NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Pelakor
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga, Sartika.

Demi masa depan cerah, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman, untuk bekerja di luar negeri.

Namun janji itu hanyalah omong kosong belaka, ia di jual beli di sebuah club malam.

Di tengah keputusasaan, setelah bersusah-payah keluar dari dunia gelap itu.

Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang mengubah hidupnya. lebih baik? atau malah memperburuk keadaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 25

Keesokan paginya, Sartika bangun lebih awal seperti biasanya. Ia segera beranjak dari tempat tidur, merapikan selimutnya, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah selesai, ia mengenakan pakaian kerjanya yang sederhana namun rapi. Rambutnya diikat rendah, dan wajahnya hanya dibasuh air tanpa riasan apa pun. Ia tidak pernah memikirkan penampilan berlebihan, yang terpenting baginya adalah bekerja dengan baik dan tidak merepotkan siapa pun.

Saat ia membuka pintu kamarnya, aroma kopi segar langsung menyambutnya. Sartika sedikit terkejut, biasanya rumah ini masih sepi di pagi hari, kecuali para pekerja yang sudah mulai beraktivitas di dapur atau taman.

Ia melangkah menuju ruang makan, dan matanya langsung menangkap sosok Calvin yang sudah duduk di sana. Pria itu mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku, dengan satu tangan menggenggam cangkir kopi. Tatapannya masih terlihat sedikit mengantuk, tapi ekspresinya tetap tenang dan dingin seperti biasanya.

Sartika sedikit ragu sebelum akhirnya melangkah mendekat. "Selamat pagi, Pak," sapanya sopan.

Calvin mengangkat pandangannya sekilas, lalu mengangguk. "Pagi."

Sartika menunduk sedikit, lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja ia hendak beranjak, suara Calvin menghentikannya.

"Kau tidak sarapan?"

Sartika menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Saya biasanya sarapan di kantor saja, Pak."

Calvin menatapnya sebentar sebelum kembali menyesap kopinya. "Duduklah. Makan dulu sebelum kita berangkat."

Sartika merasa ragu. Ia tidak ingin membuat Calvin merasa ia terlalu nyaman tinggal di rumahnya. Tapi, di sisi lain, ia juga tidak bisa menolak langsung.

Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya ia mengangguk pelan dan duduk di ujung meja. Seorang pembantu segera datang dan menyajikan sepiring roti serta telur dadar di hadapannya.

Sartika makan dalam diam, sementara Calvin masih sibuk dengan kopinya dan sesekali mengecek ponselnya.

Suasana di antara mereka sunyi, tapi anehnya tidak terasa terlalu canggung.

Saat Sartika hampir selesai, Calvin tiba-tiba berbicara. "Setelah pulang kerja, kita akan pergi ke kampungmu."

Sartika hampir tersedak mendengarnya. Ia meletakkan sendoknya perlahan dan menatap Calvin dengan bingung. "Pak Calvin, saya sudah bilang, saya bisa pergi sendiri. Anda tidak perlu repot-repot..."

"Aku sudah memutuskan," potong Calvin tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Aku akan mengantarmu."

"Tapi..."

"Dan ini bukan sesuatu yang bisa didiskusikan," lanjutnya tegas.

Sartika terdiam. Ia tahu, jika Calvin sudah berkata seperti itu, maka tidak ada gunanya berdebat.

Ia menghela napas, lalu mengangguk kecil. "Baik, Pak."

Calvin akhirnya mengangkat pandangannya dan menatap Sartika. "Bagus. Sekarang, cepat habiskan sarapanmu. Kita berangkat dalam sepuluh menit."

Sartika hanya bisa menunduk, merasa semakin bingung dengan sikap bosnya yang semakin sulit ia pahami.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Sartika segera bergegas ke kamarnya untuk mengambil tasnya. Sementara itu, Calvin masih duduk di meja makan, menyesap kopi terakhirnya sebelum akhirnya bangkit dan merapikan lengan kemejanya.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Sartika duduk dengan tenang di kursi penumpang, sementara Calvin menjalankan mobilnya dengan kecepatan stabil. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diisi oleh suara lalu lintas pagi yang mulai padat.

Sartika menggenggam jemarinya sendiri, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Ia masih tidak bisa memahami alasan di balik keputusan Calvin untuk mengantarnya ke kampung.

Akhirnya, ia memberanikan diri bertanya, "Pak Calvin… kenapa Anda ingin mengantar saya ke kampung?"

