"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir Pekan
Dia nggak pake baju, cuma pake celana pendek, badannya agak berkeringat. Pasti abis olahraga. Gue langsung kaku di depan mesin kopi, nyuri-nyuri lihat dia dari ujung mata.
Antari duduk di depan meja, matanya langsung ke arah gue.
"Pagi, seksi."
Gue hampir aja senyum, tapi gue tahan. Gue berbalik ngadep dia.
"Selamat pagi, Pak."
Gue sengaja manggil dia "Pak" buat ngeledek.
Dia cuma nyengir, dan gila… senyumnya bikin jantung gue kebut-kebutan. Matanya juga ada kilatan main-main yang jarang gue lihat sebelumnya.
"Mau sarapan apa?" Gue nanya dengan nada formal.
Dia ngangkat alis. "Lo masuk ke menu nggak?"
Gue langsung nahan napas. Suasana di antara kita tiba-tiba makin aneh. "Kayaknya nggak, deh."
Dia menghela napas. "Sayang banget."
Antari bangkit dari kursinya, jalan ngelilingi meja. Gue cuma bisa diam dan ngeliatin dia, gerakannya kayak pemburu yang siap nangkep mangsanya.
Sekarang dia berdiri pas di depan gue, dan ya Tuhan… otot-otot di lengannya, dadanya, perutnya, semuanya keliatan jelas. Astaga, cowok ini terlalu cakep.
"Semalem lo ninggalin gue gitu aja, Ella."
Gue nelan ludah.
"Oh, ya? Serius?" Gue pura-pura nggak ngerti.
Antari jilat bibirnya pelan. "Lo ada di pikiran gue semaleman, sialan."
Dia maju selangkah lagi, membuat gue terpojok di meja dapur. Tangannya mengepung gue di kedua sisi, bikin gue nggak punya jalan keluar.
Gue udah sempat kepikiran buat membiarkan ini terjadi, tapi pas dia benaran ada di depan gue gini, gue malah ngerasa sedikit panik. Ada keinginan buat kabur, tapi gue tahan.
"Gue maafin lo ninggalin gue semalem... tapi ada satu syarat," dia ngomong pelan sambil jari telunjuknya nyentuh bibir bawah gue. "Cium gue."
Gue ragu sebentar, tapi matanya ngeliatin gue dengan tatapan yang benar-benar dalam, bikin semua keraguan gue runtuh. Tangan gue langsung melingkar di lehernya, narik dia lebih dekat, dan bibir kami akhirnya ketemu.
Begitu bibir kami bersentuhan, sensasi itu langsung nyebar ke seluruh tubuh gue. Awalnya lembut, pelan, kayak ngetes batas kita masing-masing, tapi makin lama makin intens.
Antari jelas tau apa yang dia lakuin. Setiap gerakan bibirnya, lidahnya, bahkan cara dia gigit bibir gue sesekali, semua bikin kepala gue muter. Nggak ada cowok yang pernah nyium gue sekeren ini.
Tangan gue turun dari lehernya, meraba dadanya, perutnya, ngerasain tiap ototnya di bawah ujung jari gue.
Gue harus berhenti sebelum ini kebablasan. Lain cerita kalau ini kejadian di tengah malam, tapi sekarang udah siang bolong, kalau orang rumah tiba-tiba masuk?
Mati gue.
Gue buru-buru melepas diri dari pelukannya, napas gue masih berat. "Gue butuh udara."
Antari nyengir, tatapannya penuh percaya diri. Tangan besarnya nangkep pergelangan tangan gue.
"Mau ke kamar gue?"
Gue langsung paham maksudnya. Gue nggak tersinggung, jelas banget kalau ada ketertarikan di antara kita berdua.
Gue melepas tangannya. "Lo nggak sabaran banget, ya?"
Dia ketawa, keliatan kayak model majalah yang hidup. Dia angkat tangannya, seolah nyerah. "Tawaran gue tetap terbuka, kapan pun lo mau."
Gue mendengus. "Antari Batari, kok gampang banget gini? Nggak bagus buat reputasi lo yang katanya cool dan susah dideketin."
Dia ngangkat sebelah alis. "Cool kayak apaan?"
"Kayak gunung es. Dingin, susah ditembus."
Dia nyengir kecil. "Semalem lo ninggalin gue keras kayak gunung es."
Berengsek.
Muka gue panas seketika. Gue buru-buru membalikan badan, pura-pura nyari sesuatu di kulkas.
"Lo mau sarapan apa?" tanya dengan suara yang, sayangnya, masih agak gemetar.
"Karena lo nggak ada di menu…" Dia sengaja ngulur jawabannya. "Seperti biasa. Buah."
Gue ngeluarin beberapa buah, terus mulai motong di meja. Antari tiba-tiba berdiri di belakang gue, napasnya nyentuh tengkuk gue. Tangannya turun ke pinggang gue, terus dia naruh tangannya di atas tangan gue yang lagi motong buah.
