Bagaimana rasanya, jika kalian sebagai seorang anak yang di abaikan oleh orangtuamu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Adira sampai lebih dulu daripada Vania. Ia melihat jika Ella sibuk di dapur bersama Bu Mar. Namun, Ella langsung menuju ke kamar, karena dia enggan berinteraksi dengan Ibunya.
Sebelumnya, Vania sudah mengabarkan pada Ibunya, kalau dia masuk dalam tiga besar di lomba olimpiade. Dan meminta izin untuk merayakannya bersama teman-temannya.
Tentu saja Ella mengizinkannya, karena dia tidak ingin terlalu mengekang putri sulungnya. Walaupun banyak pesan yang disampaikan pada Vania. Agar jangan kecapean serta harus menjauhi makanan-makanan yang tidak mendukung untuk kesehatannya.
Karena ingin membuat Vania bahagia. Ella berinisiatif pulang lebih awal dari butik. Ia ingin membuat kejutan untuk Vania. Karena Vania pernah mengatakan ingin seperti Adira yang makan di taman belakang seperti halnya sedang piknik.
Setelah menyiapkan makanan dan tempat. Ella menghubungi suaminya untuk pulang lebih awal. Dan Afandi menyetujuinya, apalagi memang kerjaannya tidak terlalu banyak.
Sore hari Vania pulang dengan di antar oleh teman-temannya. Dia disambut oleh Ella didepan pintu. Dengan menutup mata, Vania dituntun menuju ke taman belakang. Disana sudah tersedia beberapa makanan, cemilan dan juga minuman.
"Wah ... Makasih banyak ya Bu." seru Vania senang memeluk Ibunya dengan erat.
Tak lama kemudian Afandi pulang dengan membawa dua buket sekaligus. Vania yang melihat hal tersebut langsung bersorak gembira.
"Ini untukmu sayang. Selamat ya nak." ucap Afandi menyerahkan satu buket dan memeluk Vania.
"Satu untuk siapa?" tanya Vania heran.
"Untuk Adira, dia dimana?" tanya Afandi.
"Di kamar Yah, lagian ini kan acara untuk Vania Yah. Adira juga gak menang kok. Tadi Bu Mar kasih tahu sama Ibu." jelas Ella.
"Iya Yah, aku hanya ingin merayakan hari bahagiaku bersama Ayah dan Ibu. Ini permintaanku sebagai hadiah atas keberhasilanku." mohon Vania. Dan karena tidak tega melihat Vania memohon dengan mata berkaca. Afandi pun, menyetujuinya.
Vania sangat bahagia karena orangtuanya mau menuruti setiap keinginannya. Andai saja Adira tidak pernah ada. Mungkin hidupnya bisa sempurna.
...🍁🍁🍁🍁🍁...
Adira turun kebawah hendak menemui Bu Mar ataupun Bu Siti. Dia bosan, karena terus-terusan berada dikamar.
saat dia ke dapur dan melihat keluarganya bersenang-senang tanpanya. Air mata Adira kembali menetes.
Padahal, dia sudah sering diperlakukan berbeda. Namun, selalu saja sakit saat melihatnya.
Dengan memberanikan diri, Adira menghampiri keluarganya.
"Wih, ada acara apa ini? Kok gak ajak-ajak sih Bu." seru Adira menahan sesak dan mencoba agar air matanya tidak jatuh. "Padahal, aku ada di atas loh Bu." lanjutnya.
"Eh ... Ini cuma acara kecil-kecilan saja kok. Sebagai bentuk rasa syukur atas masuknya tiga besar Kak Vania dalam lomba olimpiade." jawab Ella merasa sungkan.
"Ya, harusnya aku juga diajak Bu. Memang sih gak menang. Tapi kan, aku juga senang melihat Kak Vania menang. Emang kalian gak merasa kurang, kalau akunya gak ada?"
"Sudah-sudah, gak usah ribut-ribut. Silahkan duduk." perintah Afandi. Kemudian dia sendiri bangkit untuk mengambil buket yang dibelinya untuk Adira.
"Yah ... Makanannya aja hampir habis." keluh Adira tersenyum. Dia senang melihat muka Vania memerah dan tangannya yang terkepal.
"Kenapa kamu mengacau acara ku?" bisik Vania pada Adira.
"Maaf, jika Kakak gak suka dengan kehadiran aku. Aku tahu, memang aku kalah dalam pertandingan. Tapi, aku kesini juga ingin ikut merayakan kemenangan Kakak." ungkap Adira pura-pura sedih. "Maaf jika aku menjadi pengacau di acara Kakak." lirih Adira mencoba bangkit.
