Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sembilan
" Lo kerja di club' Dewa?" Raden terkejut.
Dan dengan mudahnya Kania mengangguk.
"Lo gila ya?!" Raden mengomel." Kalau Raihan tau-"
Kania mendengus kesal lalu menggelengkan kepalanya cepat dan menutup rapat kedua telinganya. "Kuping gue panas seketika!"
Kania kembali menatap Karel yang sedang memainkan ponselnya, kemudian mendekatkan dirinya pada laki-laki itu. Tidak peduli tidak pada kenyataannya bau keringat laki-laki itu tercium tidak sedap. Yang penting karya tetap tampan, dan Kania tetap suka.
"Anterin ya, Rel." Pinta Kania.
"Gak!" Karel membalas tanpa mengalihkan fokusnya dari ponselnya itu.
"Kan searah sama rumah jamu-"
"Rumah gue udah pindah!"
"Bacot Lo, Rel!" Fabian melempar Karel dengan handuk abu-abunya yang baru saja di pakai. Bisa saja Karel mencari alasan untuk menghindar dari Kania.
"Anterin aja, Rel!" Ujar Raden bersuara rendah, kemudian ikut menundukkan dirinya di samping Kania." Nggak ada terima kasihnya banget lo jadi manusia!" lanjutnya yang kemudian menaikkan alisnya semangat pada Kania. Posisinya dengan Fabian sama, sama-sama mendukung kan ya untuk mendekati Karel.
"Gak! Gue mau nonton sama Sania."
Yah ibaratnya sedang menaiki pohon kelapa dan kelapanya sudah berada di depan mata, namun kehilangan satu sanggahan lalu terjatuh dengan cepat, dan itulah yang dirasakan Kania sekarang. Sudah menemani Karel ke sini, hanya tinggal selangkah lagi untuk meminta laki-laki itu mengantarnya. Tapi Karel malah membuat alasan akan jalan dengan gadis lain. Emangnya Kania tipe gadis seperti apa yang terima saja jika Karel berucap seperti itu.
"Dih!" Fabian mendesis." Sumpah! Nggak punya hati banget sih lo!" Cemooh Fabian, ia kesal sendiri.
"Orang gue nggak minta dia ikut ke sini!" Karel membela diri." Jadi suka-suka gue lah mau ngapain setelah ini."
Kania mencebik, ia akui Karel itu jahat, tetapi ia juga mengakui aksinya selama ini pada Karel memang sangat menganggu. Jadi untuk sekarang lebih baik dia diam.
"Ojek online kan banyak!" Karel kembali berucap, kemudian merapihkan isi tasnya." Lo juga udah janji bakal balik sendiri kan?" lanjutnya menatap sekilas ke arah Kania. Kemudian pergi meninggalkan Kania begitu saja. Bahkan tatapan kesal Raden dan Fabian pun ia acuhkan. Karena Karel tahu, sekali dibaiki, selanjutnya Kania akan gencar dan ia tidak mau itu.
----
Setelah melalui empat hari bekerja tanpa henti, dan juga menjalani kesibukan sekolah yang mengharuskan dirinya bangun pagi, juga kegiatan ekstrakurikuler yang harus dihadiri dan berakhir pada tebalnya berbagai buku pelajaran yang harus dia pelajari. Membuat Kania mendesah pelan, setidaknya dia tetap bangga pada dirinya sendiri karena bisa melewati kesibukan hari-hari kemarin dengan senyuman lebar, meskipun punggung dan tinggalnya sudah mati rasa karena kelelahan.
Jika saat seperti ini, Kania mulai mengerti ucapan Elia. Tetapi meskipun ucapannya benar, Kania masih tidak mau mengakuinya. Ia tahu maksud Elia baik. Tapi ketidakadilan sikap Elia kepadanya dan Raihan adalah sesuatu yang sampai saat ini belum bisa Kania toleransi dan berujung pada semua masalah yang terjadi di keluarganya. Ia tidak akan mengibarkan bendera damai pada Raihan atau bahkan Elia dalam waktu dekat ini. Ia berusaha untuk mengerti keadaan yang sebenarnya dulu, tapi ketika dua orang itu saja tidak bisa melakukan hal yang sama untuknya, jadi untuk apa kalian harus selalu mengerti mereka?