Calvin tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus ke jalan di depannya. Setelah beberapa saat, ia berkata dengan suara datar, "Aku hanya ingin memastikan kau sampai dengan selamat."

Sartika terdiam. Ia merasa ada alasan lain di balik sikap Calvin, tapi ia tidak berani menanyakannya lebih jauh.

Mereka akhirnya sampai di kantor. Calvin turun lebih dulu, berjalan masuk tanpa banyak bicara, sementara Sartika mengikuti dari belakang. Begitu tiba di area kerja masing-masing, mereka kembali pada rutinitas seperti biasa.

Hari itu berjalan cukup sibuk bagi Sartika. Ia bekerja tanpa henti, berusaha mengalihkan pikirannya dari perjalanan ke kampung yang akan ia lakukan bersama Calvin nanti.

Sementara itu, di ruangannya, Calvin tetap bekerja seperti biasa. Namun, pikirannya sedikit terganggu oleh keputusan yang telah ia buat. Ia tahu Sartika keberatan, tapi ia tidak akan membiarkan wanita itu pergi sendirian.

Suasana kantor masih sibuk.

tiba-tiba seorang wanita paruh baya dengan penampilan anggun memasuki lobi. Semua karyawan yang melihatnya langsung menunjukkan ekspresi kaget dan segan.

Ny. Lisna.

Sosok wanita berwibawa itu berjalan dengan langkah tegap, langsung menuju ruang kerja Calvin tanpa memberi kesempatan bagi siapa pun untuk menahannya. Nadine, yang melihatnya datang, segera berdiri dari kursinya dan menyapanya dengan hormat.

"Selamat sore, Ny. Lisna," ucap Nadine dengan sopan.

Ny. Lisna hanya mengangguk singkat. "Calvin ada di dalam?"

"Ya, Bu. Tapi..."

Ny. Lisna tidak menunggu penjelasan lebih lanjut dan langsung membuka pintu ruangan Calvin.

Di dalam, Calvin sedang fokus membaca dokumen di tangannya. Ia mengangkat kepalanya sekilas dan langsung mendapati sosok ibunya berdiri di ambang pintu. Ekspresinya tetap datar, tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.

"Ibu," ucapnya singkat. "Ada perlu apa datang ke kantorku?"

Ny. Lisna berjalan masuk dan menutup pintu di belakangnya. Ia menatap Calvin dengan tajam sebelum duduk di kursi di depan meja putranya.

"Aku mendengar kau membawa seorang wanita ke rumahmu," katanya tanpa basa-basi.

Calvin tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Ia hanya meletakkan dokumen yang sedang dibacanya dan menatap ibunya dengan tenang. "Dan?"

Ny. Lisna menyilangkan tangan di dadanya. "Siapa dia?"

Calvin menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Namanya Sartika. Dia bekerja sebagai OB di kantorku."

Mata Ny. Lisna sedikit menyipit. "OB? Kau membawa seorang OB tinggal di rumahmu?"

"Aku tidak tega melihatnya tidur di jalan," jawab Calvin santai. "Dia tidak punya tempat tinggal."

Ny. Lisna terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, tawa yang terdengar tidak benar-benar tulus. "Calvin, aku tahu kau orang baik. Tapi kau juga bukan tipe pria yang peduli pada orang lain tanpa alasan."

Calvin hanya menatap ibunya tanpa berkata apa-apa.

"Jangan bilang padaku kalau wanita itu spesial untukmu," lanjut Ny. Lisna dengan nada meremehkan.

Calvin mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Karena dia bukan wanita dari keluarga kaya?"

Ny. Lisna tersenyum tipis. "Kau tahu itu bukan masalahnya. Tapi, Calvin… kau bukan pria yang bisa terlibat dengan seseorang tanpa ada tujuan tertentu."

Calvin tidak langsung menjawab. Ia tahu ibunya selalu ingin mengendalikannya, termasuk dalam hal pasangan.

"Bu, aku hanya menolongnya. Tidak lebih," ujarnya akhirnya.

Ny. Lisna menatap Calvin dalam-dalam, seolah mencoba membaca pikirannya. "Baik. Aku akan mempercayaimu untuk saat ini. Tapi aku harap kau tidak membuat keputusan yang akan kau sesali nanti."

Calvin tidak merespons. Ia tahu, ini bukan akhir dari pembicaraan.

Ny. Lisna berdiri dan merapikan gaunnya. "Oh, satu lagi. Jangan lupa, besok aku akan mengantarmu ke rumah Alana untuk melamarnya."