"Siapa yang bilang kamu pengacau Adira?" tanya Afandi berada tepat dibelakang Adira. "Ini untukmu, karena telah berjuang dalam olimpiade. Ya, walaupun kamu belum menang, setidaknya kamu sudah berusaha." ucap Afandi.
"Tapi, Kak Vania bilang, aku mengacaukan acaranya."
"Vania, jangan gitu. Cepat minta maaf pada adikmu." perintah Afandi langsung membuat Vania merenggut.
"Sudah lah Yah, gak usah di besar-besarkan. Cuma masalah kecilkan?" bela Ella langsung membuat Vania tersenyum penuh kemenangan.
Hari-hari terus berjalan, sampai akhirnya besok adalah hari pembagian rapor untuk siswa atas nilai-nilai mereka selama enam bulan terakhir. Sekarang adalah pembagian rapor untuk kenaikan kelas.
Menurut pemberitahuan dari pihak sekolah, setiap murid harus didampingi orang tua atau wali saat mengambil rapor nanti. Itu semua dilakukan agar dapat memberitahu pada orang tua dari masing-masing murid akan sifat dan nilai anak mereka selama setahun terakhir.
Vania sudah memberitahu pada Ibunya, jika besok adalah pembagian rapornya. Dan dia juga meminta agar Ibunya dapat hadir untuk menemaninya. Tentu saja Ella dengan senang hati menemani putri kesayangannya.
Sedangkan Adira, baru saja memberitahu saat sedang makan malam. Namun, Ella menolak dengan alasan menemani Vania. Sedangkan Afandi harus keluar kota guna untuk melihat hasil pembangunan cabang dari supermarketnya.
"Bagaimana, kalau kamu ditemani sama Bu Mar atau Bu Siti aja?" tawar Ella.
"Emang selalu begitu kan? Dan nanti kalian juga menghabiskan waktu untuk jalan-jalan. Memang aku anak siapa sih Bu, Ayah? Aku heran deh, kenapa selalu aku yang mengalah?" tanya Adira tersenyum sambil menghapus jejak air matanya.
"Lancang kamu Adira. Ibu yang mengandung mu, Ibu lah, yang menahan setiap rasa sakit saat melahirkan mu. Dan tangan Ibu lah yang merawat mu. Dan sekarang kamu bertanya kamu anak siapa? Durhaka kamu Adira." teriak Ella.
"Sudah Bu, sudah. Adira kamu masuk lah ke kamar." usir Afandi halus.
"Benar-benar gak tahu balas budi." sinis Vania.
"Cukup ... Aku udah bersabar denganmu ya Kak Vania. Aku sudah cukup sabar. Aku muak Bu. Aku muak Ayah. Kenapa harus selalu aku yang mengalah? Kenapa harus aku yang selalu salah? Aku benci kalian. Aku benci ..." jerit Adira meninggalkan meja makan.
"Kalau kamu beneran benci. Keluar lah, dari rumahku." usir Ella emosi.
"Bu udah. Adira masuk lah ke kamar. Kamu juga Vania, jangan memanas-manasi keadaan."
"Maaf Ayah." seru Vania menunduk.
Adira berlari memasuki kamarnya. Di dalam kamar dia meluapkan emosi dengan menghamburkan semua perlengkapan sekolahnya. Tak lupa, dia juga menarik seprei dari kasurnya.
"Aku lelah Bu, aku lelah karena selalu mengalah." lirih Adira.
Karena sudah lelah menangis, Adira akhirnya tertidur. Dia meringkuk di lantai, bahkan tanpa selimut untuk menyelimutinya.
Hampir dini hari setelah memastikan istrinya tidur, Afandi ingin memasuki kamar Adira untuk melihat keadaan Adira. Dia ingin membesarkan hati putri bungsunya tersebut. Namun baru saja dia membuka pintu, terlihat Vania dengan wajah ketakutannya hendak mengetuk pintu.
"Ayah takut ..." ujar Vania, karena tadi sempat adanya petir.
"Udah-udah, gak apa-apa ... Jangan takut, kan kita aman di rumah." ucap Afandi menepuk-nepuk punggung Vania.
"Ayah mau kemana? Ikut ..." rengek Vania.
"Ayah mau ke kamar Adira, mau lihat keadaannya ..." ucap Afandi jujur, dan Vania mengepalkan tangan geram.