Kania tidak mau melihat sebelah mata kasih sayang Elia. Tapi jika kenyataannya selama ini memang terjadi ketidakseimbangan kasih sayang antara dirinya dan kedua saudaranya yang lain, apakah Kania tidak boleh marah dan merasa kecewa? Ia hanya seorang remaja yang masih bertumbuh dan berusaha mengerti dunia luar. Tapi karena kerasnya Elia mendidiknya, Kania sudah lebih tahu bagaimana kejamnya dunia luar di waktu yang belum tepat.
Seharusnya yang ia lakukan sekarang adalah sedang menyelinap keluar rumah seperti yang sudah-sudah untuk menemani Laras dan bermalam di rumah temannya itu. Tapi karena minggu lalu ia sudah tertangkap basah oleh Elia, maka ia tidak mau melakukan hal itu di minggu ini. Belum lagi ada kenyataan lain yang siap menghadang jalannya esok hari, yaitu ulangan fisika yang membuat kepalanya pusing. Jika dia diminta menghafal rumus, Kania tidak masalah. Tapi jika sudah diminta memasukkan angka ke dalam rumus tersebut, Kania menyerah.
Kania sudah menyiapkan hati untuk merelakan ponselnya yang akan disita oleh Elia minggu depan. Pasalnya, ulangan matematika beberapa hari yang lalu saja tidak bisa ia lewati, apalagi dengan ulangan fisika besok.
Ia memutar lehernya yang mulai terasa pegal karena terlalu lama menunduk, kemudian menyambar ponselnya yang berada di ujung meja belajar. Sudah hampir tiga jam berada di meja belajar, 90% waktunya terbuang karena memainkan ponselnya, dia tidak fokus pada lembaran kertas yang berantakan di hadapannya. Jadi, jangan heran kenapa Kania bodoh. Selain faktor bawaan, ada juga faktor malas yang menambah kemungkinan itu.
Anda
Rel, ajarin gue fisika dong.
Rel?
Karel?
Sayang.
Astaga typo, maaf.
Pesan darinya hanya dibaca oleh laki-laki itu. Kania mencebik sebal. Karena pesannya yang sudah dia kirim dari 2 jam yang lalu diabaikan oleh Karel. Ia heran, sebenarnya apa yang bisa membuat Karel melirik ke arahnya? Pasti setiap laki-laki itu melirik ke arahnya, selalu ada embel-embel nama orang lain di sana dan yang paling sering adalah nama Sania. Yang Rachel ingin adalah Karel meliriknya tanpa embel-embel nama siapapun. Ia ingin Karel melihatnya sebagai dirinya sendiri tanpa ada bayang-bayang orang lain.
"Untung aja gue sayang! Kalau nggak udah tebas itu pala dia!" Kerudungnya kemudian melempar ponselnya kemeja sehingga menimbulkan suara benturan. " Sok cakep banget!" Kania mendumel sendiri. " Tapi dia emang cakep si," ujarnya lemah.
Ingin rasanya menyalahkan Karel karena sikap acuh laki-laki itu padanya. Tapi Karel tidak bisa disalahkan juga dalam masalah ini. Yang selama ini semangat mengejar Karel adalah dirinya. Jadi yang seharusnya disalahkan adalah dirinya sendiri yang jatuh cinta pada Karel Pradipta, laki-laki dingin yang bahkan tidak pernah mau meliriknya.
Kania bangkit dari kursi belajarnya. Sudah jam sembilan malam. Seharusnya kehidupan di rumahnya sudah memadam, atau dalam kata lain keluarganya sudah bersiap untuk tidur atau bahkan sudah tidur. Sepertinya ia harus mencari udara segar untuk menuntaskan beban otaknya yang bertambah setelah belajar fisika, juga beban karena selalu diabaikan oleh Karel. Sepertinya ia harus mengurungkan niatnya untuk diam saja di rumah malam ini.
