tentang seorang anak yang lahir dari seorang ibu, yang ditinggalkan oleh sang suaminya sejak dari dalam kandungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jordi Vandanu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dimana Mana Ada Kamu.
Putra mengetuk pintu kamar Dian. Setelah mengintip sedikit, lalu membuka pintu.
"ayo turun sarapan. " ajak Putra, yang terlihat segar, walau baru masuk kamar menjelang Subuh tadi.
"kita langsung ke kantor kan pak? " tanya Dian.
"iya, repot bolak balik, kita tunggu Dika di bawah saja. " jawab Putra. Dian mengangguk, lalu mengambil laptop, dan tote bag dan berjalan ke pintu. Putra memperhatikan penampilan Dian, yang selalu enak di pandang, meski untuk ukuran orang lain terlihat sederhana.
Dian memakai kemeja kotak kotak dominan merah dan hitam, lalu celana bahan model pipa warna hitam, sebagian kemeja di depan dimasukin ke dalam, pakai jilbab warna merah cabe, modis dan santai, Putra mengatakan kalau tak harus formal meeting di Bali. Sementara Putra hanya memakai kaos polo berkerah hitam, dan celana bahan, mereka terlihat serasi sekali.
Jeni yang keluar kamar, dengan tanktop dan celana pendek setengah paha.
"Dika mana Put? " tanya Jeni, tanpa melihat ke arah Dian, Jeni kesal mendengar percakapan Dika dan Putra semalam.
"belum bangun kali, kami mau tunggu dibawah saja, sarapan. " jawab Putra, lalu menggamit lengan Dian. Dian mengikuti langkah Putra, dia pun tak menoleh pada Jeni.
Putra menunjukan pada Dian.
"misalnya kamu mau ke lantai 1, pencet ini, terus ini. "
Dian memperhatikan dengan seksama, untuk keluar masuk kamar, dia sudah bisa.
"rambut kamu bagus ya Yan, hingga kalau pakai jilbab, terlihat rapi dan bervolume, kayak artis artis itu lo. " kata Putra pelan. Wajah Dian memerah.
"rezeki bapak bisa melihat rambut saya, belum pernah ada yang pernah lihat rambut saya pak. " balas Dian menunduk. Putra sangat gemas.
Dian dan Putra sampai di restoran. Dian segera mengambil sarapannya, berupa bubur ayam dan air putih hangat, tak lupa buah dan puding. Putra nampak mengambil nasi goreng lengkap.
Dian berdiri ketika melihat Putra tak ada air minum, dia mau mengambilkan. Putra hanya melihat saja.
"nih pak, minum dong, masa makan tak ada minumnya, seret lo. " kata Dian, lalu meletakan segelas air putih hangat.
"iih, norak banget deh lo, sarapan orang kampung ya pakai air putih doang. " ucap Jeni yang datang tiba tiba, langsung menggeser piring Dian, dan langsung duduk di sisi Putra.
"sarapan itu begini, salad, jus dan roti serta telur orak arik. " tunjuk Jeni ke piringnya.
"dan aku gak suka itu, apa yang kita makan, ya sesuai sama selera kitalah, ngapain ikut selera orang lain, perut kita ini. " jawab Dian santai.
Uhuk!!
Putra terbatuk mendengar jawaban tak terduga dari Dian itu. Haha.
Dika menghempaskan tubuhnya di sisi Dian.
"eh bapak, mau sarapan apa? Biar saya ambilkan. " tanya Dian.
"boleh minta tolong? "
"boleh pak. "
"sop ayam saja, sama jus jeruk hangat, nasi putih sedikit. "
Dian mau berdiri.
"eh cewek kampung, biar saya saja. " Jeni menahan langkah Dian, tapi. Dian tak peduli.
"hei kamu gak dengar! "
Dian balik badan.
"emang mbak panggil siapa? "
"kamu... " tunjuk Jeni.
"nama saya Dian, bye. " Dian mengibaskan tangannya. Tawa Putra dan Dika pecah. Jeni mendelik sebal.
"kalian menertawakan gue? "
"iya, kenapa sih lo benci banget sama Dian, padahal dia gak ganggu lo sama sekali. " ucap Putra.
"tapi di ganggu Dika. " jawab Jeni.
Putra dan Dika saling pandang.
"nggak, Dian gak ganggu gue sama sekali, justru elo yang ganggu kami. " kata Dika, Putra mengangguk.
"kalian benar benar berubah, apa karena cewek kampung itu? Hari gini di Bali? Ya kali pakai pakaian kayak gitu, gerah sayyy. " ucap Jeni yang sangat pede dengan tampilannya.
"terus masalahnya dimana? Lihat itu, itu dan noh! " tunjuk Putra, pada serombongan keluarga yang sedang sarapan, semua terlihat memakai hijab yang rapi dan modis. Jeni hanya mencabik bibir cuek.
