"Kamu serius Jas? Kamu merestui mama pacaran sama Arjuna? Temen kamu?" tanya Cahaya tak percaya. Senyum lebar mengembang di bibirnya.
"Lo nggak bohong kan Jas? Lo beneran bolehin gue pacaran sama nyokap Lo kan?" tanya Arjuna. Meskipun merasa aneh, tapi dia juga cukup senang. Berharap jika Jasmine tidak mengecewakan mereka.
Jasmine melihat sorot kebahagiaan dari mamanya dan Arjuna. Hatinya terasa sesak, benci. Sulit baginya menerima kenyataan bahwa Mamanya bahagia bersama Arjuna.
*
*
*
Hmm, penasaran dengan kelanjutannya? baca sekarang, dijamin bakal suka deh:)))
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Gardenia Apartment
Setelah pergi dari bar dengan kondisi yang kacau, penampilannya yang berantakan, Jasmine bingung untuk harus pergi ke mana lagi. Dia tidak ingin langsung pulang. Masih terlalu siang untuk itu.
Di dalam angkot, ia merogoh tasnya, mencari ponsel. Jari-jari lentiknya menekan tombol panggilan, berharap Arjuna segera menjawab.
Namun, panggilannya tak kunjung diangkat. Pesan singkat yang dikirimnya pun tak kunjung dibaca.
Beberapa kali ia mencoba menghubungi Arjuna, namun tak ada jawaban.
Akhirnya, dengan sedikit kekesalan, Jasmine menyerah dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Argh, b4ngst banget sih Arjuna! angkat bentar kek telepon gue!" Jasmine menggerutu kesal di dalam angkot. Untunglah, hanya ada dirinya dan Pak Sopir yang asyik menyetir di depan. Setelah menyusuri jalan raya, angkot pun berhenti tepat di depan tujuan Jasmine.
"Udah sampai mbak," ujar Pak Sopir, sekilas melirik Jasmine.
Jasmine menoleh ke arah sopir angkot, lalu beranjak turun dan menghampirinya. "Nih," katanya sambil menyodorkan selembar uang berwarna biru kepada Pak Sopir melalui jendela yang terbuka.
Pak Sopir menerima uang dari Jasmine. "Makasih," setelah mengatakan itu sang sopir pun melajukan angkotnya, meninggalkan Jasmine di tepi jalan.
Sejenak Jasmine menatap ke arah jalanan, lalu ia berbalik dan menatap ke arah tempat yang ditujunya. Ia menghela napas, menatap lurus ke depan, dan melangkah masuk. Sebuah gerbang besi hitam megah terbentang di hadapannya. Saat ia membukanya dan melangkah masuk, seorang satpam menghampirinya.
"Non Jasmine," sapanya ramah. Jasmine menoleh dengan malas.
"Hmm," gumamnya singkat. Ia pun kembali melangkah, tak menghiraukan satpam itu. Sesampainya di depan pintu, ia menekan bel beberapa kali. Dari dalam, terdengar sahutan, dan pintu pun terbuka.
"Jasmine, masuk nak," kata orang yang membuka pintu itu. Seorang wanita paruh baya mengenakan dress selutut berwarna merah marun, lengan panjang dan rambutnya yang mulai memutih di beberapa bagian.
Wanita itu mengajak Jasmine masuk, dan duduk di ruang tamu. "Sebentar ya, Nak, tak buatkan minuman dulu," katanya sambil beranjak menuju dapur. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa nampan berisi segelas minuman hangat dan sepiring camilan.
"Nih, diminum dulu tehnya," ujar wanita itu sambil meletakkan nampan berisi teh cina dan camilan di atas meja. Lalu menyodorkannya kepada Jasmine.
Jasmine menoleh sekilas ke arah wanita itu, lalu matanya tertuju pada teh di atas meja. Dia mengambil cangkir teh itu, menyeruputnya perlahan, lalu meletakkannya kembali.
"Bibi sehat?" tanya Jasmine, suaranya terdengar dingin, wajahnya datar dan cuek. Tapi di balik sikap dinginnya, ada secercah kerinduan yang mengintip di balik matanya.
Wanita itu tersenyum lebar dan mengangguk. Kerutan di wajahnya terlihat jelas saat dia tersenyum. "Sehat, Jas. Kamu sendiri gimana? Sehat?" tanya wanita itu kepada Jasmine.
Jasmine mengangguk, "Sehat. Kayak yang Bibi liat sekarang," sahutnya. Ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Rumah ini masih sama seperti yang ia ingat. Tak ada yang berubah, bahkan letak barang-barang pun masih di tempat yang sama.
"Udah lama banget ya semenjak kamu ke sini. Bibi kangen banget sama kamu. Kamu kenapa nggak pernah ke sini lagi?" tanya wanita itu, matanya mengikuti arah pandang Jasmine. Suaranya hangat, penuh kelembutan, seperti ingin mengajak Jasmine untuk kembali ke masa lalu.
