Riri, gadis polos nan baik hati, selalu mendapatkan penderitaan dari orang-orang di sekitarnya. Kehangatan keluarganya sirna, orang tua yang tak peduli, dan perlakuan buruk dari lingkungan membuat kepercayaan dirinya runtuh. Di tengah kebaikannya yang tak pernah lekang, Riri harus berjuang melawan luka batin yang mendalam, merangkak dari kehancuran yang disebabkan oleh mereka yang seharusnya melindunginya. Akankah Riri mampu bangkit dari keterpurukan dan menemukan kembali harapannya? Atau akankah ia selamanya terjebak dalam kegelapan yang menyelimuti hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Fox_wdyrskwt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
༺ ༻ BAB 9 ༺ ༻
...✧༺♥༻✧...
RiRi berlari menuju lantai tiga kebawah, hatinya dipenuhi kemarahan dan kecemasan. Ia mengambil tasnya, namun apa yang dilihatnya membuat air matanya mengalir deras.
Buku-bukunya berantakan, beberapa halaman sobek. Dan… Al-Qur'an kesayangannya… juga rusak dan sobek! RiRi merasa dunianya hancur. Semua yang ia hargai, semua yang ia lindungi, kini rusak karena perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Mentari mulai tenggelam, menandakan waktu pulang sekolah. Suasana kelas sudah sepi, hanya RiRi yang tersisa. Dengan langkah yang tegas, RiRi menuju meja Ian dan Rizki. Ia mengambil beberapa buku milik mereka, lalu menyembunyikannya di dalam lemari.
Beberapa buku lainnya diletakkannya di atas papan tulis. RiRi bergumam dengan suara yang rendah tetapi tegas, "Emang kalian doang yang bisa? Aku juga bisa! Biarin aja… hmm… aku sobek juga sekalian!"
Hari berlalu dan Mentari pagi menyinari ruang kelas, namun suasana yang tercipta jauh dari hangat. Kelas ramai oleh suara-suara protes. Buku-buku yang berada di atas papan tulis, buku-buku yang sobek, dan buku-buku yang hilang menciptakan kebingungan dan kemarahan.
Semua siswa berusaha mencari pelaku di balik kejadian ini, namun mereka tidak mengetahui bahwa pelakunya adalah RiRi. RiRi, yang menyaksikan kebingungan teman-temannya, tersenyum puas. Ia duduk dengan santai di tempat duduknya, menikmati hasil perbuatannya.
Ian dan Rizki mengeluarkan suara keheranan dan kebingungan. "Ih… siapa nih pelakunya?" ujar Ian.
"Gak tahu nih," jawab Rizki.
Amel menambahkan, "Gak mungkin kan si Inces itu? Dia aja pendiem."
Yola menimpali, "Oh… kalo RiRi? Mana berani dia? Dia mah penakut." RiRi yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum tipis.
Ia bergumam dalam hati, "Bagus deh… gak ada yang tahu…"
Hari-hari berlalu, RiRi terus melakukan aksi sembunyinya, mengumpat barang-barang teman-temannya yang selalu menjahili dia. Namun, tidak ada yang mencurigai RiRi. Satu minggu berlalu, RiRi mulai lelah dengan perbuatannya. Ia putuskan untuk berhenti, fokus pada dirinya sendiri.
Namun, teman-temannya masih terus menjahili RiRi. RiRi yang sedang tenang dan pendiam sering kali dijadikan target ejekan tanpa alasan. Suatu hari, ketika teman-temannya sedang bercanda ria, RiRi tiba-tiba ingin keluar kelas.
Saat RiRi hendak keluar kelas, tiba-tiba Ian berlari dan tidak sengaja bertubrukan dengan RiRi. Tubuh RiRi terhuyung, perutnya terkena pukulan Ian. "Aduh… RiRi… maaf… aku beneran gak sengaja," ujar Ian dengan nada yang penuh penyesalan.
RiRi menahan sakit, "I…iya… udah…" jawabnya dengan suara yang lemah. Meskipun RiRi tahu bahwa itu bukan kesengajaan, namun rasa sakit di perutnya masih terasa menusuk.
...✧༺♥༻✧...
Sepulang sekolah, RiRi langsung masuk ke kamarnya. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas. Demam tinggi menyerangnya. Orang tuanya yang melihat kondisi RiRi yang tiba-tiba sakit sangat khawatir. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi pada RiRi.
Ibu dengan nada khawatir. "RiRi… Sayang… kamu kenapa kok wajahnya pucat begini? Tubuhmu juga panas sekali. Kamu sakit, ya?"