Ekspresi Calvin langsung berubah. Matanya menatap ibunya dengan tajam, rahangnya sedikit mengeras.

"Melamar Alana?" ulangnya dengan nada datar, tapi ada ketegasan di dalamnya.

Ny. Lisna tersenyum tipis, seolah tidak peduli dengan perubahan ekspresi putranya. "Ya. Aku sudah berbicara dengan keluarga Wijaya. Mereka setuju. Kau dan Alana sudah cukup lama saling mengenal, dan ini waktu yang tepat untuk membawa hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius."

Calvin menghela napas panjang. Ia menatap ibunya dengan tatapan dingin, lalu berkata, "Aku tidak setuju dengan rencana ini."

"Kau tidak harus setuju," balas Ny. Lisna santai. "Cukup datang dan lakukan bagianmu. Ini bukan hanya tentang kau dan Alana, Calvin. Ini tentang dua keluarga besar."

Calvin menggerakkan jemarinya di atas meja, mencoba menahan amarah yang mulai muncul. "Aku tidak akan menikahi seseorang hanya karena kehendak keluarga."

Ny. Lisna mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Calvin dengan tajam. "Dan kau pikir siapa wanita yang lebih pantas berdiri di sisimu? Sartika? atau Hazel?" Ia tertawa kecil, nada suaranya penuh sindiran.

Calvin mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan emosinya. Matanya menatap tajam ke arah Ny. Lisna, tapi ibunya tidak menunjukkan sedikit pun tanda gentar.

"Ibu tidak berhak mengatur hidupku seperti ini," ujar Calvin dingin.

Ny. Lisna tersenyum tipis, lalu berdiri dari kursinya. "Kau masih berpikir kau punya pilihan, Calvin. Aku sudah berbicara dengan keluarga Wijaya, dan semuanya sudah diatur. Besok, kau harus datang ke rumah Alana."

Calvin hanya diam. Ia tahu ibunya tidak akan mundur semudah itu.

Sebelum keluar dari ruangan, Ny. Lisna menatap putranya sekali lagi. "Jangan buat keputusan yang akan menghancurkan keluargamu sendiri, Calvin."

"Lupakanlah masa lalu, dan jangan pernah lagi mendekati wanita itu."

Pintu tertutup pelan, meninggalkan Calvin dalam keheningan.

Sementara itu, Sartika yang baru saja keluar dari pantry melihat Ny. Lisna berjalan dengan anggun melewati lobi. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam ruangan Calvin, tapi ekspresi wanita itu membuatnya merasa tidak nyaman.

Saat ia kembali ke mejanya, Nadine mendekat dengan raut wajah serius. "Kau tahu siapa yang barusan datang?"

Sartika menggeleng pelan. "Tidak,"

Nadine menghela napas dan berbisik pelan, "Itu Ny. Lisna. Ibunya Pak Calvin."

Sartika membelalakkan mata tanpa sadar. Ia memang pernah mendengar nama itu disebut-sebut di kantor, tapi tidak menyangka akan melihat sosok wanita itu langsung. Aura berwibawa dan tatapannya yang tajam tadi saja sudah cukup membuat Sartika merasa terintimidasi.

"Apa dia sering datang ke kantor?" tanya Sartika, berusaha terdengar biasa saja.

Nadine menggeleng. "Tidak. Biasanya kalau dia datang, berarti ada sesuatu yang penting. Dan aku yakin ini bukan hal baik."

Sartika mengangguk pelan, meskipun ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi. Tapi perasaan gelisah mulai muncul dalam dirinya.

Sementara itu, di dalam ruangannya, Calvin masih duduk diam, menatap pintu yang baru saja ditutup oleh ibunya. Rahangnya mengeras, dan matanya dipenuhi ketidakpuasan.

Besok, ia harus datang ke rumah Alana untuk melamarnya?

"Tidak. Itu tidak akan terjadi semudah itu."

Calvin menyandarkan punggungnya ke kursi, menutup matanya sejenak untuk menenangkan pikirannya. Ibunya selalu seperti ini, mengatur hidupnya seakan-akan ia tidak memiliki kehendak sendiri.

Namun, yang lebih mengusiknya adalah pernyataan terakhir Ny. Lisna.

"Lupakanlah masa lalu, dan jangan pernah lagi mendekati wanita itu."

Sebenarnya, dirinya juga belum selesai dengan masa lalunya bersama Hazel. Dan kini ia merasakan kebingungan dengan hadirnya Sartika yang menginginkannya pada Hazel, begitu pula dengan Alana.

