Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 27
Di dalam kelas, Mikaila duduk dengan tenang, mengikuti pelajaran dengan baik. Matanya fokus pada papan tulis, sesekali mencatat hal-hal penting di bukunya.
Namun, tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang tidak nyaman.
Sensasi aneh di perut bagian bawahnya membuatnya tersentak. Dalam hitungan detik, ia sadar—ia akan datang bulan.
Panik, Mikaila segera mengangkat tangannya dan meminta izin kepada guru. "Bu, saya izin ke toilet sebentar," katanya buru-buru.
Guru mengangguk tanpa curiga. Mikaila segera berdiri dan menarik tangan Rani, sahabatnya, untuk ikut bersamanya.
Mereka berjalan cepat menuju kamar mandi sekolah. Begitu masuk ke dalam salah satu bilik, Mikaila langsung berbicara dari dalam, suaranya terdengar cemas.
"Rani, tolong ambil tasku. Di dalamnya ada pembalut."
Rani menurut. Ia kembali ke kelas, mengambil tas Mikaila, lalu membawanya ke kamar mandi. Dengan cepat, ia membuka resleting tas dan mulai mencari benda yang dimaksud.
Namun, setelah beberapa saat menggeledah isi tas, ekspresi Rani berubah bingung.
"Mikaila, di dalam tasmu nggak ada pembalut," katanya sambil mengernyit heran.
Dari dalam bilik, Mikaila bersikeras. "Nggak mungkin! Aku selalu bawa! Coba cari lagi di kantong kecil!"
Rani mengecek kembali. Ia membuka semua saku di dalam tas, bahkan mengeluarkan beberapa barang. Namun, hasilnya tetap sama—tidak ada.
"Mikaila, benar-benar nggak ada," ulang Rani.
Hening sejenak.
Lalu, seolah ada sesuatu yang menohok hatinya, Mikaila tersadar.
Biasanya, yang menyiapkan semua ini adalah Sofia—ibunya.
Setiap bulannya, tanpa ia sadari, ibunya selalu memastikan ada stok pembalut di dalam tasnya. Ibunya yang diam-diam mengecek, memastikan bahwa Mikaila tidak pernah mengalami situasi seperti ini.
Namun sekarang … Sofia sudah tidak ada lagi di rumah.
Untuk pertama kalinya, Mikaila merasakan dampak nyata dari kehilangan sosok ibunya. Ia selalu berpikir bahwa hidup tanpa Sofia tidak akan berbeda. Ia masih memiliki Vanessa, ibu sambungnya. Ia masih bisa menjalani hidupnya seperti biasa.
Namun ternyata, ada banyak hal kecil yang selama ini ibunya lakukan untuknya—hal-hal yang selama ini tidak pernah ia hargai, tetapi sekarang terasa begitu berarti.
Dari dalam bilik, suara Mikaila terdengar lebih pelan, lebih berat.
"Ran … bisa tolong pinjamkan aku dulu?" tanyanya pelan, suaranya tak setegas sebelumnya.
Rani mengangguk cepat. "Iya, tentu!" Ia segera membuka tasnya sendiri dan mengambil satu pembalut, menyerahkannya di bawah pintu bilik.
Mikaila menerimanya tanpa berkata apa-apa lagi.
Saat itu, untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang kosong di hatinya—sebuah kehampaan yang baru ia sadari setelah kehilangan sosok yang selama ini selalu ada untuknya.
Namun, lagi-lagi Mikaila mencoba menepisnya dan berkata itu hanyalah hal sepele.
****
Di dalam ruang kerjanya yang sederhana, Sofia duduk di depan meja, matanya fokus pada layar tablet yang menampilkan berbagai desain pakaian. Tangannya dengan cekatan menggambar pola, menyesuaikan setiap detail sesuai permintaan Rex Corporations.
Tenggelam dalam pekerjaannya, Sofia bahkan tidak menyadari waktu telah berlalu begitu cepat. Sejak menerima kontrak dari perusahaan besar itu, ia semakin sibuk. Namun, bukannya merasa lelah, justru ada semangat baru yang menyala dalam dirinya.
Kini, ia bukan lagi wanita yang hanya menghabiskan waktu di dapur atau mengurus rumah tangga tanpa penghargaan. Kini, ia adalah Sofia Amara, seorang desainer yang sedang merintis kesuksesannya sendiri.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan ringan di pintu.
Sofia mengangkat kepalanya tepat saat wajah Elleanor muncul dari balik pintu dengan senyum cerah.
"Tante Sofia." Elleanor menyebut namanya dengan nada manja, "makan dulu, yuk! Tante dari tadi belum berhenti kerja, kan?"
Sofia tersenyum kecil. "Sebentar lagi, sayang. Tante mau menyelesaikan detail ini dulu."
