Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Hujan yang membasuh luka
Pagi itu Alvano terlihat sedang bersantai diruang tamu sambil memainkan HP miliknya. Ratna yang sudah tampil cantik dengan baju kebaya berwarna biru muda bersiap pergi untuk menghadiri arisan dengan teman temannya.
"loh van kamu nggak kerja?" tanya Ratna saat berlalu dihadapan alvano yang masih sibuk dengan HP nya.
"Nggak ma, aku ngga ada jadwal ngajar sekarang. lagi pula kantor juga aman" ucapnya santai.
Detik itu juga senyum Ratna mengambang, terlintas sebuah ide di otaknya. " Van kamu kan sekarang nggak sibuk, lagi santai nih. Saran mama lebih baik kamu ajak aqila jalan jalan keluar. Kasian dia, pasti bosan dirumah terus" Ratna berharap ini adalah salah satu cara untuk membuat keduanya semakin dekat.
"Jalan jalan ma? " Alvano tampak bingung, Ratna mengangguk antusias. " kamu nggak kasian apa sama dia, dirumah terus. Vano, dia itu juga butuh hiburan untuk mengobati trauma dan luka luka masa lalu. Mama rasa dengan mengajaknya jalan-jalan maka itu akan sedikit mengurangi beban dan luka hatinya. Kasian dia nak"
Alvano diam dan berfikir sejenak, apa yang dibilang mamanya itu ada benarnya juga. Kasian juga Aqila. Dia benar benar butuh hiburan untuk mengurangi luka luka di hatinya. Lagi pula Alvano juga mengingat kemarin saat Aqila bilang dirinya sangat bosan dirumah. "Tapi ma, apa dia mau? "
"Pasti mau dia nak, kamu ajak dia keluar ya.., kalau gitu mama pergi arisan dulu. Mama buru buru, teman-teman mama udah pada nunggu" ucapnya berlalu pergi.
Alvano melangkah dengan perlahan ke depan pintu kamar Aqila, mengetuk pelan sambil memanggil, “Aqila?”
Dari dalam, suara Aqila terdengar, “Iya, Kak?” tak lama pintu terbuka, menampilkan Aqila yang tampak bingung dengan kehadiran Alvano.
Alvano menggaruk tengkuknya, kebiasaan yang muncul saat ia sedikit ragu. "Hmm, aku mau tanya... kamu lagi ngapain?"
Aqila tersenyum kecil, sedikit heran dengan pertanyaan itu. "Nggak ngapa-ngapain, Kak. Cuma tiduran aja," jawabnya santai.
“Oh,” gumam Alvano sambil mengangguk pelan. Ia menarik napas sebelum melanjutkan, “Aku pikir... kamu mungkin bosan di rumah terus. Jadi, aku mau ngajak kamu keluar. Mau nggak?”
Aqila menatap Alvano dengan tatapan terkejut sekaligus penasaran. “Keluar? Ke mana, Kak?”
“Jalan-jalan aja,” jawab Alvano, mencoba terdengar santai. “Kamu butuh udara segar, aku pikir tempat baru mungkin bikin kamu merasa lebih baik.”
Aqila tersenyum, meski masih agak bingung dengan perubahan sikap Alvano yang tiba-tiba. “Boleh, Kak. Aku ikut.”
Alvano tampak lega mendengar jawaban itu. “Oke, kalau gitu siap-siap ya. Aku tunggu di depan.”
Tak lama kemudian, mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Aqila duduk di sebelah Alvano, tangannya sedikit gemetar karena belum terbiasa bepergian berdua dengan lelaki itu. Sementara Alvano, meski terlihat tenang, terus merapikan rambutnya sesekali, sesuatu yang jarang ia lakukan.
"Jadi, kita mau ke mana, Kak?" tanya Aqila akhirnya, memecah keheningan di antara mereka.
Alvano melirik sekilas ke arahnya sebelum kembali fokus ke jalan. "Taman aja ya. Tempatnya tenang, aku pikir kamu mungkin suka."
"Taman?" Aqila mengulang dengan nada penasaran. "Kayaknya seru, Kak."
“Semoga kamu suka,” ucap Alvano sambil tersenyum tipis.
Sesampainya di taman, suasana segar langsung menyambut mereka. Pohon-pohon rindang, bangku taman di bawah naungan bayangan dedaunan, dan suara gemericik air dari kolam kecil menciptakan suasana tenang.
“Aku nggak nyangka tempatnya sebagus ini,” ujar Aqila, matanya berbinar melihat anak-anak bermain di kejauhan dan pasangan tua yang duduk santai.