Dian datang dengan semangkuk sop ayam, dan sedikit nasi panas, tak lupa kerupuk emping dengan segelas es jeruk hangat.
"silahkan pak. " kata Dian, sambil duduk disebelah Dika.
"eh, minggir! Kamu cari meja lain deh, kami mau sarapan bertiga saja. " usir Jeni.
"baiklah mbak. "
Diandra membawa sarapannya ke meja agak jauh dari sana. Santai sekali.
Putra dan Dika menatap Jeni dengan kesal.
"kamu benar benar keterlaluan! " ucap Dika dingin, lalu mengangkat juga sarapannya, menuju ke meja Dian, Putra menyusul.
"lu gak ada urusan lain selain mengganggu saja? " tanya Putra, meninggalkan Jeni sendiri.
"eh, lo pada mau kemana, hei. " seru Jeni. Dika dan Putra tak peduli. Jeni melihat ke arah teman temannya yang sudah duduk manis menemani Diandra. Diandra malah menjulurkan lidahnya pada Jeni.
Jeni terlihat menghentak kesal.
Setelah sarapan Putra dan Dika menuju kantor cabang, Dika akan menyusul katanya.
Jeni jadi bingung, mau ngapain di kamar, sementara Dika dan Putra sudah sibuk bekerja.
Kembali Dian menunjukan skillnya, menjelaskan semua dengan jelas, detail dan bahasanya begitu teratur, sopan. Persentasi yang begitu cemerlang, hingga kali ini tak main main, sebuah perusahaan kembali mempercayakan pembuatan rumah type menengah sebanyak 400 unit, khusus untuk karyawan mereka, setelah sebelumnya mereka juga telah membuat rumah untuk para staff sebanyak 535 uni. Benar benar project yang sangat menguntungkan.
"terimakasih Dika, kami sangat terkesan dengan semua pekerjaan yang anda lakukan, meski ini hanya anak dari perusahaan, tapi anda tetap tak main main mengurusnya. " kata relasi itu.
Mereka pun berbincang akrab kali ini.
"kita makan siang di restoran Nusantara saja yuk, restorannya teman saya Yogi. " ajak Putra.
"kamu bawa mukena kan Dian? " tanya Dika.
"bawa pak. " jawab Dian.
"baiklah Dika, Putra kami bersedia. " jawab rekan yang berjumlah 3 orang itu.
Dika, Putra dan Dian langsung menuju ke restoran, diikuti oleh rekan mereka.
Rekan rekan mereka itu, adalah anak anak muda yang mandiri, usia mereka tak terpaut jauh, hingga suasana hangat dan akrab serta hanya saling panggil nama, kecuali Dian tentunya.
"mbak Jelita kemana Dik? "
"lagi hamidun, ini Dian penggantinya. "
"pak Yudistira emang tak main main mencari karyawan, semua platinum grade. " puji Coki.
"tak ada yang gagal emang. " sahut yang lain.
Tentu saja Putra dan Dika mengiyakan, sudah terbukti juga.
Jeni memutuskan untuk jalan jalan keluar hotel, bosan juga dia dalam kamar. Jeni hidup suka suka dia saja, bekerja pun pada perusahaan keluarga, jadi dia bebas libur semau dia saja.
"alamat sesuai aplikasi ya pak. " kata Jeni pada sopir taksi.
"baik bu. " jawab si sopir ganteng itu. Sejenak Jeni tertegun di panggil ibu, tapi dia masa bodoh meski wajah Jeni tampak muram.
Jeni memasuki restoran Nusantara itu, dia melihat Dika dan Putra ada disana. Jeni terlihat senang sekali.
"heii bro, pada kesini juga, gak ngajak ngajak pun. " seru Jeni, langsung duduk di samping Putra.
Coki menatap takjub pada Jeni, dia emang penyuka cewek dengan dandanan seperti ini.
"kami habis meeting di dekat sini, jadi makan siang disini aja. " jawab Dika.
"nggak ngasih tahu gue, kenapa sih? " rajuk Jeni. Dika tak perduli. Dia memperhatikan Dian yang sedang berjalan menuju ke meja mereka. Habis salat.
"loh, elo disini juga? Heh! Dimana mana selalu ada elo ya. " ucap Jeni sinis.
"laah saya kan di ajak mbak, emang mbak? Datang sendiri. " balas Dian santai.
Putra terbahak.
Jeni merengut.
"hei kalian gak berniat mengenalkan siapa cewek cantik ini padaku? " sela Coki.
"kenalan sajalah sendiri Cok, udah ada dihadapanmu ini. " jawab Dika.
"hi cantik, saya Coki, rekan kerja Dika dan Putra. " kata Coki mengulurkan tangan.
"Jeni, teman dekatnya Dika. " jawab Jeni genit.
"wuueeek!! " sela Dian. Putra dan Dika terbahak bahak.
"kenapa lo? " tanya Jeni.
Dian hanya angkat bahu.
Coki masih memperhatikan Jeni dengan tatapan penuh arti.