Ellia Naresha seorang gadis kecil yang harus menjadi yatim piatu diusianya yang masih sangat muda. Setelah kepergian orang tuanya, Ellia menjalani masa kanak-kanaknya dengan penuh siksaan di tangan pamannya. Kehidupan gadis kecil itu akan mulai berubah semenjak ia melangkahkan kakinya di kediaman Adhitama.
Gavin Alvano Adhitama, satu-satunya pewaris keluarga Adhitama. Dia seorang yang sangat menuntut kesempurnaan. Perfeksionis. Dan akan melakukan segala cara agar apa yang diinginkannya benar-benar menjadi miliknya. Sampai hari-hari sempurnanya yang membosankan terasa lebih menarik semenjak Ellia masuk dalam hidupnya.
Cinta dan obsesi mengikat keduanya. Benang takdir yang sudah mengikat mereka lebih jauh dari itu akan segera terungkap.
Update tiap hari jam 08.00 dan 20.00 WIB ya😉🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si Narsis
Ellia sudah sampai di depan gerbang sekolahnya yang baru. Itu adalah sekolah swasta biasa. Walaupun demikian, Ellia sama sekali tak mengeluh. Ia sudah sangat bersyukur dan berterima kasih pada paman Yunus yang mau membantunya melanjutkan pendidikannya. Awalnya Ellia menolak karena merasa tak enak hati. Namun, paman Yunus menegaskan padanya kalau suatu saat nanti Ellia bisa menebusnya dengan kesuksesan.
"Masuklah. Belajar yang rajin. Nanti, saat pulang naiklah bus yang kita tumpangi tadi. Kau masih ingat kan?" Tanya paman Yunus memastikan. Karena nanti ia tak bisa menjemput Ellia.
"Baik paman. Aku masih ingat kok, percayalah padaku. Paman harus cepat kembali dan semangat bekerja ya." Jawab Ellia dengan senyum cerah. Dalam hati Yunus ia memikirkan, sepertinya ia harus menyisihkan uang untuk membeli ponsel, supaya bisa berkomunikasi dengan mudah.
Sebelumnya Yunus memang tak ada niatan untuk membeli ponsel, karena tak ada orang yang bisa ia hubungi. Namun, kini berbeda. Dengan ponsel ia bisa menghubungi Ellia kapanpun kalau sedang berjauhan. Ia juga akan jadi lebih tenang.
Setelah berpamitan, akhirnya Yunus kembali pulang. Dan Ellia dengan semangat memasuki sekolahnya. Walaupun, bukan tempatnya orang-orang elit. Sekolah itu bagi Ellia sudah cukup besar.
Sekolah dimulai dengan masa orientasi siswa seperti biasa. Semuanya berjalan dengan lancar. Ellia juga dengan mudah bergaul dengan teman-teman barunya. Karena, dari latar belakang keluarga yang sama-sama sederhana Ellia merasa lebih nyaman. Tak ada yang membeda-bedakan status.
Tak terasa kegiatan hari itu berjalan dengan lancar dan sudah waktunya pulang. Ellia berjalan ke halte bus terdekat dari sekolahnya bersama beberapa teman lainnya. Ia mengingat bus mana yang harus ia naiki. Selama perjalanan satu persatu teman-temannya turun di beberapa halte yang dilewati bus itu.
Sampailah Ellia di pemberhentian terakhir, tempat ia harus turun. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dengan berjalan santai. Sewaktu berjalan, ia melihat di depannya juga berjalan seorang anak laki-laki yang berseragam sama dengannya. Sepertinya, dia teman dari sekolah yang sama dengannya, namun mungkin tak sekelas, karena Ellia tak mengenalnya.
"Hei kau! Sudah cukup di sekolah aja kau membuntutiku. Mau sampai kapan kau mengikutiku terus?! Aku tahu, aku ini tampan dan keren. Tapi, aku juga punya privasi tahu!" Seru anak laki-laki itu tiba-tiba membuat Ellia terkejut. Terlebih anak laki-laki itu berteriak tanpa menoleh ke arahnya.
Karena, Ellia merasa tidak mengikuti anak itu. Ellia cuek dan memilih melanjutkan saja jalannya dan melewati anak laki-laki itu. Namun, saat langkah mereka sejajar anak laki-laki itu langsung menarik tangannya hingga tas Ellia terjatuh di tanah. Ellia sangat terkejut. Dan di sanalah ia bertatapan pertama kali dengan anak laki-laki itu.
"Sampai kapan kau akan menatapku, hah?!" Seru anak laki-laki itu lagi.
"Apa maksudmu? Kan kamu yang pertama menarik tanganku dengan tiba-tiba sampai tasku terjatuh. Apa maumu?" Tanya Ellia tak kalah judes, sembari menarik tangannya dari genggaman anak laki-laki itu. Ia juga segera mengambil tasnya yang terjatuh sembari menatap tajam ke arah anak laki-laki itu.
"Hah. Tidak perlu pura-pura lagi. Kau mengikutiku kan?! Sudah cukup mengejar-ngejarku di sekolah aja. Bukankah keterlaluan kalau sampai mengikuti ke rumah?!"