Ia menyambar hoodie hitamnya kemudian membuka jendela kamarnya perlahan. Hal pertama yang harus dilakukan sebelum menerima adalah mengintip apakah kondisi sudah aman atau belum. Maka ia lebih dulu mengeluarkan kepalanya dari jendela kamar untuk melihat keberadaan motor Raihan. Jika laki-laki itu sudah pulang maka ia akan, jika belum, maka kewaspadaannya harus bertambah. Tetapi syukurlah, begitu ia mengeluarkan kepalanya, kakaknya itu baru saja membuka pagar rumah. Kalau begini, sudah dipastikan dirinya aman.
Setelah Raihan hilang di balik pagar rumah, kakinya lebih dulu melompat pelan pada atap rumahnya yang hanya memiliki lebar sekitar satu meter. Tubuhnya sebenarnya bergetar karena merasa takut tergelincir, ia memilih untuk menguatkan sanggahan pada kaki dan kedua tangannya yang menempel erat pada dinding bercat putih itu. Tidak perlu mengendap lagi, ia sudah bia berdiri dengan perasaan ngeri tentunya di atas tembok pembatas antara rumahnya juga rumah tetangganya itu. Kalau saja tidak ada tembok tempat sampah di sana, mungkin Kania akan selalu kesulitan untuk turun dari tembok pembatas ini.
Sebenarnya, Kania yakin Iya lebih terlihat seperti orang yang tidak waras sekarang. Kakinya telanjang karena tidak memakai alas kaki apapun, sehingga ia bisa merasakan kerikil yang menusuk telapak kakinya. Biasanya, jika Laras mengajaknya pergi malam-malam seperti ini, temannya itu akan berbaik hati meminjamkannya sepatu yang layak untuknya. Tapi karena tidak ada Laras jadi ia tidak memiliki pilihan lain.
Tidak ada tempat tujuan yang pasti, kakinya hanya ingin melangkah ke manapun. Yang pasti ia ingin keluar komplek perumahannya. Di dalam komplek perumahannya tidak ada hiburan, bahkan untuk sekedar taman pun tidak ada.
Tepat ketika melewati pos satpam komplek itu, ia mengeluarkan kotak putihnya yang sudah tersimpan di saku celananya. Biarlah malam ini Kania merasakan manisnya benda itu lagi.
Ia berpikir sejenak harus memilih ke arah kiri atau kanan. Pada akhirnya, jalur kanan lah yang diambil. Tidak jauh dari sini akan ada sebuah taman yang selalu sepi di malam hari dan hanya diisi oleh beberapa makhluk halus yang selalu Kania anggap teman. Itulah mengapa Kania selalu santai meski menyelinap malam atau bahkan kabur ke taman belakang sekolah. Karena selain tidak mengganggu, Kania selalu menganggap mereka sebagai teman.
Langkahnya dibuat perlahan Ketika menemukan banyaknya motor terparkir asal di jalanan sepi ini. Tumben sekali, itu yang pertama terlintas dalam pikirannya. Iya sayang taman ini akan ramai hanya di malam minggu. Tapi kali ini tempat itu benar-benar ramai bukan karena makhluk halus.
Kedua matanya memicing ketika menemukan satu titik yang membuatnya merasa penasaran sekaligus heran, sepertinya ada yang tidak beres.
"Maju sini lo! Katanya jagoan!"
Seruan yang memenuhi malam itu membuat Kania mengerti keadaan. Ia mendekat tanpa peduli jika kenyataannya ia menaruh diri dalam bahaya. Dengan kaki telanjangnya dan rokok yang terhimpit pada jemarinya, Kania melangkah dengan percaya diri. Tidak peduli jika sekarang dirinya terlihat seperti orang yang tidak waras. Kedua matanya melebar sempurna ketika melihat pemandangan di depannya.
"Karel?!"