Yang memiliki kesamaan dengan mereka berdua.

Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Calvin. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari jalan keluar dari rencana ibunya yang sudah ditetapkan tanpa persetujuannya.

Alana... Hazel... dan sekarang Sartika.

Tiga wanita yang entah bagaimana selalu terhubung dengannya, masing-masing membawa bagian dari masa lalunya dan kemungkinan masa depannya.

Calvin memejamkan mata sejenak. Ia tidak bisa membiarkan ibunya terus mengatur hidupnya seperti ini. Tapi di sisi lain, menolak rencana itu akan membawa konsekuensi besar, hanya untuknya, tetapi juga untuk perusahaannya dan keluarganya.

Sementara itu, Sartika terus bekerja seperti biasa, meskipun perasaannya gelisah sejak melihat Ny. Lisna tadi. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan wanita itu dengan Calvin, tapi ia bisa merasakan bahwa itu pasti hal penting.

Saat jam kerja hampir berakhir, Calvin keluar dari ruangannya. Langkahnya mantap, ekspresinya tetap dingin seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Nadine langsung tahu, bosnya sedang dalam suasana hati yang buruk.

Tanpa banyak bicara, Calvin berjalan menuju lift, sementara Sartika buru-buru menyusulnya.

Perjalanan ke kampung Sartika dimulai dalam keheningan. Sartika ingin bertanya, tapi ia ragu apakah ini saat yang tepat.

Namun, saat mobil melaju keluar dari kota, Calvin akhirnya berbicara.

"Apa kau ingin kembali ke sini setelah menyelesaikan urusanmu?" tanyanya tanpa menoleh.

Sartika terdiam sejenak sebelum menjawab, "Saya tidak tahu, Pak. Saya masih harus melihat bagaimana keadaan di sana."

Calvin mengangguk pelan, lalu kembali diam.

Mereka terus berkendara tanpa banyak bicara. Namun, bagi Sartika, perjalanan ini lebih dari sekadar kembali ke kampung. Ini adalah pertemuan yang ia rindukan dengan mereka, setelah berbulan-bulan pergi.

Bagi Calvin, perjalanan ini adalah awal dari keputusan besar yang harus ia buat.

Apakah ia akan tetap mengikuti keinginan ibunya dan melamar Alana?

Atau ia akan mempertahankan kendali atas hidupnya sendiri, dan mungkin, seseorang yang selama ini tidak pernah ia perhitungkan dalam rencananya?

Mobil yang dikendarai Calvin terus melaju melewati jalanan yang semakin menyempit, meninggalkan hiruk-pikuk kota.

Sartika duduk diam di kursinya, tangannya mengepal di pangkuannya. Semakin dekat mereka ke kampung halamannya, semakin kuat perasaan gelisah yang ia rasakan.

Di sisi lain, Calvin tetap fokus mengemudi. Membiarkan pikiran melayang entah kemana.

Tak lama kemudian, mereka akhirnya tiba di sebuah daerah yang jauh lebih sederhana dibandingkan tempat tinggal Calvin. Rumah-rumah kecil berjejer di sepanjang jalan, beberapa di antaranya tampak sudah tua dan kurang terawat.

Sartika menelan ludah, lalu memberanikan diri berkata, "Pak Calvin, cukup sampai di sini saja. Saya bisa jalan kaki ke rumah."

Calvin meliriknya sekilas sebelum menghentikan mobil di pinggir jalan. "Aku ikut."

Sartika menoleh dengan kaget. "Pak? Tidak perlu, saya bisa sendiri..."

"Aku sudah datang sejauh ini. Tidak ada alasan untuk mundur sekarang," potong Calvin dengan nada datar, tapi tegas.

Sartika menghela napas pelan. Ia tahu berdebat dengan Calvin tidak akan ada gunanya. Akhirnya, ia mengiyakan dan membuka pintu mobil.

Mereka berjalan menyusuri gang kecil yang agak becek karena hujan tadi pagi. Beberapa anak kecil berlarian di sekitar mereka, sementara beberapa orang tua yang sedang duduk di teras rumah mereka mulai memperhatikan Calvin dengan pandangan penuh rasa ingin tahu.

Sartika akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil berdinding kayu dengan cat yang mulai pudar. Ia menatap rumah itu dengan perasaan campur aduk. Ini adalah tempat yang dulu ia tinggali bersama dengan suami dan anaknya.