Alvano tersenyum tipis. “Aku sering ke sini kalau lagi butuh waktu buat sendiri.”
Mereka berjalan ke arah bangku taman, duduk berdampingan. Aqila sesekali mencuri pandang ke arah Alvano, merasa heran sekaligus nyaman dengan ajakan ini.
“Kalau nggak ada kerjaan, Kakak biasanya ngapain?” tanya Aqila, memulai obrolan.
“Biasanya ya di rumah aja, kerja tambahan atau baca buku,” jawab Alvano santai. “Tapi sesekali aku butuh tempat seperti ini buat istirahat.”
Aqila mengangguk kecil. “Kakak kelihatan sibuk terus, tapi ternyata Kakak tahu cara santai juga ya.”
“Aku nggak seserius yang kamu kira kok,” balas Alvano, tersenyum.
Obrolan mereka mengalir perlahan, rasa canggung semakin memudar. Aqila mulai merasa lebih nyaman berada di dekat Alvano, sementara Alvano juga merasa kehadiran Aqila membuat harinya lebih ringan.
Setelah beberapa saat, Alvano berdiri sambil menunjuk ke arah penjual es krim di ujung taman. “Kamu mau es krim? Aku traktir,” tawarnya.
“Mau, Kak!” jawab Aqila cepat, membuat Alvano terkekeh kecil.
"yaudah kamu tunggu disini dulu, aku pergi beli es krimnya dulu sebentar" ucap alvano yang diangguki aqila.
Aqila duduk di bangku taman, memandangi pemandangan sekitar sambil menunggu Alvano kembali dengan es krim. Ia mencoba menikmati suasana, tetapi pikirannya terus saja berkelana. Hatinya yang perlahan mulai membaik sejak tinggal di rumah keluarga Alvano kini terasa jauh lebih ringan.
Namun, semua itu hancur saat matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang sangat ia kenal. Di sudut taman, Areta berjalan dengan santai sambil menggandeng lengan Daniel. Mereka terlihat sangat mesra, sesekali saling tersenyum dan tertawa, seolah dunia milik mereka berdua.
Hati Aqila mencelos. Luka yang ia pikir sudah mulai menghilang kembali terbuka. Daniel, pria yang dulu begitu ia cintai,ternyata dengan mudah melupakannya. Lebih dari itu, ia berselingkuh dengan kakaknya sendiri. Dada Aqila terasa sesak, dan tanpa ia sadari, air matanya mulai mengalir.
“Kenapa harus seperti ini…” gumamnya lirih, menundukkan kepala agar orang-orang di sekitarnya tidak melihat ia menangis.
Areta yang sedang menikmati pemandangan taman tiba-tiba menyadari kehadiran Aqila. Ia menghentikan langkahnya, lalu menepuk lengan Daniel. “Lihat itu,” ucapnya pelan dengan nada mengejek. “Aqila. Aku nggak percaya dia masih hidup.”
Mereka pun mendekati Aqila. Areta tersenyum sinis begitu melihat Aqila yang langsung menunduk saat mereka berdiri di depannya. “Aqila?” panggil Areta dengan nada meremehkan. “Jadi, kamu masih hidup? Hebat juga. Kukira kamu sudah menyerah waktu itu.”
Aqila menatap kakaknya dengan mata basah. “Aku masih hidup,” katanya dengan suara bergetar. “Tapi aku nggak ada urusan lagi sama kalian.”
Areta tertawa kecil. “Oh, tentu saja kamu nggak ada urusan lagi sama kami. Tapi aku nggak bisa berhenti penasaran, bagaimana kamu bisa hidup seperti ini? Sendirian, nggak ada yang peduli. Menyedihkan banget, ya?”
Daniel ikut tertawa, menyeringai menatap Aqila. “Jujur aja, aku juga heran. Kamu sekarang lebih kelihatan seperti orang buangan. Areta jauh lebih pantas buat aku daripada kamu. Aku nggak tahu kenapa dulu aku buang waktu buat kamu.”
Aqila mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah. “Aku nggak peduli lagi sama kalian,” ucapnya, berusaha tetap tenang.
Namun Areta terus melanjutkan. “Oh, jadi kamu nggak peduli? Kalau nggak peduli, kenapa kamu duduk di sini, memandangi kami seperti itu? Masih sakit hati, ya? Atau jangan-jangan kamu berharap Daniel bakal balik sama kamu?”
Daniel tersenyum licik. “Aqila, kamu tahu kenapa aku dulu sama kamu? Karena aku kasihan. Kamu itu lemah, nggak punya siapa-siapa, dan gampang dimanipulasi. Kamu pikir aku beneran cinta? Itu cuma permainan.”
