Ling Hui berpikir sejenak sebelum mengenali sosok Liang Fei, "Ah, kaukah itu, Tuan Muda Liang Fei? Tidak, seharusnya tidak ada panggilan 'Tuan Muda' di namamu yang sekarang."
Ling Hui mengejek Liang Fei secara tidak langsung, sikapnya yang semena-mena dan gayanya yang sombong sudah menjadi ciri khas dari anak walikota.
"Hei, apa kau mengenaliku? Ups, maksudku apakah kau mengenali suaraku? Maaf, aku lupa jika kau tidak bisa melihat, ini salahku."
Di saat suasana di sekitar mereka terasa tegang, beberapa pejalan kaki yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing kini berhenti sejenak untuk menyaksikan interaksi antara dua tokoh terkemuka ini.
Kerumunan mulai terbentuk, memperhatikan dengan rasa ingin tahu yang terpendam.
Liang Fei, yang sejatinya lebih memilih ketenangan, hanya tersenyum tipis mendengar ejekan Ling Hui.
Tanpa terpengaruh sedikit pun oleh provokasi itu, ia berdiri tenang. Keheningan beberapa detik seakan melayang di antara mereka sebelum Liang Fei akhirnya berbicara.
"Aku mungkin tidak dapat melihat dunia dengan mataku, tetapi aku memiliki cara lain untuk mengenali orang," sahut Liang Fei dengan nada lembut namun penuh kedalaman.
"Dan sayangnya, aroma ketidakjujuran dan kesombongan mudah tercium bahkan oleh mereka yang tak dapat melihat," lanjutnya.
Jawaban Liang Fei yang penuh makna itu disambut dengan tawa terkekeh beberapa orang dari kerumunan yang masih setia mengamati.
Ling Hui terlihat sedikit terkesiap, tak menyangka Liang Fei mampu menanggapi sindirannya dengan ketenangan dan ketajaman seperti itu.
"Kau, apa kau sudah bosan hidup?"
Ling Hui yang tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu menampakan kebencian di matanya.
"Kakak Xang!"
Seorang wanita tiba-tiba berlari dan memeluk pria yang tersungkur sebelumnya. Xang Wei adalah salah satu dari sedikit orang yang berani menyinggung Ling Hui secara langsung.
Dengan wajah basah akibat air mata, wanita itu memeluk Xang Wei, yang membuat Ling Hui semakin emosi.
"Sudah kubilang mulai hari ini kau akan menjadi wanitaku. Apa aku harus membunuh tunanganmu agar kau mengerti?