Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Tamu tengah malam.
Beberapa detik netra kami saling terpaut. Sekelebat jantungku berdesir. Begitu juga Arbi tidak bisa mengalihkan pandangannya. Seolah terhipnotis, kami saling diam.
"Apaan sih, sakit tau!" Arbian bergerak sehingga tubuhku terdorong kesamping dan terduduk di lantai. Wajahnya memerah entah marah atau malu.
"Kira-kira dong dorongnya, sakit." ringisku berusaha berdiri lalu mengusap bokongku yang terasa sakit.
"Abis kamu berat sekali." protes Arbi lantas berdiri dari sofa. Mengusap jidatnya dan keluar dari kamar.
"Sialan." makiku setelah Arbi pergi, lalu aku menutup pintu kamar. Aku tersenyum geli saat ingat tubuhku yang terjatuh di atas tubuhnya. Pun, takkala pandangan kami saling tertaut. Entah apa pikiran yang timbul dalam benaknya karena kejadian itu.
Bagiku masa bodoh lah. Aku tidak pernah berharap lagi kalau pernikahan kami akan berubah baik. Makin lama aku makin muak. Ingin mengakhiri semua ini. Kalau saja aku tidak ingat ibu mertua yang begitu mengasihiku. Mungkin aku tidak akan bertahan sampai sejauh ini.
Sebenarnya aku tidak berharap kalau hati Arbian akan berubah. Aku sudah berkali-kali mencari celah agar pernikahan ini bisa berakhir. Tanpa menghadirkan luka. Apa iya bisa begitu. Rasanya tidak mungkin. Kedua orang tuaku serta mertuaku tentu akan terluka bila pernikahan ini akan bubar. Bahkan merekalah yang paling akan terluka nantinya.
Sudah jelas mereka berharap pernikahan kami akan langgeng sampai kematian memisahkan. Tentu sebuah impian yang wajar dari setiap orang tua pernikahan anak-anaknya bahagia. Tapi pernikahan kami hanya sebuah sandiwara. Mereka taunya dan lihat kalau pernikahan kami baik-baik saja. Tapi yang sebenarnya kami telah membohongi mereka.
Apa bisa langgeng jika pernikahan kami tanpa didasari cinta. Bisakah bertahan, sementara setiap hari yang berlalu kami semakin saling menjauh. Meski tinggal satu atap dengan status pasangan suami istri, tidak menjamin membuat kami semakin dekat alih-alih saling jatuh cinta.
Setahun sudah pernikahan ini, makin kesini makin kesana. Aku hanya menyesalkan sikap pengecut Arbi yang tidak mau menceraikan aku sehingga pernikahan palsu ini segera berakhir. Dia begitu menyayangi kedua orang tuanya namun tega menghianati mereka.
Ketukan keras di pintu rumah menyentakkan aku dari kantuk. Aku yang tengah mendesain beberapa sketsa pakaian, ketiduran dengan posisi terduduk di ranjang. Laptop masih menyala. Aku menguap panjang. Siapa tamu yang datang malam-malam begini. Aku melihat jam di atas nakas. Gila, ini sudah menjelang tengah malam. Atau jangan-jangan itu pencuri.
Aku menunggu beberapa saat, mencoba mengumpulkan kesadaran sehabis tidur. Kupasang telinga ini baik-baik adakah Arbian bereaksi membuka pintu. Sepertinya Arbian tidak mendengarnya. Sementara ketukan itu semakin kuat terdengar.
Penasaran dengan suara itu aku bangkit dari ranjang. Berjalan gontai kearah kamar tamu tempat Arbi tidur. Ternyata pintunya tidak dikunci.
"Bi, Bi bangun." aku mengguncang kakinya. Arbi membuka kelopak matanya dan terkejut melihatku. Dia langsung terduduk di ranjangnya.
"Ada apa, Ra. Kok membangunkan aku. Eh, suara apa itu." serunya saat mendengar suara pintu diketuk.
"Ada seseorang didepan pintu. Entah siapa." sungutku karena terganggu.
"Hem, siapa ya. Coba cek dulu."
"Aku takut, Bi. Ini sudah tengah malam lo. Jangan-jangan mereka perampok." ucapku tegang dengan pikiranku sendiri. Karena maraknya kasus perampokan dengan berbagai modus membuatku waspada.