Areta menambahkan, “Lihat aku sekarang, Aqila. Aku jauh lebih cantik, lebih pintar, dan lebih segalanya dibanding kamu. Daniel pantas sama aku, bukan kamu.”
Ucapan itu seperti belati yang menusuk hati Aqila. Air matanya semakin deras, tapi ia mencoba menahan diri agar tidak terlihat lemah. “Kalian bisa lakukan apa saja yang kalian mau. Aku nggak peduli. Aku sudah selesai dengan kalian,” katanya pelan namun tegas.
Namun, Areta tidak berhenti. Ia merangkul Daniel lebih erat, seolah-olah ingin memperlihatkan hubungan mereka. “Daniel, lihat dia. Dia bahkan nggak bisa membalas ucapan kita. Masih sama seperti dulu, pengecut dan nggak berguna.”
Daniel mengangguk, lalu berkata dengan nada meremehkan, “Aqila, kamu nggak pernah jadi apa-apa buat siapa pun. Kamu itu cuma bayang-bayang Areta. Bahkan sekarang pun, kamu nggak lebih dari itu.”
Ucapan Daniel menjadi puncak dari segalanya. Aqila tidak sanggup lagi menahan perasaan sakit yang menghimpit dadanya. Ia berdiri dengan tergesa-gesa dan berlari meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa.
Areta dan Daniel hanya tertawa puas melihat Aqila yang pergi sambil menangis. “Lihat dia lari. Masih sama seperti dulu, pengecut,” komentar Areta sinis. lalu mereka pergi berjalan ke arah lain tampa memikirkan aqila.
Namun dari kejauhan, Alvano yang baru kembali dengan dua cone es krim di tangannya menyaksikan semuanya. Ekspresinya berubah saat melihat Aqila berlari pergi. Ia segera meletakkan es krim di bangku terdekat dan mengejar Aqila.
“Aqila!” panggil Alvano, suaranya tegas namun lembut, mencoba menghentikan langkah Aqila yang berlari sambil menangis.
Aqila tidak menoleh. Tangisnya semakin keras, dan ia terus berlari ke arah yang entah ke mana, hanya ingin menjauh dari rasa sakit yang baru saja ia alami.
Alvano mempercepat langkahnya. “Aqila, tunggu!” teriaknya lagi.
Hingga akhirnya, ia berhasil meraih lengan Aqila, membuat gadis itu berhenti. Aqila memutar tubuhnya, dan tatapannya yang penuh air mata langsung menghantam hati Alvano.
“Aqila… apa yang terjadi?” tanyanya pelan, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Namun, Aqila hanya menggeleng, tidak sanggup berkata-kata. Ia menunduk, berusaha menahan tangis, tapi tubuhnya bergetar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Alvano menarik Aqila ke dalam pelukannya. “Kalau kamu nggak mau cerita sekarang, nggak apa-apa. Tapi aku ada di sini,” bisiknya.
Aqila akhirnya menangis lebih keras di pelukan Alvano, meluapkan semua rasa sakit dan kecewa yang selama ini ia pendam. Sementara itu, Alvano mengusap punggungnya perlahan, membiarkan Aqila merasa aman dalam pelukannya.
Setelah cukup lama berpelukan, Aqila akhirnya tersadar atas apa yang baru saja ia lakukan. Ia segera melepaskan pelukan itu, menundukkan kepala dengan wajah yang mulai memerah. "Ma... maaf, kk," gumamnya lirih, suaranya sedikit bergetar.
Alvano tersenyum lembut, tidak menunjukkan sedikit pun rasa keberatan. "Nggak apa-apa, Aqila," ujarnya tenang. “Aku ngerti kok. Kadang, di saat kita terpuruk, kita butuh seseorang untuk jadi sandaran.”
Aqila menghapus air matanya dengan ujung jari, mencoba menguasai dirinya. Namun, sebelum ia bisa membalas ucapan Alvano, tetesan air hujan mulai jatuh, diikuti oleh derasnya hujan yang mengguyur tanpa aba-aba.
"Hujan?" Aqila terkejut, melangkah mundur sedikit.
Alvano menatap langit yang mulai gelap, lalu menoleh ke Aqila. "Ayo, kita cari tempat berteduh." Ia menggenggam tangan Aqila, menuntunnya menuju sebuah gazebo kecil di dekat taman.
Mereka berdiri di bawah atap, menghindari tetesan hujan. Suasana kembali hening. Aqila masih terlihat murung, meskipun air matanya sudah berhenti. Alvano memandangnya, merasa tidak nyaman melihat raut sedih itu masih melekat di wajah Aqila.