"Semenjak Mama sama Papa cerai, aku ikut Papa," jawab Jasmine, tanpa menoleh ke arah bibinya. "Kita tinggal di kampung, jauh dari sini. Aku sibuk sekolah, terus kuliah, Papa juga sibuk kerja. Nggak sempet deh ke sini, bahkan jalan-jalan aja jarang. Ini pun aku ke sini karena lagi gabut," lanjutnya, nada bicaranya datar.
"Ngomong-ngomong, rumah Bibi masih sama ya, nggak berubah."
Bibinya tersenyum, "Bener kan? Kamu masih inget aja sih rumah Bibi. Padahal udah lama banget kamu nggak ke sini, Bibi kira kamu udah lupa sama Bibi." Jasmine akhirnya menoleh ke arah bibinya, begitu pun dengan bibinya yang menatap balik.
Senyuman terukir di wajah wanita paruh baya itu. Tangannya terulur, menyentuh lembut pipi Jasmine. "Bibi kangen banget sama kamu. Sama mama kamu juga," ucapnya.
Jasmine mengernyit, alisnya bertaut. "Mama nggak pernah ke sini?" tanyanya, suaranya terdengar datar.
Bibinya menggeleng pelan, wajahnya muram. Tangannya yang tadinya menempel di tangan Jasmine terjatuh, wajahnya tertunduk lesu. Dia menghela napas berat, suaranya berbisik, "Mama kamu mana ada waktu sih buat keluarga? Yang ada di pikiran dia itu kerja, kerja dan kerja terus.
Dia nggak pernah ada waktu buat kita, bahkan jarang-jarang datang ke sini. Bibi udah sering nelpon dia, nyuruh dia datang, tapi jawabannya selalu ketus. Dia selalu bilang sibuk dan nggak ada waktu. Bibi capek banget.
Cuma dia keluarga bibi yang tersisa, tapi sikapnya malah kayak gitu." Nada suaranya sedikit meninggi, wajahnya berkerut, rahangnya mengeras. Dadanya naik turun, menahan emosi yang hampir meledak.
Jasmine menghela napas panjang, bersandar ke sofa. "Ah, bibi kayak nggak tau Mama aja sih. Mama kan emang kayak gitu orangnya. Mama itu orangnya ambisius banget. Sibuk melulu, nggak pernah ada waktu buat kita. Dulu mama sama papa cerai juga karena itu kan.
Papa capek menghadapi Mama yang emosian dan selalu nggak ada waktu buat keluarga. Mama selalu sibuk sama kerjaannya, sampai lupa sama aku dan papa. Akhirnya Papa marah-marah sama Mama dan mutusin buat cerai.
Waktu itu aku masih sekolah menengah, hampir tiap hari dengerin mereka berantem. Pas Papa mutusin cerai, aku ikut Papa. Bibi tau, waktu itu mama nggak peduli.
Mama malah bilang buat Papa segera tinggalin rumahnya secepat mungkin. Aku nangis banget dan berjanji nggak akan pernah balik lagi ke rumah itu." Jasmine bicara dengan nada getir, matanya berkilat tajam, wajahnya memerah.
Bibinya pun tersentuh mendengar cerita keponakannya. Dia memang tahu alasan perceraian Papa dan Mama Jasmine dulu, tapi tak menyangka kisah di baliknya sepedih itu. Dengan lembut, bibi menarik Jasmine ke dalam pelukannya.
"Sabar ya, nak. Nggak usah dipikirin Mama kamu. Di dunia ini banyak orang yang sayang sama kamu, termasuk Bibi. Bibi sayang sama kamu, nak. Jangan sedih ya," bisik bibi, sambil terus memeluk Jasmine erat. Air mata bibi mengalir, disusul air mata Jasmine yang tumpah deras.
Setegar apapun dirinya, Jasmine tetaplah seorang perempuan. Dia butuh pelukan, butuh tempat untuk bercerita dan menangis.
Arjuna memang sahabat terbaiknya, tapi melihat beban tanggung jawab Arjuna yang begitu besar, Jasmine tak tega untuk menceritakan masalahnya. Apalagi Papanya sudah melarangnya.
********
Arjuna melangkah menuju ruangan bosnya. Tadi dia mendapatkan pesan jika bosnya menyuruhnya ke ruangannya. Beberapa saat kemudian, Arjuna sampai di depan pintu ruangan sang bos. Tok, tok, tok.
"Masuk," setelah terdengar sahutan dari dalam, Arjuna membuka pintu dan melangkah masuk.
Dia menuju ke tempat bosnya duduk, lalu bertanya. "Bu Cahaya panggil saya?" tanya Arjuna sopan. Atau lebih tepatnya takut. Dia takut kena semprotan Cahaya.
Cahaya menoleh, wajahnya tak seketus sebelumnya, tapi tetap dingin dan serius. "Saya menyuruh kamu ke ruangan saya, ya jelas saya panggil kamu dong!" jawabnya ketus, alisnya mengerut, tatapannya tajam.