"Ah, perampok kok manggil-manggil namaku. Sepertinya suara itu tidak asing." Arbi meloncat dari tempat tidur menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Aku mengikuti langkahnya dari belakang dengan takut-takut.
Tanpa menyalakan lampu, Arbi mengintip lewat jendela.
"Itu Bastian, Ra. Mau apa dia malam-malam begini kemari?" bisik Arbian ditelingaku. Aku juga kaget mendengarnya.
"Terus gimana?" tanyaku bingung.
Arbi meraba stop kontak dan menyalakan lampu. Sehingga ruang tamu terang benderang. Lalu memutar anak kunci membukakan pintu rumah. Terlihat wajah Bastian yang nampak kelelahan.
"Selamat malam Bi, Mbak Rania. Maaf menggangu malam-malam begini." Bastian menatap kami dengan wajah bersalahnya.
"Yuk masuk dulu." Arbi menepi supaya Bastian masuk. Aku heran dari mana Bas tau rumah kami. Apa yang membuatnya nekad datang bertamu malam-malam begini.
Setelah menutup pintu rumah, kami bertiga duduk di kursi tamu.
"Aduh, sekali lagi aku minta maaf ya, karena telah mengganggu tidur kalian."
"Tidak apa-apa. Tumben kemari tengah malam begini?" Arbi menutup mulutnya karena menguap menahan kantuk.
"Aku sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota. Mendadak mobilku mogok. Sudah kucoba memperbaiki tapi belum bisa juga jalan. Lalu aku ingat alamat rumah yang kamu kasih kemarin. Terus aku tanya warga apa ada yang kenal kamu. Mereka ngasih tau rumah ini." ungkap Bastian panjang lebar.
"Trus mobil kamu dimana?" ucap Arbian.
"Aku titip sama warga, karena bengkel sudah tutup. Aku mau nginap malam ini, boleh?" Bastian menatap kami berdua. Lalu aku dan Arbi juga saling tatap.
"Eh, aku tidur di sofa ini saja. Besok pagi-pagi aku pamit." Bas merasa tak enak melihat kami yang terdiam beberapa saat.
"Eh, tidak apa-apa." aku dan Arbi menjawab bersamaan. Bastian menatap kami bergantian.
"Maksudnya kamu boleh nginap di kamar tamu saja." mataku membulat mendengar ucapan Arbi. Tapi dia malah mengedipkan sebelah matanya. Padahal Bastian sudah ngomong tidur di sofa saja. Itu artinya kami tidur sekamar lagi.
"Bentar ya aku beresin dulu kamar tamunya." aku memberi isyarat agar Arbi mengikutiku. Sebelum ke kamar aku menyeduh dua gelas kopi untuk Bastian dan Arbi.
Setelah berbasa-basi sebentar, Arbi menyusulku ke kamarnya.
"Kamu gimana sih, Bastian 'kan sudah bilang tidur di sofa saja." protesku lirih.
"Stttt, jangan keras-keras ntar Bas dengar ucapanmu. Aku tidak ingin Bas curiga sama kita. Aneh 'kan kita tidur terpisah karena taunya dia kita adalah suami istri."
Aku terdiam, benar juga ucapannya. KalU kami tidur terpisah rahasia kami akan terbongkar. Malam ini terpaksa tidur satu kamar dengan Arbian. Sepanjang malam aku tidak bisa tidur nyenyak. Sebentar-bentar terjaga mengawasi Arbian yang tidur di sofa di dalam kamarku.
Pengen sekali kutimpuk dia pake bantal karena suara dengkurannya membuatku tidak bisa tidur. Tapi dia malah tertidur pulas. Samasekali tidak ada beban. Padahal dia tidur di sofa. Senyaman itukah? Pake ngorok segala lagi.
Menjelang pukul dua dini hari, akhirnya aku tertidur. Itupun setelah menyumpal kedua telingaku dengan kapas. Namun, baru juga pulas tertidur, tiba-tiba tubuhku telah diguncang keras.
"Ra, Rania. Bangun!" Arbi membangunkanku.
Astaga baru juga aku tidur sudah dibangunkan begini.
"Ada apa?" seruku kesal dengan mata masih terpejam. Mataku perih karena kurang tidur.
"Buka dulu matanya. Bastian, Ra!" aku terlonjak demi mendengar Arbian menyebut nama Bastian.
"Kenapa dengan dia?" beliakku kaget seraya melempar selimut kesamping. Aku melihat jam menunjukkan angka empat. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor