Kim Woo-jin masih bertahan membaca komik romansa remaja karena tertarik pada karakter Shimizu Miyuki, teman masa kecil karakter utama laki-laki dalam cerita. Namun, seperti yang sering terjadi, teman masa kecil biasanya hanya berperan sebagai pemanis di awal kisah dan tidak terpilih sebagai kekasih hingga akhir cerita.
Fenomena ini sudah menjadi klise dalam komik bergenre 'Harem,' yang merujuk pada karakter utama laki-laki dan para gadis-gadis yang menyukainya. Sebuah pola yang, meski berulang, tetap berhasil menarik perhatian pembaca.
"Selalu sama seperti yang lain, hanya saja sifatnya sangat baik dan polos. Tapi menerima semuanya dengan senyuman saat ditolak, sungguh hebat sekali. Awal cerita mereka selalu bersama seperti tidak terpisahkan, tapi setelah SMA, banyak gadis yang mendekati Protagonis Sampah," gumam Kim Woo-jin.
(Penulis : Sudah lama ya nggak ketemu xixixi~ aku sibuk dan lupa password, baru inget dan dah lupa lanjutan cerita yang aku buat ... selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayang_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji yang Memudar di Lapangan
Janji yang Memudar di Lapangan
Janji itu masih terpatri dalam ingatan Miyuki—janji masa kecilnya dengan Ryuji, janji polos yang dibuat delapan tahun lalu, ketika mereka dengan ceroboh berikrar akan menjadi sepasang pengantin di masa depan.
Miyuki tetap memegang erat janji itu, sementara Ryuji tampak masih mengingatnya. Namun, entah mengapa, perlahan-lahan janji itu seolah sengaja diabaikan olehnya. Miyuki kembali teringat kata-kata Ren, yang pernah dengan tepat menyinggung tentang janji itu.
"Janji bisa diingkari."
Janji yang mengikat Miyuki membuatnya berpikir bahwa semua itu mungkin bukan karena cinta, melainkan karena rasa nyaman dan banyaknya waktu yang telah mereka habiskan bersama sejak TK, SD, hingga SMP.
Di lapangan sekolah yang penuh dengan sorakan, pertandingan sepak bola antara tim Ren dan tim Ryuji berlangsung sengit. Cuaca cerah, matahari bersinar terang, dan angin sepoi-sepoi menambah suasana kompetisi yang menegangkan. Miyuki duduk di bangku penonton bersama yang lainnya, matanya terpaku pada dua sosok yang mendominasi pertandingan: Ren, yang memimpin serangan timnya dengan gesit, dan Ryuji, yang menjaga pertahanan seperti benteng kokoh.
Ren menggiring bola dengan lincah, melewati beberapa pemain lawan dengan gerakan cepat dan tak terduga. Wajahnya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Setiap kali ia mendekati gawang, sorakan penonton semakin menggema. Namun, Ryuji, dengan postur tegap dan mata penuh konsentrasi, selalu berhasil mematahkan serangan Ren pada detik-detik terakhir.
"Mereka benar-benar seperti rival sejati," bisik salah satu siswa pada temannya.
Miyuki hanya mengangguk kecil, matanya terus mengikuti pergerakan Ryuji.
Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah Ren benar tentang janji itu.
Melihat Ryuji yang serius dan penuh dedikasi di lapangan, Miyuki merasa jarak di antara mereka semakin melebar.
Ren kembali mendapatkan bola dari umpan silang rekan setimnya. Kali ini, ia menggunakan taktik berbeda. Dengan gerakan cepat, ia mengelabui pemain belakang dan berhadapan langsung dengan Ryuji.
"Kau pikir bisa menghentikanku?" Ren tersenyum penuh percaya diri.
"Coba saja," jawab Ryuji singkat, wajahnya menunjukkan emosi.
Ren berancang-ancang akan menendang bola ke arah kanan, membuat Ryuji bergerak ke arah itu. Namun, pada detik terakhir, Ren memutar tubuhnya dan menendang bola ke arah kiri. Bola melesat dengan kecepatan tinggi menuju gawang.
Penjaga gawang tim Ryuji melompat, namun bola terlalu cepat.
"GOOOOLLL!"
Sorakan meledak dari penonton.
Ren mengangkat tangannya, menerima pelukan rekan-rekannya yang berteriak penuh kemenangan. Namun, di sisi lain, Ryuji hanya menundukkan kepala, terlihat kecewa.
Miyuki merasa dadanya sesak melihat ekspresi Ryuji. Seolah kekalahannya di lapangan melambangkan sesuatu yang lebih menyedihkan.
Lapangan yang tadi penuh sorakan kini mulai sepi.
Miyuki berjalan perlahan menuju lapangan, membawa sebotol air mineral di tangannya. Pandangannya terarah pada Ren, yang masih berdiri di pinggir lapangan, mengelap keringat di wajahnya dengan handuk kecil.
"Ren-kun," panggil Miyuki pelan, menyodorkan botol itu.
Ren menoleh, senyum kecil muncul di wajahnya. "Terima kasih." Ren menerima botol itu dan langsung meneguknya.
"Kamu tadi hebat sekali," ujar Miyuki sambil tersenyum kecil. "Serius, permainan kamu luar biasa."
Ren terkekeh, mengusap rambutnya ke belakang.
"Aku sangat senang dengan pujiamu, Miyuki-chan."
Miyuki tersenyum malu-malu.
Ren memiringkan kepala sedikit, menatap Miyuki dengan pandangan penuh arti.
"Aku suka lihat kamu senyum seperti itu," godanya.
Miyuki terkejut, pipinya memerah.
"Ren-kun, jangan bercanda."
"Aku serius," jawab Ren santai, nadanya tulus. "Kamu terlihat manis kalau sedang senyum."
Miyuki hanya bisa tersenyum canggung, tak tahu harus merespon apa.
Ryuji yang duduk di bangku, terdiam, tatapan matanya lurus memandang mereka.
Pandangan Ryuji terasa kebingungan.
Saat pandangan bertemu Miyuki, Ryuji buru-buru memalingkan wajah. Namun, Miyuki tahu kalau Ryuji sudah melihat semuanya.
Miyuki teringat masa lalu mereka, saat ia selalu ada di sisi Ryuji setiap kali kalah. Dulu, ia akan menggenggam tangan Ryuji, meyakinkannya bahwa ia percaya Ryuji bisa bangkit. Kini, ia berdiri di sisi Ren, memberikan perhatian yang dulu hanya untuk Ryuji.