Elleanor mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal. "Kalau tante nggak makan sekarang, nanti aku ngambek, lho!"
Sofia tertawa kecil. Ia meletakkan pensil digitalnya dan menoleh ke arah gadis itu.
"Baiklah, baiklah. Tante menyerah," katanya sambil berdiri.
Dari balik pintu, tiba-tiba Edward muncul, menyandarkan bahunya di kusen pintu dengan ekspresi tenang seperti biasa.
"Bagus kalau Tante Sofia ikut makan," katanya santai. "Aku dan Elleanor sudah memesan makanan favorit tante."
Sofia menatap kedua anak muda itu dengan rasa hangat di hatinya. Meski dulu ia kehilangan sesuatu, Tuhan memberinya kesempatan untuk mendapatkan keluarga baru.
"Terima kasih," katanya tulus.
Edward hanya mengangkat bahu, sedangkan Elleanor tersenyum lebar dan menarik tangan Sofia, menggiringnya keluar dari ruang kerja.
Di ruang makan kecil yang hangat, Elleanor dengan antusias membuka bungkusan makanan yang baru saja mereka pesan. Aroma menggoda langsung memenuhi ruangan, membuat perut Sofia sedikit bergejolak karena lapar.
Saat Elleanor mengeluarkan isi kotak makanan dan menatanya di meja, mata Sofia membulat terkejut.
Seafood.
Udang, kepiting, cumi-cumi, dan ikan bakar tersaji dengan menggoda di hadapannya.
“Surprise!” seru Elleanor ceria. “Aku tahu Tante suka seafood, jadi aku pesan yang terbaik!”
Sofia terdiam. Dadanya terasa sesak oleh perasaan yang sulit dijelaskan.
Ingatan masa lalunya mendadak muncul, membawanya kembali ke sebuah momen bertahun-tahun lalu—saat ia masih menjadi istri Robin dan ibu dari Mikaila dan Reno.
Kala itu, mereka pergi ke sebuah restoran di pinggir pantai. Sofia, yang sejak dulu menyukai seafood, bersemangat ingin memesan makanan favoritnya. Namun, saat ia baru saja menyebutkan pesanannya, Robin, Mikaila, dan Reno langsung menegur dengan nada keberatan.
“Jangan pesan seafood, Mama. Tante Vanessa alergi.”
“Iya, Ma. Kasihan Tante Vanessa nanti kalau sampai kena baunya.”
“Kamu nggak bisa pilih makanan lain aja, Sofia?” Robin menatapnya tajam, seolah permintaannya itu sangat berlebihan.
Sofia, yang saat itu hanya ingin menjaga keharmonisan keluarga, akhirnya mengalah. Ia tersenyum tipis dan memilih menu lain, meskipun hatinya merasa sesak.
Sejak saat itu, Sofia terbiasa memendam keinginannya sendiri. Ia tidak pernah lagi makan seafood—bukan karena ia tidak ingin, tapi karena ia terbiasa untuk selalu mengutamakan orang lain di atas dirinya sendiri.
Namun kini … seseorang mengingat apa yang ia suka.
Seseorang memedulikannya.
Seseorang … tidak memintanya untuk mengalah.
Sofia tersentak kecil saat Elleanor dengan sigap mengambil udang rebus, mengupas kulitnya dengan cekatan, lalu menyodorkannya ke piring Sofia.
“Ini buat Tante. Makannya yang banyak, ya.” Elleanor tersenyum lembut.
Tak berhenti di situ, Elleanor juga mengambil kepiting, memecahkan capitnya, dan meletakkan dagingnya di piring Sofia.
Sofia menatap gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak menyangka perhatian sekecil ini bisa membuatnya begitu terharu.
Di sisi lain, Edward hanya diam sambil menyuap makanannya, tetapi dari ekspresinya, terlihat jelas bahwa ia juga ikut memperhatikan Sofia.
Sofia menelan ludah, berusaha menenangkan emosinya. Dengan suara yang sedikit bergetar, ia berkata, “Terima kasih, Elleanor … Edward .…”
Elleanor terkekeh. “Tante ini kenapa? Baru dikupasin udang aja sampai terharu begitu.”
Sofia tersenyum tipis. “Kalian nggak tahu … betapa berartinya ini untuk Tante.”
Edward menatapnya sesaat, lalu berkata dengan nada santai namun penuh makna, “Mulai sekarang, kalau Tante mau sesuatu, katakan saja. Jangan memendam sendiri.”
Sofia terdiam.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa … dihargai.
Senyum lembut muncul di wajahnya. Tanpa ragu, ia mengambil garpu dan mulai menikmati seafood yang sudah bertahun-tahun tidak ia rasakan.
Dan kali ini, ia makan tanpa rasa bersalah.