"Apa maksudmu? Aku sama sekali tak mengikutimu. Aku hanya berjalan pulang ke arah rumahku juga!" Seru Ellia yang mulai terbawa emosi.
"Haha. Kau pikir aku akan percaya?! Persimpangan ini, adalah persimpangan terakhir perumahan daerah sini. Kalau mau yang lebih jauh kau harus naik bus lagi. Sedangkan kau berjalan kaki ke sini. Sedangkan, aku tak pernah melihatmu di perumahan daerah rumahku." Seru anak laki-laki itu tetap tak mau kalah.
"Terserah." Ujar Ellia kemudian ia berlalu pergi meninggalkan anak laki-laki aneh itu. Ia tak ingin berdebat lebih panjang lagi. Percuma dan hanya menghabiskan tenaga. Terlebih anak itu terlihat sama sekali tak mau mendengarkan perkataannya.
"Hei, kau mau kemana?!" Teriak anak laki-laki itu, namun Ellia tetap berjalan dan tak mau menoleh ke anak laki-laki itu lagi. Ia fokus ke perjalanannya. Sampailah ia di persimpangan menuju kediaman Adhitama. Ia segera menyeberang jalan dan mulai menyusuri jalan utama ke kediaman keluarga Adhitama.
"Hei, kau gila ya?! Walaupun aku sudah memergokimu, jangan mengambil langkah gila dengan lewat jalan ini. Kau tak tau kan, siapa pemilik kediaman dari jalan yang kau lewati ini?!" Seru anak laki-laki itu yang ternyata mengejar dan menghampiri Ellia.
"Aku tau. Ini kediaman Adhitama. Lalu kenapa? Minggirlah aku mau pulang!" Seru Ellia mulai jengkel dengan kelakuan anak laki-laki itu.
"Kau sudah tau itu kediaman Adhitama dan kau ingin tetap ke sana? ... Apa kau benar-benar tinggal di sana?" Tanya anak laki-laki itu penasaran. Ellia tak menjawab dan memilih kembali berjalan meninggalkan anak itu. Ia terus menggerutu jengkel dengan kelakuan anak laki-laki itu.
"Hei, namamu siapa? Aku Ares!" Seru anak laki-laki itu meneriakkan namanya. Namun, Ellia sama sekali tak menghiraukan dan terus melangkah.
...
Malam harinya seperti biasa Ellia makan malam sembari mengobrol santai dengan paman Yunus. Ia juga menceritakan semua kejadian di sekolah sehari itu pada paman Yunus, termasuk saat pertemuannya dengan anak laki-laki aneh saat pulang tadi.
"Dasar gila! Kenapa gak kau pukul saja kepalanya?!" Seru paman Yunus geram.
"Hahaha. Tenanglah paman, aku tak mau jadi tersangka di usia mudaku ini. Biarkan saja anak itu. Ku rasa dia memang punya penyakit narsis." Ucap Ellia sambil menggelengkan kepala mengingat Ares.
"Kau jauhi dia. Ku rasa dia anak yang aneh." Seru pama Yunus memperingati.
"Baik paman ... Sudah-sudah, ayo lanjutkan makannya saja. Paman tidak boleh marah-marah, nanti tekanan darah paman naik." Nasihat Ellia yang cukup khawatir.
"Haha. Tenanglah, aku masih akan sehat bahkan 100 tahun ke depan." Ucap paman Yunus dengan senyum lebar. Suaranya yang lantang menggema dalam rumah kecil itu. Namun, hal itu membuat Ellia merasa sangat bahagia.
Keesokan harinya, saat Ellia naik bus menuju sekolah tiba-tiba anak laki-laki yang kemarin, duduk di sebelahnya dengan tidak tahu malunya.
"Hai, pagi." Sapa Ares riang. Ellia hanya diam dan tetap fokus mengamati jalanan lewat kaca bus.
"Apa kamu masih marah karna perbuatanku kemarin?" Tanya Ares berusaha mendapatkan perhatian dari Ellia. Lagi-lagi Ellia tak merespon.
Di sana Ares tak menyerah, ia justru menceritkan kondisinya kenapa sampai berbuat seperti kemarin. Ternyata Ares ini cukup populer di sekolah. Yah, memang parasnya cukup tampan. Maka dari itu banyak gadis yang berusaha mendekatinya. Maka dari itu, melihat Ellia yang terus berjalan di belakangnya kemarin membuat Ares mengira kalau Ellia adalah salah satu dari sekian banyak gadis yang mengejarnya.
"Maafkan perbuatanku kemarin ya. Sungguh aku hanya sudah lelah di sekolah kemarin." Pinta Ares sembari menyatukan kedua tangannya.
"Hmmm" Jawab Ellia singkat, mengiyakan permintaan maaf Ares.
"Yes! .. Kalau begitu. Mulai sekarang kita bisa berteman?" Tanya Ares sembari menjulurkan tangannya pada Ellia. Ellia akhirnya menatap Ares, juga tangannya yang terulur. Ia diam sesaat seperti menimbang permintaan pertemanan itu.
Apakah harus aku terima?
.
.
.
Bersambung ...