Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 24
Renjana memegang erat selimut di tangannya, seolah benda itu memberinya keberanian lebih. Keputusan yang dia buat tadi siang, untuk memasuki ruang yang selama ini tersembunyi dari semua mata, mulai terasa semakin nyata. Langkah kakinya terasa berat, namun tekad yang menggerakkannya membuatnya terus maju.
Sebelum memutuskan untuk melangkah lebih jauh, ia menoleh sejenak ke arah cctv yang terpasang di langit-langit. Hatinya sedikit lega mengetahui bahwa cctv di lorong itu sedang rusak, beruntung karena sebelumnya dia mendengar staf administrasi yang menelepon untuk melaporkan kerusakan itu. Ini adalah kesempatan, mungkin pertanda dari atas bahwa waktunya telah tiba, pikirnya.
Dengan rasa was-was yang kian menggelayuti hati, Renjana melangkah maju, setelah menutup pintu di belakangnya. Tangga yang mengarah ke bawah terlihat tidak terlalu menakutkan. Beberapa lampu redup tergantung di sepanjang dinding, memberikan sedikit cahaya yang membuatnya lebih mudah untuk melihat setiap langkahnya. Namun, meski ada penerangan, suasana yang menyelimuti ruangan itu tetap terasa mencekam. Angin sepoi-sepoi seolah berbisik, menambah kesan seram yang memenuhi lorong itu.
Dia melangkah lebih jauh, suara langkah kakinya bergema di lorong sepi. Dengan setiap anak tangga yang dilewati, rasa curiga semakin mendorongnya untuk terus melangkah, meskipun ketakutan kian mencekam dirinya. Pikirannya kembali mengingat apa yang telah ia temukan selama ini—benda-benda mencurigakan, perilaku tak biasa dari beberapa orang, dan misteri seputar anak-anak yang hilang tanpa jejak.
Harus ada sesuatu yang bisa ku temukan di sini, batinnya, menepis rasa takut yang kian menggebu.
Renjana merasakan perasaan tak nyaman saat bau amis yang tercampur dengan bau busuk itu semakin menyengat, seakan-akan datang dari dalam tubuhnya sendiri. Dia menahan napas sejenak, berusaha melawan rasa mual yang tiba-tiba menyerang. Dengan langkah hati-hati, dia menuju ke ruangan yang terletak di ujung lorong, berharap itu bisa menjelaskan segalanya. Namun, pintu pertama yang dia coba ternyata terkunci rapat. Renjana mengerutkan kening dan menarik napas dalam-dalam. Hanya ada satu kunci yang dia temukan, dan kunci itu tidak dapat membukakan pintu yang ingin dia akses.
Dia melangkah menuju ruangan lainnya. Kali ini pintu terbuka tanpa kesulitan, dan Renjana masuk perlahan ke dalam ruangan. Saat lampu menyala, pemandangan yang terbuka di hadapannya membuatnya terdiam beberapa saat. Di dalam ruangan itu ada empat ranjang medis dengan tirai yang terbagi di setiap sisi, menyerupai ruang perawatan rumah sakit. Semuanya tampak tertata rapi, meskipun ada aura dingin yang terasa sangat berbeda dari seluruh tempat lain di panti tersebut.
Ruangan itu terasa seperti rumah sakit mini—terlihat ada peralatan medis yang tak biasa ditemukan di ruang panti asuhan, seperti alat untuk memantau tanda-tanda vital pasien, serta beberapa rak yang terisi dengan kotak obat. Beberapa botol obat bahkan tampak tidak tertutup rapat, seakan sudah lama tidak digunakan. Bau amis yang memenuhi ruangan semakin pekat, mengarah pada sesuatu yang lebih mengerikan.
Renjana berjalan perlahan, matanya memindai setiap sudut ruangan. Dia merasa jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang aneh di sini. Beberapa benda seperti alat suntik, masker medis, dan botol cairan tergeletak begitu saja di meja samping ranjang-ranjang itu. Beberapa di antaranya terlihat sudah rusak, dengan lapisan debu yang menempel, memberi kesan bahwa ruangan itu jarang digunakan. Namun, ada satu hal yang membuatnya semakin curiga: di ujung ruangan, ada lemari obat yang tertutup rapat.