Setelah beberapa detik berpikir, Alvano mendadak berdiri dari tempat berteduh. Ia melangkah keluar, langsung berdiri di bawah guyuran hujan.
"Eh, kk, kamu ngapain?" tanya Aqila, terkejut melihat tingkahnya.
Alvano menengadah, membiarkan air hujan membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Ia menoleh ke Aqila dengan senyuman lebar. "Main hujan," jawabnya santai. "Dulu, waktu kecil, ini salah satu cara aku mengusir sedih."
Aqila mengernyit. “Main hujan? Serius?”
Alvano menoleh padanya. “Hujan itu bikin tenang, Aqila,” katanya. “Bahkan kalau kita nangis pun, orang nggak akan tahu. Hujan itu menyembunyikan air mata kita. Jadi, kalau kamu sedih, coba keluar, biarkan hujan menghapus semua rasa sakit itu.”
Aqila terdiam mendengar kata-kata itu. Ada sesuatu dalam nada suara Alvano yang membuatnya tergerak.
“Ayo, coba aja,” ajak Alvano sambil mengulurkan tangannya. “Percaya deh, kamu bakal merasa lebih baik.”
Aqila menatap tangan Alvano dengan ragu, tapi akhirnya ia mengangguk pelan. Dengan langkah kecil, ia keluar dari tempat berteduh, berdiri di bawah derasnya hujan.
“Aku basah semua, kk,” keluh Aqila, meski ada senyum kecil di wajahnya.
Alvano terkekeh. “Ya emang itu inti dari main hujan.”
Lama-kelamaan, Aqila mulai menikmati suasana. Ia mengangkat wajahnya, membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhnya. Alvano memperhatikan dengan senyum hangat.
“Gimana?” tanyanya.
Aqila tersenyum lebih lebar. “Aku rasa... aku mulai ngerti kenapa kamu suka main hujan, kk. Rasanya kayak... beban di hati ini sedikit lebih ringan.”
“Itulah keajaiban hujan,” balas Alvano. “Kadang, cara paling sederhana bisa bikin kita merasa jauh lebih baik.”
Aqila menatap Alvano. “Kk, kamu ternyata lebih bijak dari yang aku kira.”
“Dan kamu ternyata lebih kuat dari yang kamu pikir,” balas Alvano, membuat Aqila terdiam sejenak.
Setelah beberapa saat berdiri di bawah hujan, Alvano tiba-tiba melangkah menjauh dan mulai berlari kecil di sekitar taman.
“Kk, kamu ngapain lagi?” seru Aqila, bingung.
Alvano menoleh dengan senyum lebar di wajahnya. “Ayo, Aqila! Lari-lari sedikit! Rasanya seru, loh!”
Aqila mengerutkan dahi, tapi ada rasa penasaran yang membuatnya mengangkat kaki dan ikut berlari kecil mengejar Alvano. “Kk, tunggu! Jangan terlalu jauh!” serunya.
Alvano tertawa ringan. “Kalau mau nyusul, lari lebih cepat!” tantangnya sambil mempercepat langkah.
Aqila yang awalnya hanya berjalan, mulai berlari kecil. Tawa kecilnya mulai terdengar di antara suara hujan. “Kk, kamu nggak capek apa?”
“Justru ini yang bikin segar!” jawab Alvano, berhenti mendadak sambil membuka kedua tangannya, menikmati derasnya hujan.
Lama-kelamaan, Aqila mulai terbawa suasana. Ia tersenyum lebih lebar, bahkan ikut melangkah dan memutar tubuhnya di bawah hujan. Mereka berdua tertawa, melupakan semua kesedihan yang baru saja terjadi.
Mereka terus berputar dan melompat di bawah derasnya hujan, tawa mereka menyatu dengan suara gemericik air. Aqila merasa seperti anak kecil lagi, tanpa beban, hanya menikmati momen. Meski sederhana, momen itu terasa hangat. Perlahan, Aqila merasa bahwa kehadiran Alvano membawa ketenangan dalam hidupnya yang penuh luka.
Sementara itu, Alvano tak bisa mengalihkan pandangannya dari Aqila. Melihat senyumnya yang mulai kembali, ia merasa puas. Namun, di sudut hatinya, ia menyadari bahwa ada sesuatu yang mulai berubah. Sesuatu yang membuatnya ingin selalu melindungi gadis itu.
********
tetap dukung terus cerita ini dengan Like, vote and komenn!! jangan lupa Follow Juga aku ini😇