NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Pelakor
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga, Sartika.

Demi masa depan cerah, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman, untuk bekerja di luar negeri.

Namun janji itu hanyalah omong kosong belaka, ia di jual beli di sebuah club malam.

Di tengah keputusasaan, setelah bersusah-payah keluar dari dunia gelap itu.

Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang mengubah hidupnya. lebih baik? atau malah memperburuk keadaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 05

Dengan langkah yang tergesa-gesa, Malik keluar dari rumah lagi, matanya tajam menatap setiap sudut jalan. Keputusannya sudah bulat, ia tidak akan membiarkan Sartika pergi begitu saja. Tidak peduli betapa jauh ia harus mengejar, ia akan menemukannya.

Suaranya masih bergema dalam kepala, "Kau tidak bisa pergi begitu saja," ujarannya penuh dengan rasa sakit dan amarah yang tak terungkapkan.

Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat. Ia merasa seolah-olah dunia ini tidak lagi memihaknya, dan kemarahan serta rasa kehilangan itu terus membakar hatinya. Di satu sisi, ia merasa seolah Sartika mengkhianatinya, sementara di sisi lain, hatinya yang hancur terus mengingatkan bahwa dia masih mencintainya.

Berjalan tanpa arah yang jelas, ia menyusuri jalanan yang semakin gelap, pikirannya dipenuhi oleh gambaran Sartika yang menjauh darinya. Ia terus berpikir, mencari tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepala perempuan itu.

"Apakah ini semua salahku? Apakah aku yang mendorongnya sampai sejauh ini?" tanyanya pada dirinya sendiri, namun jawabannya tidak pernah datang. Yang ada hanya amarah yang semakin membengkak di dadanya.

Ia berhenti sejenak, melihat sekeliling. Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai berkedip, namun dia merasa seperti terjebak di ruang yang kosong, tanpa arah, tanpa harapan.

******

Mobil travel melaju di jalan yang sepi, suasana di dalamnya terasa hening. Sartika duduk di samping jendela, menatap jalan yang terus bergulir, matanya kosong dan penuh keraguan. Di sampingnya, wanita lain terdiam, setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Sartika memegang tas kecilnya erat, hatinya penuh dengan ketegangan. Namun, di dalam dirinya juga ada harapan yang menggantung. Ini adalah keputusan besar, langkah pertama menuju perubahan yang sudah lama ia dambakan. Di luar sana, dunia yang lebih luas menantinya.

"Mas... Aku pergi untuk mengubah nasib kita," kata Sartika dengan suara yang pelan namun penuh tekad, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Sartika menghembuskan napas pelan, matanya tetap menatap ke luar jendela. Cahaya lampu jalan membentuk bayangan samar di wajahnya, mencerminkan keraguan yang masih bersarang dalam hatinya.

Ia tahu, kata-kata itu tak akan pernah sampai ke telinga Malik. Tapi entah mengapa, ia merasa perlu mengatakannya, sebagai sebuah perpisahan yang tak terucap secara langsung.

Tangannya yang menggenggam tas kecil di pangkuannya semakin erat. Di dalamnya, tersimpan uang yang ia ambil dari Malik, dokumen-dokumen penting, dan pakaian seadanya. Semua itu adalah bekalnya untuk perjalanan panjang ke negeri asing.

Dadanya terasa sesak. Bukan hanya karena ia meninggalkan rumah, tetapi karena ia meninggalkan Dinda.

Dinda…

Nama itu terus terngiang di benaknya. Wajah manis anaknya yang selalu tertidur di pelukannya setiap malam, tawa polosnya saat bermain di halaman rumah, dan tatapan penuh percaya yang selalu ia berikan kepada ibunya.

Sartika menutup mata sejenak, mencoba mengusir perasaan bersalah yang menggelayut. Ia melakukan ini demi Dinda. Demi masa depan yang lebih baik.

Namun, jauh di dalam hatinya, ada ketakutan yang tak bisa ia ingkari, bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika semuanya tidak berjalan sesuai rencana?

Bagaimana jika ia tak pernah bisa kembali?

Ia membuka matanya lagi, menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Wajah yang lelah, mata yang menyimpan kegelisahan.

Sartika menelan ludah, lalu berbisik lirih, hanya untuk dirinya sendiri, "Aku harus berhasil."

Mobil terus melaju di jalanan yang semakin gelap, membawa Sartika menuju takdir yang belum ia ketahui.

Sartika akhirnya tertidur, kelelahan mengalahkan kegelisahannya. Kepalanya bersandar ke jendela mobil, napasnya pelan namun tidak sepenuhnya damai.

Di dalam tidurnya, pikirannya masih dipenuhi bayangan Dinda. Ia melihat anaknya berdiri di depan rumah, memanggilnya dengan suara kecil yang bergetar.

"Ibu… Ibu mau ke mana?"

Sartika mencoba mendekat, ingin memeluk Dinda, tapi langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menariknya ke belakang.

"Ibu nggak akan lama, Nak… Ibu janji."