Ayah dengan nada khawatir. "Iya, Sayang. Ceritakan pada Ayah dan Ibu. Ada apa? Kamu kenapa?"
RiRi dengan suara lemah. "Aku… aku cuma nggak enak badan, Bu… Pa… Aku… pusing… mungkin cuma demam biasa."
Ibu dengan nada lembut. "Demam biasa? Tapi kamu terlihat sangat lemah, Sayang. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Ceritakan pada Ibu. Ibu akan membantumu."
Ayah dengan nada tegas namun lembut. "Iya, Nak. Jangan takut untuk bercerita pada kami. Apapun masalahnya, kami selalu ada untukmu."
RiRi menunduk, menahan air mata, Diam, mencoba menahan rasa sakit dan menahan untuk tidak menceritakan kejadian sebenarnya. "…Aku… aku cuma capek aja, Pa… Bu… Besok aku sudah baikan kok."
Ibu memeluk RiRi. "Baiklah, Sayang. Istirahat yang banyak, ya. Ibu akan siapkan obat dan makanan hangat untukmu."
Ayah mengusap kepala RiRi. "Jangan kuatir, Nak. Istirahat yang baik. Ayah dan Ibu akan selalu ada untukmu."
Tiga hari berlalu, demam RiRi tidak juga turun. Tubuhnya masih mengigil, wajahnya semakin pucat. Orang tua RiRi sudah yakin ada sesuatu yang tidak beres. Mereka pergi ke sekolah untuk bertanya kepada guru-guru dan teman-teman RiRi.
Setelah menanyakan berbagai hal, akhirnya mereka mendapatkan informasi yang penting. Ian, yang merasa sangat bersalah, mengangkat tangan dan meminta maaf. Ia menceritakan kejadian waktu itu, ketika ia tidak sengaja menabrak RiRi dan memukul perut RiRi.
Orang tua RiRi kemudian mengajukan permohonan kepada pihak sekolah agar RiRi diizinkan untuk cuti dan pindah sekolah. Namun, permohonan mereka ditolak. Pihak sekolah mengatakan bahwa semester baru sudah mulai, dan mereka tidak bisa mengizinkan RiRi untuk cuti atau pindah sekolah.
Satu minggu telah berlalu. Demam RiRi akhirnya sembuh. Hari ini, RiRi kembali ke sekolah. Namun, perasaannya masih dipenuhi ketakutan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Aduh… semoga hari ini baik-baik saja… dan tidak ada masalah lagi…" gumamnya dalam hati. Pikiran tentang pindah sekolah masih menghantuinya.
"Mereka ingin melihat aku menderita terus… apa semua guru itu bodoh? Tidak bisa melihat seseorang yang di-bully? Mereka mementingkan diri mereka sendiri…" batinnya dengan nada kecewa dan sedikit marah.
RiRi memasuki kelas. Suasana kelas berbeda dari biasanya. Semua teman-temannya berkumpul mengelilinginya, menanyakan keadaannya. Ian, dengan wajah penuh penyesalan, mendekati RiRi untuk meminta maaf sekali lagi.
Meskipun teman-temannya tampak prihatin dengan kesehatan RiRi, namun kenyataannya mereka tetap menjauhi RiRi. Mereka membiarkan RiRi sendiri, duduk sendirian di pojok kelas.
RiRi terus bergumam dalam hati. "Mau bagaimana pun juga… mereka tidak akan berubah…" batinnya dengan nada yang penuh kekecewaan.
"Dan para guru-guru itu… sebenarnya buta… seperti yang aku katakan… guru-guru di sini pada bodoh… mereka tidak tahu mana yang benar, dan mana yang salah… "
"kalau mereka tidak tahu… ngapain mereka jadi guru? Ya sudahlah… mereka itu sangat tidak waras… lebih baik aku diam saja…" gumamnya dengan nada yang penuh kekecewaan dan rasa pasrah.
Hari-hari berlalu dengan lambat. RiRi terus menjalani hidup sekolahnya dengan penuh kehati-hatian. Ia duduk sendiri di pojok kelas, mengamati teman-temannya dari kejauhan. Kadang, ia melihat Ian menatapnya dengan rasa bersalah.
Namun, itu tidak mengurangi rasa sakit hati RiRi. Suatu sore, setelah sekolah, RiRi melihat seorang nenek tua sedang kesulitan membawa belanjaannya. Tanpa terpikir panjang, RiRi mendekati nenek itu dan membantu membawa belanjaannya sampai ke rumahnya. Nenek itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih dengan hangat.