Matanya tertuju pada lemari tersebut, merasa ada sesuatu yang mengintai di baliknya. Dengan hati-hati, Renjana mendekat, menarik laci pertama yang dia temukan. Di dalamnya terdapat berbagai obat dalam kemasan yang sudah usang, tetapi tidak ada yang menarik perhatian kecuali beberapa botol kecil berwarna cokelat yang bertuliskan "Untuk Keperluan Khusus."
Renjana menggenggam botol-botol tersebut, merasa gelisah. Ada rasa tidak nyaman yang semakin mengganjal perasaannya.
Renjana merasakan ketegangan yang luar biasa mengalir dalam tubuhnya. Setiap detak jantung terasa begitu keras, dan napasnya terasa sesak di dada. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ketika mendengar suara pintu di atas terbuka, dia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Dengan cepat, dia mematikan lampu, meredupkan semua cahaya yang bisa membeberkan posisinya.
Dia melangkah terburu-buru menuju pintu dan menuju ke sudut ruangan, lalu menyelinap ke dalam sebuah lemari besi yang terletak di dekat tangga. Tangannya menggenggam erat selimut yang masih ada di tangannya, mencoba menenangkan dirinya. Tubuhnya terasa gemetar, namun dia berusaha menahan napasnya agar tidak terdengar. Kegelapan dalam lemari besi menambah rasa takut yang semakin menguat. Hanya suara langkah kaki yang terdengar jelas, semakin mendekat ke arah tangga.
Renjana bisa mendengar suara pintu lainnya terbuka di lantai atas, lalu langkah-langkah itu berhenti tepat di depan tangga. Suara itu seakan menggetarkan dinding ruangan. Tidak ada suara selain langkah itu, dan setiap detiknya terasa seperti berjam-jam. Renjana menundukkan kepala dan merasakan tubuhnya dipenuhi oleh rasa cemas dan ketakutan. Siapa yang sedang berada di sana? Apakah itu seseorang yang bisa mengetahui keberadaannya? Dia berusaha tidak bergerak, memeluk erat selimutnya untuk menutupi tubuhnya yang gemetar.
Langkah kaki semakin jelas terdengar, mendekat satu per satu dengan perlahan, seakan sengaja membuat suasana semakin menegangkan. Suara siulan yang terdengar di antara langkah kaki itu semakin membuat jantung Renjana berdegup lebih cepat, seperti sebuah irama yang tidak bisa dia hindari. Setiap desahan napas yang dia tahan semakin terasa berat, seolah seluruh tubuhnya terbungkus ketegangan yang luar biasa.
Renjana berusaha menenangkan diri, meremas selimut yang ada di tangannya dengan kuat, berharap agar tubuhnya yang gemetar tidak terdengar. Dia menundukkan kepalanya lebih dalam, berusaha menyatu dengan kegelapan lemari besi, berharap bahwa orang itu tidak akan menyadari kehadirannya.
Dia bisa mendengar dengan jelas langkah kaki yang semakin mendekat, menuju ke arah lemari tempat dia bersembunyi. Telinganya menajam, mendengar setiap detil langkah yang menghentak perlahan di lantai, berpadu dengan suara siulan yang tidak berhenti, seolah orang itu menikmati ketegangan ini. Renjana bisa merasakan bagaimana waktu terasa membeku, setiap detik berlalu sangat lambat, dan dia berharap agar tidak ada suara dari tubuhnya yang bisa membocorkan tempat persembunyiannya.
Kemudian, langkah kaki itu berhenti tepat di depan lemari besi tempat Renjana bersembunyi. Denyut jantungnya hampir bisa didengar di seluruh ruangan. Ia menahan napas, merasa setiap detik adalah pertaruhan antara hidup dan mati. Sosok yang sedang mendekat itu tampak memeriksa dua ruangan lain dengan perlahan, memeriksa setiap sudut seolah mencari sesuatu yang hilang. Waktu berjalan sangat lambat bagi Renjana, dan rasa takut yang menggerogoti tubuhnya semakin menguat.
Langkah kaki itu kembali terdengar mendekat, kali ini semakin dekat, seakan tidak ada lagi ruang bagi Renjana untuk bersembunyi. Setiap detik berlalu begitu berat, dan Renjana merasa keringat dingin mengalir di dahinya. Orang itu berhenti tepat di depan lemari besi, hanya beberapa inci saja memisahkan mereka. Renjana merasa ketegangan itu hampir mencekiknya. Siulan itu berhenti sejenak, menggantung di udara, dan seisi ruangan menjadi sunyi.