Di negeri Eldoria yang terpecah antara cahaya Solaria dan kegelapan Umbrahlis, Pangeran Kael Nocturne, pewaris takhta kegelapan, hidup dalam isolasi dan kewaspadaan terhadap dunia luar. Namun, hidupnya berubah ketika ia menyelamatkan Arlina Solstice, gadis ceria dari Solaria yang tersesat di wilayahnya saat mencari kakaknya yang hilang.
Saat keduanya dipaksa bekerja sama untuk mengungkap rencana licik Lady Seraphine, penyihir yang mengancam kedamaian kedua negeri, Kael dan Arlina menemukan hubungan yang tumbuh di antara mereka, melampaui perbedaan dan ketakutan. Tetapi, cinta mereka diuji oleh ancaman kekuatan gelap.
Demi melindungi Arlina dan membangun perdamaian, Kael harus menghadapi sisi kelam dirinya sendiri, sementara Arlina berjuang untuk menjadi cahaya yang menyinari kehidupan sang pangeran kegelapan. Di tengah konflik, apakah cinta mereka cukup kuat untuk menyatukan dua dunia yang berlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PASTI SUKSES, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ANCAMAN DARI SOLARIA
Kael berdiri di balkon Noctis Hall, merenung sambil menatap langit malam yang gelap. Pikiran tentang masa depan Umbrahlis dan hubungan yang semakin rumit dengan Arlina membuatnya semakin gelisah. Tiba-tiba, langkah pelan terdengar dari belakangnya. Ia menoleh dan melihat Eryx, pengawalnya yang setia, mendekat dengan ekspresi serius.
“Pangeran Kael, ada surat untuk Anda,” kata Eryx, memberikan sebuah gulungan surat dengan segel bercorak hitam.
Kael mengangguk dan mengambil surat tersebut. Ia memecahkan segelnya dan mulai membacanya. Mata Kael menyipit saat membaca isi surat itu.
Pangeran Kael Nocturne,
Aku tahu apa yang kau sembunyikan, dan aku tidak akan membiarkanmu mengacaukan segala yang telah kukendalikan. Jika Arlina tidak segera dikembalikan ke Solaria, negeri kita akan memulai tindakan yang akan mengguncang Umbrahlis.
Jangan biarkan ini berlarut-larut. Aku harap kau tidak ingin menghadapi konsekuensi yang lebih besar dari yang kau bayangkan.
Lady Seraphine
Kael menggulung surat itu dengan hati yang berdebar. Mata gelapnya berkilat tajam, mencerminkan amarah yang mendidih.
“Seraphine…” gumamnya dengan penuh kebencian.
Eryx berdiri dengan tenang di sampingnya, menunggu perintah. “Apa yang akan kita lakukan, Pangeran?”
Kael berbalik dan berjalan cepat menuju pintu. “Persiapkan pasukan kita. Kita harus memperkuat pertahanan istana. Seraphine baru saja memberikan ancaman, dan aku tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut.”
Eryx mengangguk. “Perintah akan segera dilaksanakan.”
Kael melangkah menuju ruang besar Noctis Hall, tempat di mana para penasihat dan jenderal Umbrahlis berkumpul. Ia merasa kesal karena Seraphine mengancam tidak hanya dirinya, tetapi juga negerinya. Ia harus memikirkan langkah selanjutnya dengan hati-hati.
Setibanya di ruang rapat, Kael melihat beberapa wajah yang familiar. Jenderal Varus, seorang pria tua dengan janggut lebat yang selalu setia mendampingi Kael, berdiri di tengah ruangan. Di sampingnya, ada beberapa penasihat lainnya, termasuk Eryx yang telah mengikutinya.
“Pangeran, Anda tampak terganggu. Apa yang terjadi?” tanya Jenderal Varus, menyadari ekspresi Kael yang serius.
“Lady Seraphine mengirim ancaman,” kata Kael dengan suara rendah namun penuh kekuatan. “Dia mengancam akan menyerang jika Arlina tidak segera dikembalikan ke Solaria.”
“Ancamannya jelas,” kata Eryx. “Dia tahu betul bahwa kita tidak bisa membiarkan Arlina pergi begitu saja.”
“Solaria tidak akan ragu untuk bergerak jika mereka merasa diancam,” kata Jenderal Varus dengan cemas. “Namun, apakah Arlina benar-benar bisa membawa kita ke titik seperti ini?”
Kael berjalan mondar-mandir, gelisah. “Arlina bukan alat politik, Varus. Dia... dia lebih dari itu.”
Jenderal Varus mengangguk. “Tentu saja, Pangeran. Namun kita harus mempertimbangkan keselamatan negeri ini. Seraphine tahu persis bagaimana menggunakan situasi ini untuk keuntungannya.”
Kael menatap ke luar jendela, pikirannya berkecamuk. Ia merasa terperangkap. Jika ia menyerahkan Arlina, itu bisa memperburuk hubungan dengan Solaria. Tetapi jika ia tidak bertindak, Seraphine bisa membuat masalah yang jauh lebih besar.