Senyum nenek itu memberikan sedikit cahaya di hati RiRi yang gelap. Di jalan pulang, RiRi melihat seekor kucing kecil yang terluka di pinggir jalan. RiRi menolong kucing itu dan membawanya ke klinik hewan. Melihat kucing itu tertolong, RiRi merasakan perasaan yang hangat di hatinya.
...✧༺♥༻✧...
Hari-hari berlalu dengan cepat. RiRi sedang menjaga adiknya yang masih kecil. Tiba-tiba, Ibunya memanggilnya. "RiRi… cepat… belikan Ibu obat nyamuk cair!" pinta Ibunya dengan nada yang agak tergesa-gesa.
Tanpa banyak berpikir, RiRi langsung ke toko dan membeli obat nyamuk cair sesuai permintaan Ibunya. Namun, beberapa saat kemudian, tanpa pengetahuan RiRi, Ibunya menuangkan obat nyamuk cair itu ke dalam gelas dan meminumnya! Ayah RiRi yang melihat kejadian itu langsung panik. Ia dengan cepat mengendong Ibunya menuju klinik terdekat.
Ayah RiRi menggendong Ibunya dengan panik menuju klinik… Tapi… ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar kecelakaan! Ternyata… Ayah RiRi kembali selingkuh! Dan… Ibu RiRi melakukan itu… karena… karena rasa sakit hati dan kecewa yang mendalam!
Ruangan itu dipenuhi suasana tegang dan sedih. Ibu RiRi terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, diinfus. RiRi menangis tersedu-sedu, merasa sangat bersalah dan kecewa. Untunglah, Ibunya selamat.
Namun, pertanyaan besar masih menghantui pikiran RiRi dalam hati "mengapa Ibu melakukan hal itu?" RiRi terus bergumam dalam hati, mencoba memahami situasi yang sulit ini.
Tiba-tiba… Nenek Mee datang! Dengan marah, Nenek Mee menampar Ayah RiRi berkali-kali! suara Nenek Mee dengan nada yang kuat. "PLAKK...."
"Ini alasannya dulu aku tidak setuju kau menikahi anakku! Sudah banyak kesalahanmu! Kau tidak ingat kah anakmu sudah banyak ?!". "Anak ku menderita karena perbuatanmu?!"
"Tapi kau malah terus selingkuh! Bodoh!" Nenek mee teriaknya dengan nada yang penuh kemarahan dan kekecewaan.
Ayah RiRi terdiam, wajahnya memerah menahan malu dan amarah Nenek Mee. Ia tertunduk, tak berani menatap mata mertuanya yang penuh amarah dan kecewa. RiRi yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menangis tersedu-sedu, hatinya hancur melihat pertengkaran hebat antara orang tuanya dan neneknya.
Suasana ruangan menjadi sangat tegang, hanya suara isak tangis RiRi yang memecah kesunyian. Setelah Nenek Mee mengeluarkan segala kecewaannya, ia duduk di sisi tempat tidur Ibu RiRi, memegang tangan putrinya dengan lembut. Nenek Mee mencoba menenangkan Ibu RiRi dan mengucapkan kata-kata penghiburan.
Ayah RiRi masih tertunduk diam, rasa bersalah dan penyesalan tampak jelas terpancar dari wajahnya RiRi masih terpaku di tempatnya, hatinya hancur lebur melihat keluarga yang seharusnya harmonis ini hancur berantakan.
...✧༺♥༻✧...
Satu minggu berlalu… Kondisi Ibu RiRi semakin membaik! Ini adalah kabar yang sangat baik! RiRi kembali ke sekolah… tetapi bayangan kejadian itu masih menghantui pikirannya.
Ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pelajarannya. Hubungan antar keluarga juga semakin membaik…
Seminggu berlalu di iringi bau kapas dan antiseptik yang masih melekat di ingatan RiRi. Ibu RiRi akhirnya boleh pulang. Rumah mereka, yang sebelumnya dipenuhi ketegangan, kini terasa lebih hangat, meski bekas-bekas luka masih terasa.
Cahaya matahari pagi menembus jendela, menyinari debu-debu yang menari dalam sinar yang masuk. Ibu RiRi, wajahnya masih pucat tapi senyumnya sudah kembali, duduk di kursi dekat jendela, menatap taman kecil di halaman.
RiRi melihat itu dari balik pintu, menahan sesenggukan yang ingin meledak. Ia masih terngiang kata-kata Nenek Mee, keras dan tajam seperti pecahan kaca.
Namun, ada sesuatu yang berbeda di udara. Ayah RiRi tidak lagi menghindar pandangan Ibunya, bahkan ia membantu menyiapkan sarapan dengan kaku, tapi dengan tulus. Mungkin, ini adalah awal perubah.
...✧༺♥༻✧...
...Bersambung......