Namun, semakin ia mencoba mendekat, bayangan Dinda semakin jauh, suaranya melemah, wajahnya kabur.

Sartika mengerang pelan dalam tidurnya. Tubuhnya gelisah, alisnya berkerut.

Lalu, suara keras membangunkannya.

Sartika tersentak, matanya terbuka lebar. Butuh beberapa detik baginya untuk sadar bahwa ia masih berada di dalam mobil travel, lampu jalanan yang remang-remang menyinari wajahnya.

Suara klakson panjang terdengar di luar, lalu mobil melambat dan berhenti di pinggir jalan.

Sartika mengerjap, masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia melihat Sri menoleh ke arah supir dengan raut bingung.

"Ada apa, Pak?" tanya Sri.

Supir itu menghela napas. "Kayaknya ada razia malam. Kita harus siap-siap."

Sartika merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya refleks menggenggam tasnya erat.

Razia?

Apakah ini hanya pemeriksaan biasa, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?

Mobil travel berhenti di pinggir jalan, deretan kendaraan lain terlihat melambat di depan mereka. Lampu-lampu sorot dari petugas menyapu jalan, menciptakan bayangan panjang di aspal yang dingin.

Sartika menoleh ke arah Sri, melihat wanita itu tampak tegang. Jemarinya mencengkeram tas di pangkuannya, dan matanya terus mengamati pergerakan petugas dari jendela.

"Ada razia, ya?" tanya salah satu penumpang, seorang perempuan dengan kerudung cokelat.

Supir mengangguk santai. "Iya, pemeriksaan biasa. Jangan khawatir."

Sartika mengangguk pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia tidak membawa barang terlarang, dan ia punya dokumen yang cukup untuk menunjukkan identitasnya. Tidak ada alasan baginya untuk takut.

Tapi berbeda dengan Sri.

Wanita itu menarik napas pendek, lalu mengeluarkannya perlahan. Tangannya gemetar halus saat merapikan rambutnya yang panjang. Ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya, tetapi Sartika menangkap perubahan itu.

"Sri, kamu nggak apa-apa?" tanya Sartika pelan.

Sri tersentak, lalu dengan cepat memaksakan senyum. "Oh, nggak apa-apa, Tik. Cuma sedikit pusing aja."

Sartika mengangguk pelan, meski hatinya merasa ada yang janggal.

Di luar, petugas mulai mendekat. Salah satu dari mereka mengetuk kaca jendela supir. "Selamat malam, Pak. Mohon tunjukkan surat-surat kendaraan dan daftar penumpang," katanya dengan suara tegas.

Supir itu menurut, menyerahkan dokumen yang diminta. Sementara itu, seorang petugas lain menyorotkan senter ke dalam mobil, memperhatikan wajah-wajah para penumpang.

"Baik. Ibu-ibu, mohon tunjukkan KTP-nya sebentar." Ucapnya.

Satu per satu, para penumpang mengambil KTP mereka dari dalam tas dan menyerahkannya. Sartika ikut melakukan hal yang sama.

Namun, Sri tampak sedikit ragu saat tangannya merogoh tas.

Ketika petugas mengambil KTP-nya, ia tersenyum tipis. "Maaf ya, Pak. Biasa, perempuan kalau ada razia suka deg-degan," katanya, berusaha terdengar santai.

Petugas menatapnya sekilas, lalu kembali fokus memeriksa data. Tak ada yang aneh.

Setelah beberapa menit, petugas mengembalikan semua KTP. "Baik, terima kasih. Hati-hati di jalan."

Mobil kembali melaju, meninggalkan pos razia.

Sartika menghela napas lega. Ia tidak tahu kenapa, tapi suasana barusan membuatnya sedikit tidak nyaman. Ia menoleh ke arah Sri, yang masih terlihat sedikit pucat.

"Beneran nggak apa-apa, Sri?" tanyanya lagi.

Sri tersenyum kecil, tetapi kali ini senyumannya terlihat dipaksakan. "Nggak apa-apa, Tik. Aku cuma… mabuk perjalanan aja kayaknya nih

Sartika mengangguk pelan, meski masih ada rasa curiga yang mengganjal di hatinya.

Mobil travel kembali melaju, tetapi suasana di dalam terasa lebih tegang daripada sebelumnya. Beberapa penumpang saling berbisik, membicarakan razia tadi, sementara yang lain memilih diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Sartika melirik Sri sekali lagi. Wanita itu terlihat gelisah, jemarinya mengetuk-ngetuk tas kecil di pangkuannya dengan ritme tak beraturan. Ada sesuatu yang disembunyikannya, tetapi Sartika tidak tahu apa itu.

Mungkin hanya perasaannya saja?

Atau mungkin, Sri memang menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kegugupan?

Sartika mengalihkan pandangan ke luar jendela. Jalanan semakin sepi, hanya sesekali mobil lain melintas dari arah berlawanan.

Hatinya masih dipenuhi oleh perasaan campur aduk, antara harapan dan ketakutan.

Namun, ia tidak tahu bahwa bahaya sebenarnya masih menunggu di depan sana.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!