"Gimana bisa lo tetep keliatan seksi, bahkan saat motong buah?"
Gue bisa ngerasain tubuhnya nempel di punggung gue. Dan gila, celana pendek itu bukan penghalang sama sekali…
Bibirnya nyentuh telinga gue, suaranya rendah banget. "Ke kamar gue aja, yuk."
Tangan dia mulai naik dari pinggang ke dada gue, meraba gue pelan-pelan dari atas seragam.
Napas gue langsung nggak teratur. Antari tahu persis di mana harus menyentuh, di mana harus menggigit, bikin badan gue melemah.
"Lo nggak bakal nyesel," dia bisik. "Semalem itu cuma pemanasan. Gue bisa bikin lo jauh lebih—"
Gue buru-buru menjauh, suara gue serak banget pas ngomong. "Siapa aja bisa masuk, Antari! Berhenti!"
Dia turun sedikit, nyapu lidahnya di leher gue, dan sial… kaki gue langsung gemetar.
Antari naik lagi ke kuping gue, bisikannya nyeret napas gue keluar dari paru-paru.
"Gue yakin lo udah basah sekarang."
Astaga.
Cowok ini bakal membunuh gue, baik pake tangan, lidah, maupun kata-katanya. Gue hampir kehilangan kendali, dan sumpah, satu gerakan lagi, gue bakal nyeret dia ke kamarnya dan biarin dia ngelakuin apa pun yang dia mau.
Gue buru-buru melepaskan tangannya dari dada gue, muter badan buat ngadepin dia, terus mundur selangkah.
"Cukup," kata gue, masih ngos-ngosan.
Antari kasih gue senyum jahil, terus angkat tangan seolah nyerah. "Oke, oke." Dia mundur dan duduk di seberang meja.
Gue ngelanjutin motong buah, napas gue pelan-pelan balik normal. Begitu selesai, gue nyodorin piring ke dia.
"Dulu lo benci makan buah."
Dia ngambil satu potong dan mengunyah santai. "Sehat. Dulu di kampus gue nggak punya waktu buat masak makanan sehat."
Gue mendengus. "Nggak peduli ada waktu atau nggak, lo tetep nggak bakal masak."
Dahi dia berkerut. "Maksud lo?"
"Maksud gue, lo nggak bisa masak.."
Dia ketawa. "Oh ya? Itu yang lo pikir?"
Gue nyilangkan tangan di dada. "Itu yang gue tau."
Antari menyandar di kursinya, merasa tertantang. "Asal lo tahu, gue pernah ambil kelas masak di kuliah. Dan gue dapet nilai tertinggi. Otak gue bisa ngelakuin apa aja."
Gue cuma ngelirik dia datar. Arogan begini udah bawaan semua anak keluarga Batari, jadi gue udah kebal.
"Ya? Tapi lo nggak pernah bisa ngalahin gue di game."
Senyum pede dia langsung ilang. "Game itu nggak penting," katanya datar.
"Ya, ya," gue tetep nyengir. "Lo juga nggak pernah bisa ngalahin gue di board game."
Antari menyipitkan matanya, jelas mulai kesal. "Lagi-lagi, cuma permainan. Nggak penting."
Gue angkat bahu santai. "Gue juga pernah bantuin lo di biologi pas SMA, ingat? Soalnya lo benci banget sama sel genetik."
Dia buka mulut, mau menjawab, tapi gue langsung motong. "Oh, warisan genetik juga nggak penting, ya?"
Antari cuma diam, ngunyah potongan buahnya dengan tampang nahan omongan.
Gue senyum puas.
Tapi senyum gue langsung lenyap begitu nyokapnya Antari masuk ke dapur.
"Pagi, Nak," katanya, lewat di samping Antari yang masih makan dalam diam.
Gue buru-buru nyiapin sarapan buat beliau, kayak biasa, lengkap sama korannya.
"Makasih," kata beliau, terus langsung ngeliatin Antari dengan tatapan tajam. "Udah berapa kali Mama bilang jangan keluyuran di rumah tanpa baju? Nggak sopan."
"Kan cuma hari Minggu, abis olahraga," Antari ngejawab santai.
Nyokapnya geleng-geleng. "Mama tau, kamu dan sodara-sodaramu nganggep Ellaine kayak salah satu dari kalian, tapi dia tetep cewek. Jangan seenaknya keluyuran setengah telanjang, kalian bisa bikin dia nggak nyaman."
Gue tahan tawa sekuat tenaga.
Oh, Bu…
Kalau aja lo tahu yang barusan terjadi.
Antari akhirnya nyerah. "Oke, oke. Antari bakal lebih hati-hati." Dia selesaikan makanannya, terus berdiri. "Antari mandi dulu."
Pas mau keluar, dia sempet ngelirik ke gue, tatapannya penuh makna dan jahil.
Gue cuma bisa menghela napas. Kayaknya dia nggak bakal berhenti sampe gue benaran ke kamarnya.
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔
btw, apa asta suka sama ella ya🤔