Beberapa kali Sartika mengetuk pintu, akhirnya terbuka.

Sartika menelan ludah saat melihat ibu mertuanya berdiri di ambang pintu dengan ekspresi marah. Wanita tua itu menatapnya tajam, lalu melirik Calvin yang berdiri di sampingnya.

"Kau punya nyali juga kembali ke sini setelah sekian lama," suara ibu mertuanya dingin, penuh kemarahan yang tertahan. "Dan sekarang kau datang dengan pria lain? Apa kau kira ini tempat persinggahan?"

Sartika menunduk, merasa bersalah, tetapi sebelum ia bisa menjawab, ibu mertuanya kembali berbicara, kali ini suaranya bergetar. "Di mana Dinda? Apa kau datang hanya untuk melihat kehancuran keluarga ini setelah kau tinggalkan?"

Sartika mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Maksud Ibu? Dinda... dia tidak di sini?"

Ibu mertuanya mendengus, tatapannya tajam dan penuh emosi. "Tentu saja tidak! Setelah ayahnya di tangkap polisi dan kau menghilang begitu saja, Dinda pergi entah ke mana! Kami mencarinya ke mana-mana, tapi dia tidak pernah kembali!"

Sartika merasakan tubuhnya melemah. "Tidak… tidak mungkin…" bisiknya dengan suara gemetar.

Calvin yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. "Kapan terakhir kali kalian melihatnya?"

Ibu mertua Sartika menoleh tajam padanya. "Dan kau siapa? Apa urusanmu di sini?"

"Saya Calvin. Saya hanya menemani Sartika kembali ke sini," jawabnya tenang, tapi matanya tetap tajam.

Wanita tua itu mendengus kesal. "Jadi sekarang kau punya pria kaya yang membelamu, ya? Sementara anakmu entah di mana, dan suami menderita di penjara."

Sartika tertegun. Matanya mulai memanas, tapi ia berusaha menahan emosinya. "Ibu, saya tidak pernah berniat meninggalkan Dinda dan mas Malik. Saya juga tidak tahu kalau mereka jadi seperti ini."

"Kau tidak tahu?" suara ibu mertuanya semakin tajam.

"Setelah kau pergi, Dinda mulai berubah. Dia sering keluar rumah tanpa bilang apa-apa. Awalnya kami pikir dia hanya bermain, tapi suatu hari dia tidak kembali. Kami sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak ada yang tahu ke mana dia pergi!"

Sartika menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. "Kenapa tidak ada yang memberi tahu saya?"

Ibu mertuanya tertawa sinis. "Memberitahumu? Kau pikir kami punya cara menghubungimu? Kau bahkan tidak pernah kembali, tidak pernah mengirim kabar!"

Calvin yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang akhirnya melangkah maju. "Kami akan mencari Dinda," katanya dengan suara datar tapi tegas.

"Apakah ada seseorang yang mungkin tahu ke mana dia pergi?"

Ibu mertua Sartika meliriknya dengan tajam. "Kenapa kau peduli?"

"Karena Sartika peduli," jawab Calvin singkat. "Dan karena dia anaknya."

Wanita tua itu terdiam. Meskipun tatapannya masih penuh kemarahan, ada secercah keraguan di dalamnya. Akhirnya, ia menghela napas panjang. "Ada seorang teman Dinda, namanya Rani. Mereka sering bermain bersama sebelum Dinda menghilang. Mungkin dia tahu sesuatu."

Sartika segera menggenggam tangan ibu mertuanya dengan harapan. "Di mana saya bisa menemukannya, Bu?"

Wanita itu menghela napas berat sebelum menjawab, "Dia tinggal di ujung gang ini, rumah bercat biru."

Tanpa menunggu lebih lama, Sartika menoleh pada Calvin, matanya penuh dengan kegelisahan dan harapan. "Pak Calvin, kita harus menemui Rani sekarang."

Calvin mengangguk, lalu menatap ibu mertua Sartika. "Kami akan mencari Dinda. Jika kami menemukan sesuatu, kami akan memberi tahu Anda."

Ibu mertua Sartika tidak menjawab, hanya menatap mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Mungkin antara marah, kecewa, dan juga harapan kecil yang masih tersisa.

Sartika dan Calvin segera meninggalkan rumah itu, berjalan cepat menuju rumah bercat biru yang dimaksud. Di hati Sartika, hanya ada satu harapan: menemukan Dinda sebelum semuanya terlambat.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!