"Hadeh, kena semprot lagi gue," gumam Arjuna dalam hati, sambil menghela napas panjang.
Cahaya kembali bicara. "Kamu mau uang?" tanya Cahaya tiba-tiba.
Arjuna mengerutkan kening, sedikit terkejut dengan pertanyaan mendadak bosnya. "Ehm, ya tentu mau dong Bu. Tapi kenapa ya?" tanyanya, penasaran.
Cahaya tersenyum tipis, "Besok malam kamu ikut saya ke Gardenia Apartment ya. Nanti di jalan saya ceritain semuanya," ujarnya santai.
Arjuna tercengang. Matanya membulat, lalu ia bertanya dengan nada penasaran, "Bu Cahaya mengajak saya ke sana untuk apa ya?"
Cahaya menatap sinis kearah Arjuna. Seakan tidak suka Arjuna bertanya. "Nggak usah banyak tanya, Arjuna. Ikut aja, nanti saya jelasin di jalan. Oh iya, nanti sebelum jam kantor selesai saya akan kasih kamu beberapa barang. Sekarang kamu keluar dari ruangan saya, saya mau siap-siap buat meeting!" jawab Cahaya, menyuruh Arjuna untuk keluar dari ruangannya.
Arjuna mengerutkan kening, masih penasaran."Kira-kira Bu Cahaya mau ngajak gue kesana buat apa ya?" gumamnya sambil berbalik dan keluar dari ruangan bosnya.
******
Mentari sore mulai meredup, menandakan berakhirnya jam kantor. Para karyawan berhamburan pulang, meninggalkan kantor yang sepi. Arjuna pun bersiap untuk menyusul mereka, namun langkahnya terhenti. Suara bosnya memanggil dari belakang, "Tunggu, Jun!"
Arjuna berbalik dan melihat bosnya berlari kecil menghampirinya. Sesampainya di hadapan Arjuna, bosnya menyodorkan sebuah tas berwarna coklat emas. "Besok ke Gardenia apartemen kamu pakai apa aja yang ada di dalam tas itu. Setelah jam kantor selesai, saya akan tunggu kamu di taman yang gak jauh dari sini.
Ingat ya, kamu nggak boleh telat. Atau lari. Pokoknya kamu harus ikut saya besok! Ya sudah, kamu boleh pulang," ujar bosnya sambil melenggang pergi, meninggalkan Arjuna dengan segudang pertanyaan.
Arjuna terpaku, matanya mengikuti kepergian bosnya hingga sosok itu berbelok dan lenyap di balik tikungan. Ia kemudian menoleh ke arah lain, pada tas yang baru saja diberikan Bu Cahaya.
Dengan perlahan, Arjuna membuka tas itu, dan seketika matanya melebar. Di dalamnya, terhampar pakaian-pakaian mewah. "Bu Cahaya ngapain ngasih gue semua ini? Mau ngapain sih ke Gardenia Apartemen besok? Kenapa harus gue yang diajak?" gumamnya, heran.
Hening sejenak, lalu Arjuna menggeleng pelan. "Ah, bodo amat lah," katanya, lalu menutup kembali tas itu. Ia beranjak keluar kantor, menuju parkiran. Dengan santai, Arjuna menaiki motor bututnya dan melaju meninggalkan kantor.
********
Di tempat lain, seorang pria paruh baya dengan uban yang mulai menghiasi pelipisnya, tampak fokus mengendalikan kendaraannya. Seharian bekerja membuatnya lelah, ia tak sabar ingin segera pulang.
Tiba-tiba, ban depan motornya terperosok ke dalam lubang besar di tengah jalan. "Aduh!" teriak Pak Bima, papa Jasmine, setir motor oleng tak terkendali.
Ia berusaha keras untuk menyeimbangkan motor, namun sudah terlambat. Motor terjungkal, menghantam aspal dengan keras.
"Aaaaa!" Pekikan Pak Bima terputus saat tubuhnya terpelanting ke jalan. Motornya tergeletak tak bernyawa di sampingnya, mengeluarkan asap tipis dari knalpot. Darah mengucur deras dari pelipis Pak Bima, membasahi aspal.
Hening. Hanya suara angin yang berdesir dan burung-burung yang bernyanyi di kejauhan. Pak Bima terbaring tak berdaya, matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal. "Tolong...," bisiknya lirih, berharap ada yang mendengar.
*******
Sementara itu di rumah bibinya, Jasmine sedang duduk sendirian di teras, menunggu bibinya yang sedang berada di kamar mandi. Ia bersantai, memainkan ponselnya.
Tiba-tiba, ponsel yang dipegangnya terlepas dari genggaman. "Aduh!" gumamnya, sambil memungut ponselnya yang terjatuh.
Entah kenapa, hatinya tiba-tiba terasa tidak enak. "Kok tiba-tiba perasaan gue nggak enak gini ya? Ada apa ya?" gumamnya lagi, mengerutkan kening.
Bersambung ...