“Apakah kita harus menunggu sampai Solaria bergerak?” tanya Eryx. “Atau kita harus mengambil langkah pertama?”
“Tidak,” jawab Kael tegas. “Kita akan tetap waspada, tetapi kita juga tidak bisa bertindak gegabah. Aku harus berbicara dengan Arlina dulu.”
“Pangeran, apakah Anda yakin itu langkah yang tepat?” tanya Jenderal Varus dengan sedikit kebingungan.
Kael menghela napas. “Aku tidak bisa hanya memutuskan tanpa memberinya penjelasan. Arlina harus tahu apa yang sedang terjadi.”
---
Beberapa saat kemudian, Kael memasuki ruang makan besar di istana. Arlina duduk di meja, menikmati sarapan pagi dengan senyum cerah di wajahnya. Ketika melihat Kael, senyumnya sedikit memudar.
“Kael, ada apa?” tanya Arlina, khawatir melihat ekspresi serius di wajah Kael.
Kael mendekat dan duduk di hadapannya. “Arlina... ada sesuatu yang perlu kau ketahui. Sesuatu yang bisa mengubah segalanya.”
Arlina menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa itu?”
Kael menarik napas dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Lady Seraphine mengirimkan ancaman. Jika kau tidak segera dikembalikan ke Solaria, mereka akan menyerang Umbrahlis.”
Arlina terdiam, matanya membelalak. “Apa? Mereka akan menyerang hanya karena aku di sini?”
“Ya,” jawab Kael, suaranya berat. “Seraphine tidak bermain-main. Dia ingin menekan kita untuk menyerahkanmu.”
“Aku... aku tidak ingin menyebabkan masalah,” kata Arlina, suaranya mulai bergetar. “Tapi aku tidak bisa kembali begitu saja. Aku tidak tahu apa yang mereka inginkan dariku.”
Kael menggenggam tangannya. “Kau tidak perlu kembali, Arlina. Aku akan melindungimu, apapun yang terjadi. Tapi kita harus berhati-hati. Seraphine tidak akan berhenti sampai dia mendapat apa yang dia inginkan.”
“Kael...” Arlina menatapnya dengan penuh emosi. “Kita tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak ingin membuatmu semakin terjebak.”
Kael menggelengkan kepala. “Kau bukan beban, Arlina. Aku akan melakukan apapun untuk memastikan keselamatanmu. Tetapi kita harus memikirkan langkah selanjutnya dengan hati-hati.”
Arlina menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. “Aku mengerti. Tapi... aku tidak ingin semuanya berakhir dengan perang.”
Kael mengerutkan kening. “Aku pun tidak.”
Namun, di dalam dirinya, Kael tahu bahwa Seraphine tidak akan mundur dengan mudah. Sebuah keputusan besar menantinya, dan ia harus memilih dengan hati-hati.
---
Malam itu, Kael berdiri di balkon istana lagi, menatap langit gelap yang dipenuhi bintang. Ia merasakan beban yang lebih berat dari sebelumnya, dan dalam hati ia tahu bahwa pilihan yang akan datang tidak hanya akan menentukan nasib Arlina, tetapi juga masa depan Umbrahlis.
"Apakah aku sudah cukup kuat untuk melindunginya?" pikirnya, mata yang gelap penuh dengan keraguan.
Kael masih berdiri di balkon, dikelilingi keheningan malam yang mencekam. Hembusan angin dingin membuat rambutnya tergerai, namun hatinya tetap terikat pada Arlina dan ancaman yang baru saja ia hadapi.
Tiba-tiba, langkah ringan terdengar di belakangnya. Kael menoleh, dan ia melihat Arlina berdiri di pintu balkon, wajahnya cemas namun penuh tekad.
“Kael,” panggil Arlina lembut.
Kael menghela napas panjang, menyembunyikan kekhawatirannya. “Arlina, aku tidak ingin kau terbebani dengan masalah ini. Seraphine sudah mengancam, dan Solaria akan bergerak jika aku tidak mengembalikanmu.”
“Apa yang akan terjadi jika kita tidak menyerah?” tanya Arlina, mendekat dengan penuh perhatian.
“Perang,” jawab Kael singkat. “Solaria tidak akan menunggu lebih lama. Mereka tahu kita akan bertindak, dan mereka tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja.”
Arlina menggenggam tangan Kael, mengguncangannya dengan lembut. “Aku tidak ingin melihat perang, Kael. Tapi aku juga tidak ingin kembali ke Solaria. Mereka tidak pernah mempedulikanku.”
Kael menatapnya, perasaan cemas bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Jika aku mengorbankanmu, apakah aku akan benar-benar melindungimu?”
Arlina tersenyum tipis. “Aku tidak bisa memilih untuk pergi, Kael. Aku hanya ingin kita bertahan.”